Denny JA dan Jalan Panjang Menuju BRICS Literature Award 2025
Oleh Syaefudin Simon, Kolumnis/Anggota Satupena Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Langit Jakarta siang itu teduh ketika kabar menggembirakan datang dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki.
Di ruang konferensi yang dikelilingi rak naskah tua dan aroma buku, Co-Chairman BRICS Literature Network asal Rusia, Vadim Teryokhin, mengumumkan sesuatu yang menandai babak baru sastra Indonesia: Denny JA masuk dalam daftar sepuluh besar dunia calon penerima BRICS Literature Award 2025.
Bersama sembilan sastrawan dunia lain—mulai dari Ana Maria Gonçalves dari Brasil hingga Ma Boyong dari Tiongkok—nama Denny JA kini berdiri sejajar dengan para penulis besar dari empat benua.
Bagi dunia sastra Indonesia, pencapaian ini bukan semata soal penghargaan. Ia menjadi simbol pengakuan terhadap gagasan, kerja panjang, dan dedikasi Denny JA selama dua dekade terakhir dalam menghadirkan sastra yang hidup di tengah masyarakat.
Puisi Esai: Sebuah Eksperimen yang Menjadi Gerakan
Nama Denny JA dalam khazanah sastra tak bisa dilepaskan dari lahirnya genre baru: puisi esai. Ketika pertama kali diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu, karya-karya Denny dalam bentuk puisi esai menimbulkan perdebatan sengit di kalangan sastrawan.
Banyak yang terpesona, tak sedikit pula yang skeptis. Namun waktu membuktikan: puisi esai bukan sekadar eksperimen, melainkan genre baru yang hidup dan berkembang.
Puisi esai memiliki bentuk yang khas. Ia memadukan kekuatan puisi—dengan keindahan metafora dan bahasa—dengan kekuatan esai yang argumentatif dan faktual. Ciri paling uniknya adalah catatan kaki, yang menjelaskan latar sejarah, konteks sosial, atau fakta peristiwa yang melatari kisah di dalam puisi.
Dengan cara ini, Denny JA membawa puisi ke ranah yang lebih luas: bukan hanya ruang renungan pribadi, tetapi juga ruang refleksi sosial dan dokumentasi sejarah.
Dari Kontroversi ke Apresiasi Regional
Di Indonesia, gagasan puisi esai sempat menimbulkan polemik. Sebagian kalangan menganggapnya terlalu eksperimental, sebagian lain menilai ia membuka jalan baru bagi perpuisian modern.
Namun di luar negeri—terutama di Malaysia, Singapura, dan Brunei—puisi esai justru disambut hangat.
Banyak akademisi dan penulis muda di Asia Tenggara memuji keberanian Denny dalam memadukan bentuk sastra dan sejarah. Beberapa universitas di Malaysia bahkan menjadikan puisi esai sebagai bahan studi di kelas sastra kontemporer.
Melalui gerakan ini, Denny JA memopulerkan kembali puisi di kalangan pembaca yang sebelumnya tidak memposisikan diri sebagai sastrawan. Puisi esai, baginya, bukan hanya milik penyair profesional, tetapi milik siapa pun yang ingin menyampaikan kisah dan nilai kemanusiaan melalui bahasa yang indah.
“Puisi seharusnya kembali ke rakyat. Seperti pantun di masa lalu yang hidup di bibir orang Melayu,” tulis Denny dalam salah satu esainya.
Kini, di berbagai komunitas literasi di Asia Tenggara, format puisi esai menjadi medium baru yang inklusif—memikat pelajar, aktivis, bahkan pekerja kantoran untuk menulis dan membaca puisi lagi.
Menulis Setiap Hari, Menghidupkan Imajinasi Publik
Di tengah kesibukannya sebagai tokoh publik dan filantrop, Denny JA dikenal disiplin menulis. Hampir setiap hari, ia membagikan esai atau puisi esai di media sosialnya.
Konsistensi ini membuatnya dikenal sebagai salah satu figur yang menghidupkan kembali dinamika sastra Indonesia di era digital.
Puisi dan esainya kerap mengangkat isu-isu yang relevan dengan kehidupan sosial: kemanusiaan, agama, politik, cinta, dan moralitas. Ia menempatkan sastra sebagai medium dialog — bukan hanya antara penulis dan pembaca, tetapi juga antara nurani dan kenyataan sosial.
Salah satu karya pentingnya, buku puisi Atas Nama Cinta, menjadi tonggak penting gerakan ini. Melalui kumpulan puisi itu, Denny menempatkan cinta bukan sekadar romansa, melainkan sumber empati terhadap penderitaan manusia, pergulatan keimanan, dan realitas negara.
“Puisi bisa menjadi cermin kehidupan masyarakat, sekaligus lentera kecil yang menuntun nurani,” tulisnya di pengantar buku tersebut.
Dengan pendekatan seperti itu, sastra Denny JA menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: mudah didekati, namun sarat makna.
Menuju Panggung Dunia
Kini, lewat BRICS Literature Award, kiprah Denny JA menembus batas-batas nasional. BRICS—yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, serta mitra baru seperti Indonesia, Mesir, Iran, Etiopia, dan Uni Emirat Arab—berupaya menegakkan suara Global South di ranah budaya dunia.
Bagi Denny, penghargaan ini lebih dari sekadar kompetisi sastra. Ia adalah simbol keseimbangan baru imajinasi global.
“Selama satu abad, sastra dunia didominasi Eropa dan Amerika. Kini, BRICS menawarkan narasi dari Dunia Selatan—dari sawah di Jawa, lembah Nil, hingga favelas di Brasil,” tulis Denny dalam esai terbarunya.
Sastra, baginya, adalah diplomasi yang hening namun kuat. Di tengah dunia yang sering terbelah oleh politik dan perang, kata-kata bisa menjadi jembatan empati.
Sastra Sebagai Jalan Empati
Melalui puisi esai, Denny JA memperlihatkan bahwa sastra bukan sekadar hiburan intelektual, melainkan alat membangun kesadaran dan empati sosial. Ia mengajarkan bahwa setiap kisah manusia, sekecil apa pun, layak diabadikan dan direnungi.
Ketika dunia sastra global bergerak menuju inklusivitas, kehadiran Denny JA dalam daftar sepuluh besar calon penerima BRICS Literature Award 2025 terasa tepat pada waktunya.
Ia bukan hanya mewakili Indonesia, tetapi juga membawa semangat Asia Tenggara—sebuah kawasan yang terus mencari jati diri di tengah arus globalisasi budaya.
Puisi yang Menyentuh Dunia
Puisi esai telah menjadi jejak estetik sekaligus moral yang ditinggalkan Denny JA dalam sastra Indonesia modern. Melalui perpaduan antara fakta dan imajinasi, antara sejarah dan emosi, Denny menghadirkan sastra yang hidup, yang berbicara kepada semua kalangan.
Kini, ketika namanya menggemakan Indonesia di panggung sastra dunia, penghargaan BRICS Literature Award bukan hanya pengakuan terhadap seorang sastrawan—tetapi juga terhadap bangsa yang terus menulis, membaca, dan berpuisi.***