Kym Staton: Matinya Mitos Kemanusiaan Barat

Oleh Kym Staton, penulis dan sutradara THE TRUST FALL: JULIAN ASSANGE

ORBITINDONESIA.COM - Saya tidak berduka atas matinya mitos kemanusiaan Barat. Mitos itu mati seiring ketidakmampuan kita menghentikan genosida di Gaza.

Itu adalah mitos yang dirangkai dari asap dan cermin, sebuah karnaval yang digelar di atas panggung yang hangus. Itu adalah mitos yang kata-katanya menetes bagai minyak ke sungai abu, dan setiap janji yang diucapkannya samar-samar berbau belerang.

Itu adalah mitos yang tak pernah menyentuh kenyataan, terselubung retorika hukum dan keadilan, mengabaikan nyawa yang telah diremukkannya. Itu adalah mitos yang terbingkai di dinding kantor presiden dan perdana menteri, memantulkan lampu gantung dan tepuk tangan, sementara hak-hak yang dijanjikannya terkubur di bawah reruntuhan beton.

Itu adalah mitos yang menutupi kekuatan kejam dan keserakahan yang berbisik di setiap koridor, menggerogoti rasa takut, membentuk hukum, dan memperdagangkan nyawa bagai komoditas, sementara jejaknya ditutupi dengan janji-janji keadilan dan cahaya.

Mitos yang fasad "kebebasan dan demokrasi"-nya selalu berupa elang botak yang terbang tinggi, sayapnya terbentang lebar dalam kemuliaan, sementara cakarnya mencabik-cabik warga sipil di bawah.

Mitos yang menari bak karnaval cermin yang memantulkan harapan, dan lenyap ketika orang-orang meraihnya. Pecahannya bertebaran di langit, masing-masing adalah janji yang diingkari, berkilau sesaat sebelum lenyap dalam kabut ketidakpedulian.

Mitos yang meninabobokan banyak orang hingga pasif, meyakinkan mereka bahwa "seseorang akan melakukan sesuatu tentang ini."

Mitos ketika Gaza muncul di layar kita, genosida pertama yang disiarkan dalam 4K; sekolah dan rumah sakit yang terbakar serta kantong mayat seukuran anak-anak yang dibawa oleh orang tua yang berduka.

Namun, mengetahui bukan berarti berhenti. Netralitas telah menjadi alat, setiap "kompleksitas" yang ditawarkan bagaikan sekop berpindah tangan. Seruan untuk menahan diri berjatuhan bagai debu. Pernyataan ritual kecaman dilontarkan ke telinga yang tak pernah berniat mendengar.

Senjata dikirim. ‘Pembelaan diri’ menjadi dewa, dan entah bagaimana anak-anak menjadi tumbal yang dapat diterima untuk memenuhinya. “Tidak akan pernah lagi” adalah janji yang diukir setelah Perang Dunia II – dari abu Holocaust – tetapi janji ini hampa. Jelas tidak ditujukan untuk semua orang.

Mitos kemanusiaan Barat mati ketika beban penderitaan yang tak terkira yang terus berlangsung di Gaza meruntuhkan kebohongan tersebut.

Saat ini di Gaza, anak-anak terbangun di pagi hari yang menuntut terlalu banyak – untuk berani dan tetap hidup di jalanan yang kelelahan karena duka.

Seorang ibu menarik selimut lembap di sekitar anak-anaknya di dalam tenda yang terisi air hujan musim dingin sementara drone-drone menelusuri lingkaran di atas lumpur yang telah menjadi rumahnya, seorang ayah menggali dengan tangannya mencari jasad kerabat mereka. Gaza bertahan, teguh dan berduka, bersikeras untuk tetap hidup bahkan ketika dunia berpaling.

Saya tidak meratapi matinya mitos tersebut. Yang saya tangisi adalah kehidupan orang-orang tak berdosa, anak-anak yang tangan kecilnya terdiam sementara dunia berpaling, masa depan yang terhapus sebelum mereka dapat dimulai. Setiap nama yang hilang adalah luka yang terukir di ingatan, sebuah bukti kegagalan kolektif kita.

Kehidupan warga Palestina layak mendapatkan lebih dari sekadar catatan kaki tragedi, lebih dari sekadar kondisi yang ditentukan oleh pos pemeriksaan atau pengepungan, lebih dari sekadar narasi yang ditulis oleh mereka yang tak pernah merasakan debu.

Mereka layak mendapatkan rumah di mana masa kanak-kanak bisa terasa biasa saja, dan laut bisa menjadi cakrawala, alih-alih blokade. Mereka layak mendapatkan azan subuh tanpa rasa takut, aroma za'atar dan roti segar dari oven lingkungan, serta lagu-lagu yang telah membawa Gaza melewati berabad-abad ketahanan.

Mitos itu mati, dan kebenaran muncul—tajam dan menyengat dengan kejelasan: umat manusia memiliki batas-batas, yang ditarik melintasi tubuh-tubuh Palestina seolah-olah itu hanyalah medan, bukan manusia.

Mitos itu runtuh seperti istana pasir di bawah air pasang. Ruang terbuka untuk sesuatu yang nyata: kemanusiaan yang mengakui nilai tanpa persetujuan.

Kebenaran dapat muncul di mana mitos telah jatuh—kebebasan tak terpisahkan, kesadaran dapat mendarat di hati nurani siapa pun yang telah menyaksikan kekejaman ini dan tetap diam. Kebenaran dapat menerangi apa yang coba dikubur oleh kekuasaan, dan menuntut akuntabilitas untuk menemukan suaranya.

Mereka yang hidup berhak mendapatkan lebih dari sekadar simpati tanpa tindakan, lebih dari sekadar pernyataan yang tertunda, lebih dari sekadar kesedihan yang disucikan. Mereka berhak atas masa depan, dunia yang menolak menerima kenyataan bahwa beberapa nyawa harus hilang agar mitos dapat hidup.

Kini setelah mitos itu mati, ada ruang untuk tumbuh kembali. Kebenaran dapat bangkit menembus reruntuhan tempat ilusi pernah berdiri.

Matinya mitos ilusi peradaban Barat bisa menjadi awal yang baru. Dunia yang lebih jujur bisa terbentuk.

Salah satu kutipan favorit saya dari Julian Assange adalah: "Kita memiliki kekuatan untuk memulai dunia baru. Dan kita akan melakukannya." Kutipan lain yang sangat saya sukai adalah "Apa yang kita KETAHUI adalah segalanya. Itu adalah batas kemampuan kita."

THE TRUST FALL dimaksudkan sebagai pengantar yang kuat untuk perpustakaan kebenaran yang disebut WikiLeaks.

Mendidik orang lain adalah langkah pertama menuju dunia yang damai. Dampak THE TRUST FALL bergantung pada mereka yang menyebarkan pesannya. THE TRUST FALL lebih dari sekadar film, ini adalah gerakan perdamaian.***