Review Buku "Interaksi Islam" karya Mun'im Sirry
ORBITINDONESIA.COM - Buku “Interaksi Islam” karya Mun’im Sirry menawarkan perspektif segar tentang bagaimana Islam tidak pernah berdiri sebagai entitas tertutup, melainkan tumbuh dan bertransformasi melalui interaksi yang dinamis dengan berbagai tradisi, budaya, dan pemikiran lain.
Sirry, seorang pemikir Islam kontemporer yang dikenal dengan ketajaman analisis historis dan teologisnya, membawa pembaca pada refleksi mendalam tentang wajah Islam yang plural, dialogis, dan terbuka terhadap perubahan zaman.
Gagasan utama buku ini berangkat dari keyakinan bahwa Islam tidak berkembang dalam ruang hampa. Sejarah awal Islam — dari perjumpaan Nabi Muhammad dengan komunitas Yahudi dan Kristen di Jazirah Arab, hingga dialog panjang dengan filsafat Yunani dan peradaban Persia — menunjukkan bahwa Islam senantiasa berdialog dengan lingkungan intelektual dan kultural di sekitarnya.
Sirry menolak pandangan yang menempatkan Islam sebagai “yang tunggal” dan “tertutup,” sebab menurutnya, justru dalam interaksilah Islam menemukan vitalitasnya.
Yang menarik, Sirry tidak hanya menyoroti aspek historis interaksi Islam dengan tradisi lain, tetapi juga mengurai implikasinya terhadap cara berpikir umat Islam hari ini.
Ia mengajak pembaca untuk melihat bahwa pluralitas bukan ancaman, melainkan sumber kreativitas intelektual. Dalam konteks modern, gagasan ini menjadi sangat relevan ketika dunia Islam berhadapan dengan tantangan globalisasi, sekularisme, dan modernitas Barat.
Sirry menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap ide dan peradaban lain tidak berarti kehilangan identitas, melainkan memperkaya pemahaman keislaman itu sendiri.
Bagian paling menarik dalam buku ini adalah ketika Sirry menyoroti “perjumpaan teologis” antara Islam dan agama-agama Abrahamik lainnya. Ia menguraikan bagaimana konsep wahyu, kenabian, dan kitab suci dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari tradisi semitik yang lebih luas.
Di sinilah letak keberanian intelektual Sirry — ia mengajak umat Islam untuk membaca ulang akar-akar teologi Islam dengan kesadaran historis, bukan dengan sikap apologetik.
Dengan begitu, keimanan tidak lagi berdiri di atas kecurigaan terhadap yang lain, tetapi pada pengakuan akan adanya keterhubungan spiritual lintas iman.
Lebih jauh, Mun’im Sirry juga mengingatkan bahwa dalam sejarahnya, para ulama klasik pun bukan sosok yang menutup diri dari pengaruh luar.
Mereka justru terbuka terhadap ilmu pengetahuan, filsafat, dan perdebatan lintas agama. Karena itu, ia menilai stagnasi pemikiran Islam modern lebih disebabkan oleh ketakutan ideologis daripada semangat intelektual yang hilang.
Dalam nada reflektif, Sirry seolah mengajak kita untuk menghidupkan kembali keberanian berpikir para pemikir klasik — yang percaya bahwa iman yang matang adalah iman yang berani berdialog.
Pada akhirnya, “Interaksi Islam” bukan sekadar buku akademik, melainkan seruan moral dan intelektual untuk merawat tradisi dialog dalam Islam.
Mun’im Sirry mengajak pembaca menumbuhkan kembali semangat keterbukaan, bukan dengan meniru Barat, tetapi dengan kembali kepada akar sejarah Islam yang kosmopolit.
Pesan tersiratnya jelas: Islam akan tetap hidup, selama ia berani berinteraksi — dengan yang lain, dengan masa kini, dan dengan dirinya sendiri.***