Nyoto Santoso: Climate Action Starts Now
Oleh Dr. Ir. Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor
ORBITINDONESIA.COM - Panas Jakarta menyengat. Tak hanya karena suhu bumi yang meningkat tapi juga karena alarm darurat iklim yang kian nyaring. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mencatatkan anomali cuaca ekstrem yang makin sering—banjir di musim kemarau, kekeringan di musim hujan, dan badai tropis yang mengguncang kawasan pesisir.
Di balik semua itu, ada satu pesan yang kini bergema dari ruang-ruang diskusi ilmiah hingga forum kebijakan: aksi iklim harus dimulai sekarang. Climate Action Starts Now.
Pesan itulah yang menjadi ruh dari Indonesia Climate Change Forum (ICCF) 2025 yang resmi ditutup pada Kamis, 23 Oktober 2025 di Jakarta. Dalam forum yang mempertemukan pemerintah, dunia usaha, akademisi, pegiat lingkungan, dan komunitas lokal itu, Wakil Ketua MPR RI sekaligus inisiator ICCF, Eddy Soeparno, menegaskan: “Krisis iklim sudah terjadi di depan mata kita. Ini bukan isu masa depan, tapi kenyataan hari ini di sekitar kita.”
Dampak perubahan iklim kini bukan teori di ruang seminar. Di pesisir utara Jawa, air laut perlahan menelan daratan. Ribuan rumah di Demak dan Pekalongan tenggelam, memaksa penduduknya menjadi “pengungsi iklim” di negeri sendiri. Di wilayah lain, seperti Nusa Tenggara Timur, kekeringan memperpendek musim tanam, menggerus produktivitas pangan, dan memperlebar jurang kemiskinan.
Sumber persoalannya berlapis: emisi karbon yang terus meningkat, deforestasi, pembakaran lahan, serta ledakan timbunan sampah yang tak kunjung tertangani.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, Indonesia menghasilkan lebih dari 35 juta ton sampah per tahun, dan sekitar 40 persen di antaranya berakhir di alam terbuka, sungai, atau laut. Plastik yang tak terurai itu perlahan terpecah menjadi mikroplastik— masuk ke tubuh ikan, lalu ke tubuh manusia.
Ironisnya, di tengah komitmen global menuju net zero emission pada 2060, emisi karbon dari sektor energi dan transportasi di Indonesia justru meningkat. Konsumsi bahan bakar fosil masih mendominasi, sementara energi terbarukan baru menyumbang sekitar 13 persen dari bauran energi nasional. Padahal, potensi tenaga surya, angin, dan biomassa negeri ini nyaris tak terbatas.
ICCF 2025 berupaya menjembatani jurang antara kebijakan dan aksi nyata. Eddy Soeparno menyebut forum ini sebagai “wadah inklusif” yang mempertemukan semua pihak dalam upaya menghadapi krisis iklim. Salah satu rekomendasi penting dari forum ini adalah mendorong peran aktif Indonesia dalam COP 30, konferensi iklim PBB yang akan digelar di Brasil tahun depan.
“Melalui ICCF, kami mendorong Presiden Prabowo untuk mengambil peran sebagai climate leader dunia,” ujar Eddy. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan moral dalam isu lingkungan, seraya mengutip pesan Prof. Emil Salim: Satu bumi untuk semua generasi.
Lebih dari sekadar forum diskusi, ICCF juga membuka wacana pembentukan lembaga atau kementerian khusus perubahan iklim, untuk memperkuat koordinasi kebijakan lintas sektor. Ide ini muncul dari kesadaran bahwa tata kelola iklim membutuhkan clarity, coordination, and consistency—tiga hal yang kerap hilang dalam praktik birokrasi kita.
Dari Sampah ke Energi
Salah satu tema menonjol di ICCF adalah penanganan sampah berbasis teknologi. Pemerintah baru saja menerbitkan Perpres No. 109 Tahun 2025 tentang pengolahan sampah menjadi energi terbarukan (waste to energy). Kebijakan ini menjadi sinyal kuat bahwa pendekatan terhadap limbah harus bergeser dari sekadar pengumpulan dan penimbunan menuju ekonomi sirkular—di mana sampah menjadi sumber daya.
Sejumlah kota, seperti Surabaya dan Bandung, telah memulai proyek percontohan waste to energy plant. Namun, skala nasional masih jauh dari memadai. Tantangan utamanya bukan hanya teknologi, tetapi juga kesadaran publik dan tata kelola yang lemah. Di banyak daerah, pemilahan sampah di tingkat rumah tangga masih minim. Sebagian besar TPA masih beroperasi dengan sistem open dumping—membuang tanpa pengolahan.
“Forum ini mengingatkan bahwa masa depan hanya bisa dijaga bila semua pihak berjalan bersama,” kata Eddy. Kolaborasi multipihak—antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil—menjadi kunci untuk mengubah krisis menjadi momentum perubahan.
Krisis iklim adalah persoalan peradaban, bukan sekadar urusan teknis. Di balik suhu global yang naik 1,2°C, tersimpan ancaman yang menyentuh semua aspek kehidupan: pangan, kesehatan, air bersih, hingga ekonomi. Tanpa aksi cepat, Indonesia berisiko kehilangan hingga 30 persen hasil pertanian dan 40 persen wilayah pesisirnya dalam 25 tahun ke depan.
Namun, di tengah ancaman itu, masih ada harapan. Gerakan komunitas seperti Pandawara Group membuktikan bahwa anak muda bisa menjadi motor perubahan. Mereka tak hanya membersihkan sungai, tapi juga menggugah kesadaran publik bahwa tanggung jawab menjaga bumi tak bisa ditunda.
ICCF 2025 menjadi ruang di mana semangat seperti itu diakui dan diperkuat. Dari forum ini, lahir keyakinan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil—dari rumah, dari sekolah, dari kantor, dari kebijakan lokal.
Perubahan iklim bukan bencana yang datang tiba-tiba. Ia hasil dari kelalaian kolektif manusia dalam memperlakukan bumi. Karena itu, jawaban atas krisis ini pun harus kolektif. Pemerintah harus berani menindak industri yang mencemari. Dunia usaha harus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam bisnisnya. Masyarakat harus mengubah perilaku konsumsi dan gaya hidup.
Seperti kata Eddy Soeparno, “Climate Action Starts Now.” Tidak besok, tidak tahun depan. Saatnya bergerak, sebelum bumi benar-benar kehilangan kesabaran. ***