Resensi Buku Supremacy: AI, ChatGPT and the Race That Will Change the World Karya Parmy Olson

Ketika sebuah kotak teks sederhana muncul secara daring pada November 2022 dengan nama ChatGPT dan menjawab pertanyaan manusia dengan kecepatan dan keluwesan yang belum pernah dialami sebelumnya, dunia teknologi dan ekonomi tersentak.

Buku ini, ditulis oleh jurnalis teknologi veteran Parmy Olson, mengajak kita menelusuri kisah di balik layar: bukan hanya tentang teknologi yang mengubah hidup kita, tetapi juga perlombaan global untuk memegang kendali atas masa depan manusia.

Buku ini pertama kali diterbitkan tanggal 10 September 2024 oleh St Martin’s Press (Amerika) dan oleh Pan Macmillan/Macmillan Business (Inggris) dengan total sekitar 336 halaman. Olson memperoleh penghargaan bergengsi, yakni Financial Times Business Book of the Year 2024 atas buku ini. 

Dengan pengalamannya sebagai kolumnis Bloomberg Opinion dan sebelumnya sebagai wartawan The Wall Street Journal dan Forbes, Olson menghadirkan kisah yang bukan hanya teknologi-berita, tetapi narasi geopolitik, ekonomi, dan etika yang tersembunyi dibalik kecemerlangan layar. 

Isi dan Struktur Buku: Dari ChatGPT ke Kontrol Global

Olson memulai dari titik yang tampak sederhana: sebuah aplikasi chatbot yang “kelihatan tiba-tiba” dan membuat jutaan orang terpesona. Tapi di balik kemunculan ChatGPT, ia menelusuri kisah dua entitas besar: salah satunya OpenAI (CEO: Sam Altman) dan lainnya DeepMind (dipimpin oleh Demis Hassabis) yang dikendalikan oleh Google. 
Buku ini tersusun beberapa bagian besar:

Bagian awal menggambarkan peledakan generatif AI dan bagaimana teknologi itu muncul, serta imbasnya langsung ke kehidupan publik. 

Selanjutnya, Olson menelusuri kompetisi internal dan eksternal: persaingan antara perusahaan dan negara, konflik nilai antara idealisme awal “AI untuk kebaikan manusia” vs. realitas komersial dan geopolitik. 

Ada bagian penting terkait konsekuensi sosial-ekonomi dan etika: bagaimana teknologi AI bisa mengganti pekerjaan, memperkuat ketimpangan, memperbanyak disinformasi, serta bagaimana regulasi dan tata kelola global tertinggal. 

Terakhir buku ini mengajak pembaca memikirkan masa depan kecerdasan buatan umum (Artificial General Intelligence – AGI): apakah pencapaian AGI berada di tangan oligarki teknologi? Apa risiko bagi kemanusiaan jika kontrol itu tidak diimbangi regulasi? 

Analisis Kritis: Kekuatan, Idealisme yang Terkikis, dan Bahaya Tertunda

Salah satu kekuatan utama buku ini adalah kemampuannya menggabungkan narasi manusia (tokoh, perusahaan, investor) dengan analisis struktural — bagaimana perusahaan besar memanfaatkan AI sebagai alat dominasi ekonomi dan geopolitik.

Olson menyoroti bagaimana awalnya proyek-proyek seperti OpenAI dan DeepMind dilandasi idealisme: “menyelesaikan persoalan terbesar umat manusia”. Namun idealisme itu cepat tergantikan oleh kebutuhan modal besar dan logika bisnis raksasa. 

Buku ini juga menegaskan bahwa AI bukan sekadar alat teknis, melainkan arena kekuasaan: siapa yang memegang model, data, komputasi, dan akses pengguna — ia memegang potensi untuk mengatur masa depan sosial, ekonomi, dan bahkan politik.

Namun ada juga kekurangan yang patut dicatat. Sebagian pembaca mungkin merasa narasi terlalu “bernama-besar” (lebih fokus pada altman, Hassabis, Google, Microsoft) dan kurang menyoroti perspektif lokal atau pengaruh di negara Global South.

Juga, seperti banyak buku teknologi populer, prediksi jangka panjang tentang AGI bisa terasa spekulatif—sebuah titik yang Olson sendiri akui. Meski demikian, buku ini tetap berharga karena menyediakan pintu masuk kritis ke dunia yang sering terasa abstrak: “AI masa depan” yang sebenarnya sudah dimulai dan berdampak kini.

Relevansi bagi Dunia Kita Sekarang

Dalam konteks Indonesia (dan global), buku ini memiliki relevansi tinggi. Kita lihat pada beberapa bagian pembahasannya:

Pertama. Ketika generative AI seperti ChatGPT mulai digunakan di pendidikan, bisnis, layanan publik, resensi Olson mengingatkan kita bahwa pemahaman teknologi saja tak cukup — kita harus memahami siapa yang mengendalikannya dan apa imbasnya bagi struktur tenaga kerja, data, dan privasi.

Kedua. Dari sudut kebijakan, buku ini adalah seruan agar regulasi teknologi tidak tertinggal. Negara-negara dan masyarakat yang menunda pengaturan AI bisa menjadi bagian dari “korban” dominasi teknologi global.

Ketiga. Dari sisi etika sosial, buku ini memunculkan pertanyaan: jika AI menjadi alat dominasi, bagaimana kita menjaga nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan? Apakah negara dan masyarakat siap menghadapi risiko disrupsi ekonomi dan sosial?

Penutup: Satu Lintasan untuk Diikuti

Supremacy bukan sekadar laporan teknologi atau sejarah bisnis. Ia adalah cerita peringatan: bagaimana kita saat ini berada di persimpangan — antara kejayaan teknologi dan potensi dominasi yang tak terkendali.

Parmy Olson menyajikan kisah ini dengan sudut pandang yang tajam dan akses insider yang langka, menjadikan buku ini sebuah panggilan bagi pembaca untuk menjadi bagian aktif dalam masa depan, bukan hanya penonton.

Jika kita menyadari bahwa AI adalah “perlombaan yang akan mengubah dunia”, maka buku ini adalah buku yang layak dibaca agar kita memahami siapa yang mengatur perlombaan itu, aturan apa yang kita butuhkan, dan jalur mana yang bisa kita pilih agar teknologi melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya.