Catatan Denny JA: Mengapa Ketuhanan, Bukan Tuhan, Dalam Sila Pertama Pancasila

- Pengantar Buku “Teks Pancasila – Sebuah Eksegesis” karya Berthold Damshäuser

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Suatu malam di tepi danau kecil di Jawa Barat, seorang lelaki duduk bersila di atas batu. Ia bukan penganut lima agama besar dunia.

Ia menolak menyebut dirinya ateis, tetapi juga enggan menyebut dirinya beriman. Ia percaya pada sesuatu—entitas tak dikenal, misterius, the Unknown—yang ia rasakan hadir dalam detak jantungnya dan dalam gemuruh petir di langit.

Ia bertanya lirih: “Apakah keyakinanku ini diakui oleh tanah airku? Apakah Pancasila menampung aku—yang tak menyembah Tuhan personal, tapi mengakui Keberadaan yang tak bisa dinamai?”

Pertanyaan sederhana itu mengguncang fondasi spiritual bangsa. Ia mengarah pada perbedaan kecil tapi mendasar: mengapa pendiri bangsa memilih kata “Ketuhanan”, bukan “Tuhan”, dalam sila pertama Pancasila?

-000-

Berthold Damshäuser, Indonesianis dari Universitas Bonn, menjawab kegelisahan itu melalui esainya yang monumental, Teks Pancasila – Sebuah Eksegesis.

Ia mengajak kita menafsir ulang Pancasila dengan ketelitian seorang filolog, bukan dengan dogma seorang teolog.

Damshäuser menunjukkan bahwa kata “Ketuhanan” bukan berarti kepercayaan kepada Tuhan personal, melainkan menunjuk pada konsep abstrak keilahian—suatu realitas metafisik yang tidak terikat pada bentuk agama atau sosok pribadi.

Ia menulis: “Ketuhanan adalah konsep yang setara dengan Keilahian, bukan personalitas Ilahi.”

Dengan metodologi eksegesis tekstual—yakni menafsir teks Pancasila melalui dirinya sendiri dan bukan melalui tafsir ideologis atau religius—Damshäuser menyimpulkan bahwa sila pertama tidak bersifat teistik maupun monoteistik, melainkan bersifat transenden dan non-personal.

Negara Indonesia, dalam pandangan ini, berdiri bukan atas iman kepada “Tuhan”, tetapi atas pengakuan bahwa ada realitas Ilahi di luar jangkauan empiris manusia.

Itulah sebabnya Pancasila tidak memaksa siapa pun untuk percaya kepada Tuhan tertentu, melainkan mengakui ruang spiritualitas yang luas bagi setiap jiwa. Itu termasuk bagi mereka yang hanya percaya kepada ketakjuban kosmis—kepada keheningan alam yang menyimpan misteri keberadaan.

-000-

Berthold Damshäuser bukan sembarang penafsir dari luar negeri. Ia telah mengabdikan hidupnya selama hampir empat dekade untuk bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn.

Ia menerjemahkan puisi-puisi dari dua dunia, menjadi Presidential Friend of Indonesia, dan menulis buku Mythos Pancasila (2021).

Ia memahami bahwa bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin jiwa bangsa.

Metodologi yang ia gunakan disebut analisis tekstual-imanen, atau text-oriented exegesis.

Ia membaca Pancasila sebagaimana seorang ahli tafsir membaca kitab suci: tanpa menambah, tanpa mengurangi, tanpa mengutip niat para penyusunnya kecuali sejauh terpantul dalam teks itu sendiri.

Kekuatan pendekatan ini terletak pada ketajamannya yang objektif. Ia membebaskan Pancasila dari beban ideologi, agama, atau politik, dan menempatkannya dalam ranah semantik yang murni.

Namun, kelemahannya juga terletak di sana: ia bisa mengabaikan roh sejarah dan niat batin Sukarno serta para perumusnya. Sebab teks yang hidup tak pernah sepenuhnya otonom dari jiwa yang menulisnya.

Meski begitu, keberanian Damshäuser untuk menafsir Pancasila dengan pisau linguistik membuat kita kembali menyadari satu hal penting.

Dasar negara kita sesungguhnya dibangun bukan atas dogma, melainkan atas bahasa—dan bahasa selalu membuka ruang bagi penemuan makna baru.

-000-

Pertanyaan “Ketuhanan, bukan Tuhan” sesungguhnya bukan milik Indonesia semata. Perdebatan serupa muncul dalam karya Paul Tillich, teolog Jerman-Amerika, dalam bukunya The Courage to Be (1952).

Tillich menolak konsep Tuhan personal dan menggantinya dengan gagasan “the Ground of Being”—dasar dari segala keberadaan.

Ia menulis: “God does not exist as a being among beings; God is Being-itself.”

Konsep ini sejalan dengan gagasan Damshäuser: bahwa Ketuhanan bukanlah sosok, melainkan keberadaan yang menjiwai segalanya.

Dengan demikian, Pancasila dapat dianggap memeluk ontoteologi universal—suatu pandangan yang memungkinkan semua bentuk spiritualitas hidup berdampingan tanpa memonopoli kebenaran.

Pertanyaan penting kini muncul: apakah konsep Ketuhanan ini dapat merangkul teisme, politeisme, deisme, agnostisisme, bahkan ateisme?

Jawabannya: ya, sejauh Ketuhanan dimaknai sebagai pengakuan atas dimensi transenden dalam eksistensi manusia.

• Bagi teis, Ketuhanan berarti keyakinan pada Tuhan personal.

• Bagi polites, Ketuhanan dapat berarti pengakuan pada berbagai manifestasi Ilahi.

• Bagi deis, Ketuhanan berarti pengakuan akan Sang Pencipta yang tak campur tangan.

• Bagi agnostik, Ketuhanan adalah pengakuan bahwa ada sesuatu yang melampaui pengetahuan manusia.

• Bagi ateis non-dogmatis, Ketuhanan dapat diartikan sebagai penghormatan pada misteri kosmos, pada nilai moral dan keindahan yang tidak bergantung pada Tuhan personal.

Dengan demikian, Ketuhanan adalah jembatan semesta, bukan pagar pemisah.

Ia bukan nama bagi Tuhan tertentu, tetapi ruang bagi setiap manusia untuk mencari cahaya menurut jalannya sendiri.

-000-

Ketika seorang manusia, entah di gereja, masjid, vihara, pura, atau di heningnya hutan, menatap langit dan berkata dalam hati: “Aku tak tahu siapa Engkau, tapi aku tahu Engkau ada,” — di situlah sila pertama Pancasila berdenyut.

Berthold Damshäuser telah mengingatkan kita bahwa keagungan Pancasila tidak terletak pada Tuhan yang Maha Esa, melainkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ini sebuah konsep yang memungkinkan seluruh keyakinan bernaung dalam satu payung spiritual yang inklusif.

Jika Tuhan adalah kata, maka Ketuhanan adalah keheningan di balik kata itu.

Dan dalam keheningan itulah, Indonesia menemukan jiwanya.*

Jakarta, 20 Oktober 2025

REFERENSI

1. Berthold Damshäuser, Teks Pancasila – Sebuah Eksegesis, Regiospectra Verlag, Berlin, 2022.

2. Paul Tillich, The Courage to Be, Yale University Press, 1952.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1Bw4sLL6r1/?mibextid=wwXIfr ***