Menkeu Purbaya, Pembongkar Dapur Busuk Republik
Oleh Syaefudin Simon, Kolumnis/Anggota Satupena Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Wow. Luar biasa!
Akhirnya publik punya alasan untuk tabik kepada Pak Prabowo. Setelah sekian lama kabinet menjadi ladang eksperimen politik, satu keputusan beliau benar-benar bikin rakyat berbinar. Senang. .
“Ternyata, ada menteri yang kerja pakai otak.” Ya, siapa lagi kalau bukan Purbaya Yudhi Sadewa — sang Menkeu yang dengan berani membongkar dapur keuangan negara yang selama ini ternyata lebih mirip tempat cuci uang daripada lembaga fiskal modern.
Begitu Pak Pur duduk di kursi panas Kementerian Keuangan, aroma busuk langsung tercium. Dan benar saja, sistem keuangan negara yang katanya “transparan dan modern” ternyata hanyalah papan reklame kosong yang ditulis dengan tinta oligarki.
Baru setelah dibuka lembar demi lembar, ketahuan kalau duit negara banyak yang nganggur. Bayangkan, uang rakyat parkir bertahun-tahun di Bank Indonesia, di BPD, di kas daerah, seolah-olah negara ini sedang menabung untuk pensiun, bukan untuk membangun.
Jumlahnya ratusan -- bahkan mungkin ribuan trilyun. Tunggu "temuan baru" Menkeu aing Aa Pur.
Pak Pur dengan enteng bilang, “Kenapa uang ini diam? Padahal rakyat sedang teriak harga beras naik!”
Kalimat sederhana itu lebih jujur dari seribu konferensi pers pejabat era sebelumnya. Dan di situlah publik sadar: selama ini kita ditipu dengan istilah keren seperti defisit terkendali dan disiplin fiskal. Padahal, intinya cuma satu — duit rakyat disimpan supaya bisa diatur-atur oleh segelintir orang yang menganggap negara ini milik keluarga mereka.
Yang paling bikin geger, tentu saja keberanian Pak Pur menolak membayar utang proyek Whoosh dengan APBN. Katanya tegas: “Itu bukan utang negara, itu utang bisnis.”
Nah loh! Seketika, para broker proyek dan bandar politik pucat pasi. Selama ini mereka terbiasa dengan gaya lama: semua proyek yang gagal ditanggung rakyat lewat APBN. Tapi Pak Pur, dengan wajah datar dan nada santai, seolah bilang, “Ngimpi apa kalian? Negara ini bukan ATM kalian lagi.”
Belum selesai soal Whoosh, Aa Pur juga menolak usulan menaikkan pajak. Di tangan birokrat biasa, pajak adalah alat memeras rakyat. Tapi di tangan urang Sunda ini, pajak adalah tanggung jawab moral negara untuk tidak memperkosa ekonomi rakyat kecil demi menambal lubang korupsi para elite.
“Bukan rakyat yang boros, tapi negara yang bocor,” kata Menkeu aing. Sebuah pernyataan yang membuat banyak mantan pejabat mendadak alergi layar tivi.
Dan sekarang, drama baru pun dimulai. Pak Pur mulai dikit dikit tampak menyisir jejak KKN kelas wahid di lembaga keuangan.
Katanya, jaringan lama masih aktif, masih nyaman bermain di antara proyek, konsultan, dan kebijakan fiskal yang dijahit sesuai pesanan. Kalau benar semua ini terbukti, mungkin kita baru sadar: yang disebut “mafia anggaran” bukan mitos, tapi justru bagian dari struktur negara.
Publik mulai menunggu, apa langkah berikutnya. Karena Pak Pur tak berhenti di laporan. Ia mulai memetakan sumber-sumber kebocoran: dari lembaga perbankan pemerintah, proyek infrastruktur, sampai dana hibah internasional yang entah mampir ke mana. Katanya,
“Saya bisa prediksi di mana korupsi terjadi hanya dari neraca keuangan.” Ujar Menkeu aing. Gaya bicaranya tenang, tapi isinya seperti bagai lemparan granat ke tengah pesta oligarki.
Dulu semua tampak rapi dan tertib — setidaknya di televisi. Oligarki tersenyum lebar sambil menepuk pundak rakyat lewat baliho dan iklan kampanye. Sekarang, semua itu pelan-pelan dibongkar oleh seorang ekonom yang bosan melihat angka bohong.
Purbaya jelas bukan pejabat negara flamboyan model "bahlul wal bahlil". Ia di tengah hutan birokrasi yang dikuasai pejabat dan penguasa akal-akalan, bikin sistem berguncang. Pak Pur tidak bicara soal “visi Indonesia emas” atau jargon “transformasi ekonomi”. Menkeu aing hanya menunjukkan bahwa sistem keuangan negara ini berantakan Dan banyak tikus di dalamnya.
Ironisnya, keberanian semacam ini justru terasa aneh di republik yang sudah lama terbiasa hidup dengan kebohongan. Ketika seorang pejabat jujur bicara, para penikmat rente tiba-tiba panik. Ketika seorang menteri menolak meneken proyek busuk, para pengusaha abal-abal mendadak patriot. Semua mendadak nasionalis, semua bicara “stabilitas”, padahal yang mereka takutkan cuma satu: keran uang ditutup.
Purbaya membuktikan bahwa kejujuran, meski sederhana, bisa lebih menakutkan dari ribuan pasal undang-undang. Ia menunjukkan bahwa negara tak butuh pejabat pandai bersandiwara, tapi pejabat yang berani bilang “tidak”. Dan ketika publik mendengar nada tegasnya, mungkin untuk pertama kalinya dalam sekian tahun, rakyat merasa: ada secercah harapan di tengah republik yang gelap masa depan.
Kalau langkah ini terus berlanjut, bisa jadi sejarah akan mencatat Purbaya bukan sekadar Menkeu. Ia akan dikenang sebagai si tukang bongkar, ekonom yang menyalakan lampu di ruang gelap penuh tikus berdasi.
Dan bila suatu hari nanti, nama-nama besar yang selama ini bersembunyi di balik laporan keuangan mulai terseret, barangkali kita akan bilang dengan senyum kemenangan: bahwa keuangan negara akhirnya kembali jadi milik rakyat. Bukan milik oligarki yang dulu menganggap republik ini warisan pribadi dan keluarganya! ***