Pinjaman Rp2,99 Triliun Disetujui oleh ADB untuk Proyek Panas Bumi Indonesia

ORBITINDONESIA.COM - Bank Pembangunan Asia (ADB) menyetujui pinjaman 180 juta dolar AS atau sekitar Rp2,99 triliun untuk mendukung PT Geo Dipa Energi (Persero) dalam meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi di Republik Indonesia (RI).

Pembiayaan tersebut akan digunakan untuk menyelesaikan konstruksi dan uji operasional dua unit pembangkit listrik tenaga panas bumi di Pulau Jawa, masing-masing berkapasitas 55 megawatt, demikian keterangan ADB dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2025.

Proyek ini akan menyuplai listrik beban dasar (base load) yang ramah lingkungan ke jaringan Jawa-Bali dan diperkirakan mampu mengurangi emisi karbon lebih dari 550.000 ton CO2 per tahun.

"Kami siap melanjutkan kerja sama erat untuk meningkatkan kapasitas panas bumi Indonesia dan mempercepat peralihan menuju masa depan energi yang lebih bersih dan lebih tangguh," ujar Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga.

Ia menambahkan bahwa Geo Dipa memainkan peran penting sebagai katalis dalam pengembangan energi panas bumi nasional.

Ia menyebut Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, mencapai 29 gigawatt, dengan kapasitas terpasang sebesar 2,1 gigawatt, terbesar kedua secara global.

Namun, pengembangannya disebut masih menghadapi tantangan berupa biaya tinggi, durasi proyek yang panjang, dan risiko eksplorasi yang besar.

Proyek yang dimulai sejak 2020 ini tidak hanya mendukung eksplorasi dan pembangkitan listrik, tetapi juga memperkuat kapasitas Geo Dipa dalam perencanaan, pelaksanaan proyek, dan pengeboran yang didukung pemerintah guna menarik investasi swasta.

Sebelumnya, pada 2023, ADB telah memproses tambahan pembiayaan pertama berupa hibah senilai 10 juta dolar AS atau sekira Rp166,25 miliar dari Dana Jepang untuk Mekanisme Pengkreditan Bersama (JFJCM), yang digunakan untuk pemasangan teknologi canggih pada pembangkit listrik Patuha unit 2.

ADB merupakan bank pembangunan multilateral yang didirikan pada 1966 dan dimiliki oleh 69 negara anggota, termasuk 50 negara di kawasan Asia dan Pasifik.***