Meningkatkan Peran PBB Mengatasi Krisis Kemanusiaan Global
Oleh Syaefudin Simon, Kolumnis/Penulis Satupena
ORBITINDONESIA.COM - Suara Indonesia menggema di PBB. Dunia pun bersorak, kagum dan bangga kepada Indonesia.
Negara-negara yang hadir di markas besar PBB New York tersebut bangga bukan karena sebuah resolusi yang disahkan -- melainkan bangga karena suara lantang yang datang dari Indonesia; suara nurani yang menembus sekat diplomasi global.
Di podium gedung PBB yang ikonik itu, 8 Oktober 2025, Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), berdiri tegak. Dengan tenang namun berapi-api, ia menyerukan pesan universal: “Hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa ditawar.”
Sekitar 400 delegasi dunia menyimak dalam keheningan. Setiap kata yang meluncur dari alumnus Universitas Riau itu menjadi tamparan moral bagi dunia yang terlalu lama bersembunyi di balik kata “netralitas”, sementara darah dan air mata terus mengalir di tanah-tanah konflik — dari Gaza hingga Sudan, dari Myanmar hingga Ukraina.
“Diam berarti turut bersalah terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia!” tegas Wilson. Kalimat itu menggetarkan ruang sidang, menembus batas politik dan bahasa, dan menegaskan kembali makna keberanian moral di tengah kebisuan dunia.
Krisis Kemanusiaan dan Kehancuran Nurani
Tahun 2025 menjadi saksi suram bagi kemanusiaan. PBB mencatat lebih dari 350 juta jiwa hidup dalam krisis kemanusiaan — angka tertinggi sejak Perang Dunia II.
Konflik bersenjata, kemiskinan ekstrem, bencana iklim, dan represi politik telah menciptakan penderitaan lintas benua. Di Gaza, anak-anak tumbuh tanpa sekolah dan tanpa rasa aman. Di Sudan, kelaparan menelan korban ribuan setiap bulan. Di Myanmar, eksodus etnis minoritas tak kunjung berhenti. Sementara di Ukraina, musim dingin "mengigit warga" yang rumahnya hancur dilindas mesin perang.
Namun di tengah perhatian dunia terhadap konflik besar itu, ada tragedi yang jarang disorot media global: nasib pengungsi di Tindouf, Maroko bagian barat daya.
Selama hampir setengah abad, ribuan warga Sahara Barat hidup di kamp pengungsian di tengah gurun pasir, menanti kejelasan status politik dan kemerdekaan yang tak kunjung datang.
Bertahun-tahun mereka hidup dalam kondisi serba terbatas — kekurangan air bersih, pangan, dan layanan kesehatan. Anak-anak lahir, tumbuh, dan menua di kamp yang tak diakui sebagai negara.
Menurut laporan lembaga kemanusiaan internasional, lebih dari 170.000 pengungsi kini masih menggantungkan hidupnya pada bantuan pangan yang semakin berkurang akibat krisis global.
Wilson Lalengke menyinggung hal ini dalam pidatonya sebagai simbol “krisis kemanusiaan yang terlupakan" tersebut “Tidak ada konflik yang kecil jika menyangkut penderitaan manusia,” ujarnya.
“Pengungsi Tindouf sama berharganya dengan korban perang di Gaza atau Ukraina. Dunia harus berhenti memandang manusia berdasarkan kepentingan politik.”
Beberapa jam setelah pidatonya, dunia dikejutkan. Media internasional seperti CNN dan Al Jazeera menyiarkan kabar bahwa Israel dan Palestina mencapai kesepakatan damai awal. Hamas mengumumkan pembebasan sandera terakhir pada 14 Oktober, sementara kabinet Israel segera membahas kerangka perdamaian baru.
Apakah ini kebetulan? Entah. Namun banyak yang meyakini bahwa suara Wilson menjadi percikan moral yang menggugah kesadaran dunia.
Seorang diplomat Skandinavia berkomentar: “Pidato itu membangunkan nurani yang lama tertidur di ruang-ruang kekuasaan.” Gelombang dukungan terhadap perbaikannya kemanusiaan dan keadilan global meluas.
Tagar #VoiceForHumanity mendunia. Dari Jakarta hingga Jenin (Tepi Barat Palestina) , dari Tindouf (Aljazair) ) hingga New York, jutaan orang berbicara tentang satu hal: kemanusiaan masih hidup.
Wilson Lalengke, seorang pewarta dari Indonesia, telah membuktikan bahwa satu suara kebenaran bisa lebih keras dari seribu peluru.
