Ririe Aiko: Ketika Sastra Terasa Menakutkan bagi Generasi Muda
Tanggapan atas tulisan Mila Muzakkar “Beginikah Wajah Lain Sastrawan Indonesia?”
Oleh Ririe Aiko, penulis SATUPENA
ORBITINDONESIA.COM - Membaca tulisan Mila Muzakkar yang berjudul "Beginikah Wajah Lain Sastrawan Indonesia?" membuat saya terdiam cukup lama. Ada rasa heran, sekaligus getir, melihat bagaimana ruang sastra yang seharusnya menjadi tempat paling teduh bagi dialog dan empati justru diwarnai oleh arogansi.
Saya memang tidak hadir langsung di konferensi pers BRICS Literary Award di Taman Ismail Marzuki itu. Namun, membaca catatan Mila membuat saya seperti ikut menyaksikan sendiri bagaimana sekelompok orang yang mengaku mewakili “sastrawan Indonesia” meneriakkan penolakan, bahkan merebut mikrofon, hanya karena tidak sepakat dengan satu nama kandidat — Denny JA.
Sebagai seseorang yang sudah lama menulis, tapi baru beberapa tahun terakhir mengenal dunia sastra secara lebih serius, saya merasa perlu menyampaikan pandangan. Dunia literasi bagi saya adalah rumah belajar yang luas. Saya menulis sejak SMP, diawali dengan fiksi, lalu berkembang ke esai dan tulisan-tulisan reflektif. Namun, baru di pertengahan 2024 saya benar-benar jatuh cinta pada puisi esai — sebuah genre yang memadukan keindahan bahasa, refleksi sosial, dan kedalaman analisis.
Melalui bimbingan para senior yang sabar, saya belajar memahami bahwa puisi bukan hanya tentang kata-kata indah, tapi tentang menghadirkan kesadaran manusiawi. Hingga pada awal 2025, saya berkesempatan menjadi salah satu pemenang lomba puisi esai tingkat ASEAN. Dari situ saya paham, puisi esai bukan sekadar karya estetis, tapi media yang membangkitkan nurani sosial.
Sosok Denny JA sebagai penggagas puisi esai bukan hanya dikenal karena kiprah intelektualnya dalam memperkaya khazanah sastra Indonesia, tetapi juga karena perannya membuka ruang bagi generasi muda untuk tumbuh. Melalui karya dan ekosistem yang ia bangun, Denny JA memberi tempat bagi penulis pemula untuk belajar, berekspresi, dan menumbuhkan kecintaan pada sastra tanpa sekat maupun diskriminasi.
Saya pribadi, sebagai anak bawang di dunia sastra, dibimbing dengan sangat baik oleh beliau saat menyusun buku puisi esai Sajak dalam Koin Kehidupan. Beliau memberikan kritik yang membangun—tidak mencemooh atau mematikan semangat penulis muda dalam berkarya. Sebaliknya, ia justru menciptakan ekosistem yang mendukung tumbuhnya penulis-penulis baru.
Itu sebabnya, ketika mendengar kabar ada sastrawan senior yang menolak namanya sebagai kandidat penghargaan internasional dengan cara yang tidak elok, saya tidak hanya kecewa, tapi juga miris. Bukankah sastra seharusnya menjadi ruang perenungan dan empati, bukan ajang untuk saling menjatuhkan?
Mila benar ketika menulis bahwa dunia sastra sering dianggap sebagai tempat lahirnya orang-orang berhati lembut, berwawasan luas, dan berjiwa empatik. Tapi, apa jadinya jika wajah sastra justru tampil penuh caci? Bagaimana generasi muda bisa tertarik mencintai sastra bila yang mereka lihat hanyalah debat tak berujung dan sikap merasa paling benar?
Sejujurnya, saya pribadi pernah mengalami hal serupa — menjadi sasaran komentar tajam dari seorang sastrawan senior. Kritik bukanlah masalah. Tapi ketika kritik berubah menjadi penghinaan, di situ saya melihat wajah lain dunia sastra yang menyedihkan. Padahal, bukankah yang disebut “senior” seharusnya menjadi guru yang mengayomi, bukan penghakim yang menakutkan?
Sastra, bagi saya, bukanlah arena untuk menguji siapa yang paling pintar atau paling layak disebut “sastrawan sejati.” Sastra adalah ruang berbagi rasa, ruang tumbuh bersama. Ketika kita menulis, kita sedang memahat empati. Ketika kita membaca, kita sedang menumbuhkan kesadaran.
Maka, melihat peristiwa di TIM itu, saya ingin mengulang pertanyaan Mila dengan sedikit penyesuaian: Beginikah wajah sastra yang ingin kita wariskan pada generasi setelah kita?
Jika jawabannya tidak, maka sudah saatnya dunia sastra berbenah. Mulailah dengan cara yang sederhana: saling menghormati. Tidak perlu sepakat terhadap semua hal, karena perbedaan itu hal yang wajar dan harus dihargai. Tapi mari belajar menyampaikan perbedaan dengan kepala dingin dan hati yang terbuka.
Generasi muda hari ini mencari nilai, bukan sekadar nama besar. Mereka lebih tertarik pada karya yang berdampak, bukan pada perdebatan yang membingungkan. Kalau sastra terus menjadi ruang yang penuh intrik dan caci maki, jangan salahkan mereka bila lebih memilih berdialog dengan AI daripada membaca karya sastra kita.
Sastra seharusnya menjadi cermin kemanusiaan, bukan panggung ego. Biarkan ia dikenalkan dengan indah pada generasi selanjutnya, sebagai warisan yang menumbuhkan empati dan menginspirasi kebaikan.***