Trump Gaza Plan: Wajah Baru Kolonialisme Abad 21
Oleh Haidar Bagir*
ORBITINDONESIA.COM - Sulit dibayangkan, di abad ke-21, dunia kembali menyaksikan sebuah proyek politik yang menampakkan wajah kolonialisme zaman lampau. Trump Gaza Plan, yang dipromosikan dengan narasi rekonstruksi dan pembangunan “New Gaza”, justru memperlihatkan pola lama: penguasaan oleh kekuatan asing, pembentukan pemerintahan boneka, prospek eksploitasi ekonomi untuk kepentingan penjajah, dan ancaman kekerasan bagi siapa saja yang menolak.
Retorika modernisasi dan investasi hanyalah bungkus halus dari skema dominasi yang sudah kita kenal sejak era kolonial abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Inti rencana ini jelas. Gaza akan ditempatkan di bawah otoritas pengawas yang dipimpin tokoh asing—Donald Trump sebagai figur simbolik dan Tony Blair - yang disebut-sebut sebagai administrator atau gubernur sementara.
Pemerintahan teknokratik ini jelas tidak merepresentasikan rakyat Gaza, melainkan instrumen asing yang dipaksakan. Seluruh infrastruktur militer Hamas diwajibkan untuk dihancurkan, tanpa jaminan keamanan bagi penduduk sipil. Yang lebih tidak masuk akal, ultimatum diberikan untuk dilaksanakan hanya dalam jangka waktu tiga atau empat hari, dengan ancaman akan mengalami “akhir yang menyedihkan” bila menolak. Ini pasti bukan sebuah negosiasi, melainkan pemaksaan politik sepihak dan sewenang-wenang, yang dibungkus dengan bahasa diplomasi.
Di sisi lain, janji pembangunan sebuah kota modern “New Gaza” dengan investasi asing besar-besaran dipromosikan seolah-olah sebagai kompensasi atas kehilangan kedaulatan itu.
Paralel dengan kolonialisme klasik sangat jelas. VOC, misalnya, tampil sebagai perusahaan dagang, namun pada saat yang sama bertindak sebagai negara dengan tentara, hukum, dan gubernur jenderal. Ia menempatkan raja-raja kecil dalam posisi subordinat, memaksa mereka menandatangani kontrak yang hanya menguntungkan Belanda.
Pola ini terulang dalam rencana Gaza: pemerintahan boneka diciptakan, ekonomi ditata ulang dengan orientasi eksternal, dan ancaman kekuatan militer menjadi penjamin ketertiban. Jika dulu kolonialisme membungkus dirinya dengan bahasa “perdagangan” atau “peradaban”, kini kolonialisme datang dengan narasi “rekonstruksi” dan “investasi.”
Frantz Fanon, dalam Les Damnés de la Terre (1961), menulis bahwa kolonialisme selalu berusaha merasionalisasi kekerasan dengan klaim membawa pembangunan dan modernisasi. Menurut Fanon, kolonialisme bukan hanya dominasi fisik, tetapi juga penaklukan mental: menjadikan masyarakat terjajah percaya bahwa mereka tidak mampu mengatur dirinya sendiri.
Retorika Trump Gaza Plan bergerak persis dalam logika ini: Gaza digambarkan sebagai wilayah yang rusak, chaotic, dan hanya bisa diselamatkan oleh tangan eksternal yang kuat. Sementara itu, peran rakyat Gaza sebagai subyek politik direduksi menjadi obyek rekonstruksi.
Edward Said, dalam Orientalism (1978), menjelaskan bagaimana dunia Barat menciptakan citra Timur sebagai “yang lain” yang eksotik, lemah, dan perlu diarahkan. Trump Gaza Plan, paling sedikit, mengoperasikan logika orientalis yang sama: Gaza dipandang sebagai wilayah yang tidak mampu berdiri sendiri, penuh ancaman teror, dan oleh karenanya harus dikelola oleh badan internasional dengan figur Barat di puncaknya.
Klaim modernisasi yang menyertai rencana ini bukanlah netral, melainkan bagian dari narasi hegemonik yang membenarkan intervensi dan eksploitasi. Said menegaskan, Pengetahuan dan narasi tentang Gaza yang dibangun dalam rencana ini adalah sarana untuk mendominasi dan mengeksploitasi, bukan untuk membebaskan.