PBB di Persimpangan Jalan
Euforia moral jelas tidak cukup untuk mengatasi krisis kemanusuaan. Dunia menuntut tindakan nyata. PBB, sebagai lembaga internasional tertinggi, kini menghadapi ujian berat.
Mekanisme hak veto kerap membuat keputusan kemanusiaan terhenti di meja Dewan Keamanan PBB. Negara-negara besar masih menempatkan kepentingan politik di atas penderitaan manusia.
Sedangkan lembaga-lembaga kemanusiaan seperti WFP, UNHCR, dan UNICEF kekurangan dana hingga miliaran dolar. Program bantuan untuk pengungsi Tindouf dan wilayah konflik lainnya terpaksa dikurangi.
Banyak pihak menilai, tanpa reformasi mendalam, PBB akan kehilangan kepercayaan dunia.
Pidato Wilson menjadi refleksi sekaligus kritik tajam: “PBB harus kembali pada jati dirinya — sebagai penjaga martabat manusia, bukan sekadar panggung diplomasi.”
Kehadiran Wilson Lalengke di podium PBB menjadi bukti bahwa kekuatan moral dapat melampaui batas kekuasaan. Ia hadir bukan sebagai utusan negara, bukan pula dibiayai pemerintah, melainkan sebagai perwakilan masyarakat sipil global. Langkahnya membuktikan bahwa perjuangan kemanusiaan tidak memerlukan mandat politik, tetapi membutuhkan keberanian nurani.
Dampaknya terasa cepat. Sejumlah tokoh dunia — dari jurnalis internasional hingga pejabat PBB — menyampaikan apresiasi. Beberapa organisasi kemanusiaan bahkan mengundangnya berbicara tentang grassroots journalism dan diplomasi moral ala Indonesia.
“Ini bukan tentang saya,” katanya kemudian. “Ini tentang kita — manusia yang menolak diam di hadapan ketidakadilan.”
Dunia kini berada di persimpangan sejarah. Lebih dari 700 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Puluhan juta mengungsi akibat perang dan perubahan iklim. Sementara itu, ketimpangan ekonomi global semakin tajam: 1% populasi dunia menguasai hampir setengah kekayaan bumi.
Krisis kemanusiaan di Gaza, Sudan, Ukraina, Myanmar, dan Tindouf hanyalah wajah berbeda dari penderitaan yang sama: ketidakadilan struktural dan kepicikan politik.
Dalam konteks itu, PBB perlu memperluas partisipasi masyarakat sipil, memperkuat sistem perlindungan HAM, dan memastikan distribusi bantuan kemanusiaan yang transparan. Dunia memerlukan reformasi moral, bukan hanya struktural. Sebagaimana diserukan Wilson Lalengke: "Damai tidak selalu lahir dari meja perundingan. Kadang, damai lahir dari satu suara yang jujur dan satu hati yang berani.”
Harapan dari Timur
Pidato Wilson kini dikenang sebagai momen langka di panggung PBB — ketika suara dari Timur mengguncang nurani global. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati bangsa bukan terletak pada senjata, melainkan pada keteguhan moral dan empati.
Jelas, di tengah kegelapan konflik dan kemiskinan, dunia sangat membutuhkan orang seperti “Wilson". Yaitu mereka yang berani berbicara tanpa takut kehilangan apa pun kecuali kemanusiaan itu sendiri.
Sebelum meninggalkan New York, Wilson menulis satu kalimat pendek di catatan pribadinya: "Aku tidak membawa nama negara, tetapi aku membawa suara manusia.”
Kalimat itu kini menjadi pengingat: bahwa perubahan dunia bisa dimulai dari suara seorang pewarta, dari ruang sidang di PBB, dari hati yang menolak diam di tengah penderitaan umat manusia.
Dari Gaza ke Tindouf, dari Sudan hingga Jakarta, dunia masih mencari arti kemanusiaan sejati.
Namun sore itu, di ruang sidang PBB, seberkas cahaya muncul — bukan dari resolusi atau kekuasaan, melainkan dari keberanian moral seorang anak bangsa. Dan sejarah mencatat: suara yang lahir dari nurani bisa lebih abadi daripada gema senjata.
Selamat untuk Wilson Lalengke yang telah menyadarkan dunia untuk terus berjuang memperbaiki krisis kemanusiaan global.
"A lifelong struggle to improve humanity" harus kita gemakan tanpa henti di muka bumi.***
Keterangan foto: Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).