Ali Samudra: Pro dan Kontra Ulama terhadap Bunga Bank

Oleh Ali Samudra*

ORBITINDONESIA.COM - Larangan riba dalam Al-Qur’an adalah salah satu pesan moral paling tegas. Allah bahkan mengumumkan perang terhadap para pelakunya: “Jika kamu tidak berhenti dari riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 279). Dari ayat ini, para ulama menilai bahwa riba bukan sekadar pelanggaran ekonomi, tetapi juga bentuk penindasan moral dan sosial.

Riba dan Bunga: Dua Dunia yang Diperdebatkan

Bagi kelompok konservatif, bunga bank modern hanyalah wajah baru dari riba jahiliyah — tambahan atas pinjaman tanpa kerja dan risiko nyata. Mereka mengutip peringatan keras Al-Qur’an serta pandangan Imam al-Ghazali yang menyebut riba sebagai “pemutusan rahmat Allah dalam harta.” Dalam pandangan ini, bunga bukan hanya menindas ekonomi, tetapi juga mengeringkan empati sosial.

Ekonom Muslim M. Umer Chapra dalam Islam and the Economic Challenge (1992) menyebut bunga sebagai sumber ketimpangan struktural. Ia menulis, “Bunga menciptakan pertumbuhan tanpa keadilan dan kemakmuran tanpa kasih sayang.” Dalam sistem ini, pemilik modal menikmati keuntungan tetap tanpa risiko, sementara peminjam menanggung beban penuh bahkan ketika usaha gagal. Karena itu, menurut Chapra, bunga bertentangan dengan maqāṣid al-syarī‘ah, tujuan syariat yang menegakkan keadilan sosial.

Pandangan ini diperkuat oleh lembaga-lembaga fatwa seperti Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī (OIC, 1986) dan MUI (1983, 2004) yang mengharamkan bunga sebagai bagian dari riba nasi’ah. Fatwa-fatwa tersebut mendorong lahirnya sistem perbankan syariah yang menekankan kemitraan dan bagi hasil (mudharabah, musyarakah, murabahah), bukan keuntungan sepihak.

Rasionalitas Modern: Tafsir Kontekstual

Namun tidak semua ulama sepakat. Pemikir reformis seperti Fazlur Rahman dan Mahmud Syaltut menilai bahwa larangan riba harus dipahami sesuai konteks sosialnya. Dalam Islam and Modernity (1982), Fazlur Rahman menulis, “Riba yang diharamkan adalah tambahan yang menindas — bukan setiap bentuk keuntungan atas uang.” Sedangkan Syaltut, dalam Al-Fatawa (1960), berpendapat bahwa tambahan dalam pinjaman yang dikelola lembaga resmi dan bertujuan produktif tidak termasuk riba.

Bagi mereka, bunga modern bukan instrumen penindasan, melainkan alat pengatur ekonomi. Muhammad Asad menegaskan bahwa bunga dalam sistem keuangan modern bersifat impersonal dan ditentukan kebijakan moneter, bukan oleh kehendak pribadi. Dengan demikian, bunga dapat dipahami sebagai kompensasi atas waktu, risiko, dan inflasi.

Pandangan ini tidak menolak semangat keadilan Islam, melainkan menegaskan bahwa hukum harus mempertimbangkan konteks sosial. Ekonomi Islam, kata Rahman, tidak boleh menjadi museum hukum, tetapi laboratorium keadilan — selalu bergerak mengikuti zaman tanpa kehilangan ruh etika.

Jalan Tengah Dunia Islam

Beberapa negara Muslim berhasil menempuh jalan tengah. Malaysia misalnya, tidak menghapus bunga, tetapi mengembangkan sistem perbankan ganda: konvensional dan syariah. Berkat regulasi dan profesionalisme, kini lebih dari 40% aset perbankan Malaysia berbasis syariah. “Yang harus dilawan bukanlah modernitas, tetapi modernitas yang kehilangan hati,” tulis ekonom Adiwarman Karim.

Di Indonesia, perkembangan berjalan lebih gradual. Sejak berdirinya Bank Muamalat (1992) hingga merger menjadi Bank Syariah Indonesia (2021), perbankan syariah tumbuh stabil namun menghadapi tantangan literasi dan teknologi. Meski demikian, dengan modal sosial dan nilai keagamaan yang kuat, Indonesia berpotensi menjadikan ekonomi syariah sebagai arus utama — bukan sekadar pelengkap.

Refleksi Akhir: Antara Uang dan Kemanusiaan

Larangan riba sejatinya bukan nostalgia masa lalu, melainkan pagar moral agar ekonomi tidak kehilangan nurani. Islam tidak menolak kemajuan, tetapi mengingatkan agar kemajuan tidak melahirkan keserakahan. Ekonomi Islam bukan “anti-bunga”, tetapi pro-keadilan; bukan “anti-modern”, tetapi pro-kemanusiaan.

Dalam pandangan Islam, uang bukan tujuan, melainkan amanah. Nilai sejati uang bukan diukur dari seberapa besar ia bertambah, tetapi seberapa besar ia membawa manfaat bagi sesama. Karena itu, tugas utama ekonomi Islam adalah menanamkan moralitas dalam setiap sistem: menyeimbangkan antara untung dan tanggung jawab, antara kebebasan dan kasih sayang.

 “Uang tanpa nurani melahirkan keserakahan, tetapi nurani tanpa keadilan melahirkan kelemahan. Islam menuntun manusia di antara keduanya — agar ekonomi menjadi jalan menuju kemanusiaan.”***

Pondok Kelapa, 7 November 2025

Referensi:

Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (1983);

M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (1992);

Fazlur Rahman, Islam and Modernity (1982);

Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (1960);

Majelis Ulama Indonesia (Fatwa Riba, 1983 & 2004);

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (2014).

*Ali Samudra, Pembina Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur. Tulisan ini merupakan Pengantar Pengajian Ba'da Sholat Jum'at, 7 November 2025 Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur. ***