Menyatukan Langit yang Beragam: Strategi Indonesia Mengelola Armada Multinasional TNI AU

Oleh Satrio Arismunandar*

ORBITINDONESIA.COM - Di tengah peta geopolitik yang kian bergeser, Indonesia tampaknya tak lagi ragu melangkah dalam memperkuat sayap udaranya. Setelah kesepakatan pembelian 42 jet tempur J-10C dari Tiongkok senilai 9 miliar dolar AS mencuat, Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan armada paling beragam di Asia — mencakup pesawat tempur dari tujuh negara berbeda: AS, Rusia, Prancis, Korea Selatan, Turki, dan kini China.

Namun di balik deru mesin jet dan simbol kebangkitan pertahanan, muncul satu pertanyaan besar: bagaimana mengoperasikan semua itu tanpa membuat langit Indonesia menjadi museum alutsista?

Mimpi Besar, Tantangan Besar

Masalah utama bukan pada jumlah pesawat, melainkan interoperabilitas — kemampuan berbagai sistem untuk berkomunikasi dan bekerja bersama. Setiap pesawat punya bahasa sendiri: avionik berbeda, sistem persenjataan tak kompatibel, bahkan soket suku cadang pun bisa berlainan ukuran.

“Kalau tidak diatur dengan cermat, perbedaan sistem ini bisa menjadi mimpi buruk logistik,” ujar seorang perwira senior TNI AU yang tak ingin disebut namanya.

Untuk menjawab tantangan itu, TNI AU mulai membangun sistem C4ISR nasional — Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance. Sederhananya, sistem ini berfungsi seperti penerjemah universal bagi pesawat dari berbagai negara.

Radar buatan dalam negeri diintegrasikan dengan data link lintas platform. Perangkat lunak komunikasi dikembangkan agar bisa mengadaptasi encryption key berbeda tanpa harus merombak sistem utama pesawat.

Langkah ini tidak murah, tapi penting agar seluruh armada — dari Rafale Prancis hingga J-10C China — dapat berbagi informasi tempur secara real-time.

Suku Cadang: Dari Ketergantungan ke Kemandirian

Kemandirian teknologi kini menjadi kata kunci. Lewat kebijakan offset dan transfer teknologi, Indonesia menekan setiap mitra untuk membuka ruang produksi dan perawatan di dalam negeri.

PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menjadi poros utama dalam perawatan dan pembuatan komponen minor. “Tujuan akhirnya bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi juga memahami sistemnya sampai ke baut terakhir,” kata seorang insinyur PTDI di Bandung.

Dalam proyek FA-50 dan KF-21 Boramae, misalnya, teknisi Indonesia ikut dalam proses desain dan perakitan — modal penting agar tak lagi bergantung penuh pada negara produsen.

Kementerian Pertahanan juga sedang membangun Integrated Defense Logistics Management, sistem yang mencatat dan mengoordinasikan seluruh kebutuhan suku cadang lintas matra.

Dengan sistem ini, setiap pengadaan dan perawatan bisa diprediksi lebih efisien — tidak lagi menunggu kerusakan terjadi, tapi menyiapkan solusi jauh sebelum itu.

Pembagian Peran: Strategi Komplementer

Alih-alih memaksa semua pesawat bisa saling menggantikan, TNI AU kini mengatur pembagian peran yang komplementer:

Rafale untuk misi superioritas udara dan serangan jarak jauh, J-10C untuk pertahanan udara dan patroli cepat di kawasan timur, dan FA-50 untuk pelatihan dan serangan ringan, sementara Su-30 dan F-16 tetap menjadi tulang punggung transisi.

Pendekatan ini membuat interoperabilitas lebih realistis: pesawat tak harus identik, cukup saling melengkapi.

Diplomasi Teknologi

Sejarah embargo AS pada 1999–2005 mengajarkan pelajaran penting: jangan bergantung pada satu sumber. Kini Indonesia menjaga hubungan dengan berbagai blok — Barat, Timur, dan nonblok — agar rantai pasokan tetap aman.

Kerja sama dengan Turki dan Korea Selatan, misalnya, bukan sekadar transaksi, tapi investasi jangka panjang untuk co-production dan riset bersama.

Upaya ini belum sempurna. Biaya perawatan masih tinggi, dan pelatihan teknisi masih dikejar waktu. Tapi arah kebijakan mulai jelas: Indonesia tak ingin menjadi pembeli, melainkan arsitek pertahanannya sendiri.

Langit Indonesia mungkin berisi pesawat dari tujuh negara, tapi semuanya kini berlatih bicara dalam satu bahasa — bahasa kemandirian.

*Satrio Arismunandar adalah Pemimpin Redaksi OrbitIndonesia.com dan Majalah Pertahanan/Geopolitik ARMORY REBORN. WA: 081286299061.