Sementara itu, Achille Mbembe dalam Necropolitics (2003) menunjukkan bagaimana kekuasaan modern sering kali dijalankan melalui kendali atas kematian dan kehidupan. Kolonialisme tidak hanya soal kontrol ekonomi atau politik, melainkan soal siapa yang boleh hidup dan siapa yang dibiarkan mati.
Gaza dalam rencana ini ditempatkan dalam situasi yang sepenuhnya sesuai dengan necropolitics: rakyatnya dipaksa memilih antara menerima pemerintahan boneka dengan janji pembangunan, atau menolak dan menghadapi “akhir yang menyedihkan.” Penghancuran total.
Dengan blokade, pemusnahan infrastruktur sipil, dan ancaman senjata pemusnah massal, kehidupan sehari-hari orang Gaza ditentukan dari luar. Gaza dijadikan laboratorium necropolitik di mana kedaulatan hidup-mati sepenuhnya ada di tangan penguasa eksternal.
Sejarah mengajarkan bahwa, selain utamanya didorong oleh kebuasan dan keserakahan sekelompok manusia atas korban manusia lain, kolonialisme semacam ini hanya bisa bertahan melalui dua mekanisme: kekerasan dan kolaborasi dengan elit lokal. Tetapi legitimasi yang rapuh membuatnya selalu menghadapi perlawanan. Belanda di Nusantara hanya mampu bertahan dengan kombinasi militer dan kontrak politik dengan raja-raja kecil, namun sepanjang tiga abad itu, pemberontakan rakyat tidak pernah berhenti.
Trump Gaza Plan berisiko mengulang pola itu. Pemerintahan teknokratik Gaza mungkin berjalan sesaat, tetapi tanpa legitimasi dari rakyat, ia hanya akan dipandang sebagai instrumen penjajahan. Resistensi tinggal menunggu waktu, dan dengan persenjataan modern, siklus kekerasan bisa jauh lebih dahsyat dibandingkan era kolonial klasik.
Jika kita tarik garis lebih jauh, rencana ini juga berpotensi mengubah rekonstruksi menjadi kolonisasi permanen. Masa transisi bisa diperpanjang tanpa batas, dengan alasan stabilitas atau keamanan. Investasi asing dan pembangunan infrastruktur dapat menciptakan ketergantungan struktural.
Dalam jangka panjang, Gaza bisa menjadi protektorat de facto—wilayah yang secara formal bukan jajahan, tetapi secara substansial kehilangan kedaulatan. Inilah kolonialisme baru: tidak datang tanpa tedeng aling-aling dengan kapal perang dan meriam, tetapi dengan kontrak investasi, badan pengawas internasional, dan retorika globalisasi.
Menyebut Trump Gaza Plan sebagai kolonialisme abad 21 karenanya bukanlah sekadar retorika, melainkan sebuah pembacaan historis yang tepat. Ia memperlihatkan bahwa kolonialisme tidak pernah benar-benar berakhir. Ia hanya berganti wajah.
Dulu ia datang dengan bendera perusahaan dagang seperti VOC atau kekuatan imperium Eropa; kini ia datang dengan jargon rekonstruksi, investasi, dan tata kelola global. Tetapi substansinya tetap sama: rakyat lokal dipinggirkan, kekuasaan diambil alih oleh pihak eksternal, dan ancaman kekerasan selalu menjadi instrumen penentu.
Sejarah juga mengajarkan bahwa kolonialisme tidak pernah menghasilkan perdamaian sejati. Ia selalu menimbulkan perlawanan, delegitimasi, dan konflik berkepanjangan. Pertanyaannya, seberapa lama proyek seperti ini bisa dipaksakan sebelum pecah kembali menjadi gelombang perlawanan yang lebih besar? Dengan senjata modern dan politik necropolitik yang brutal, dampaknya bisa lebih mengerikan daripada kolonialisme abad lalu.
Inilah sebuah ankronisme yang bahkan melampaui imajinasi kita yang paling liar sekali pun. Sebuah wujud kegilaan massal sekelompok (orang yang merasa menjadi) penguasa dunia, yang telah kehilangan kewarasan kemanusiaannya, digantikan dengan kebuasan bukan alang kepalang yang justru memusnahkan kemanusiaan itu sendiri.
Dan jika ini dibiarkan tanpa perlawanan habis-habisan, maka akibatnya bisa tak kurang dari kemusnahan kemanusiaan dan umat manusia itu sendiri.
Inilah suatu gergasi angkara murka yang bisa menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya, tanpa ada yang bisa menahannya.
Sekarang bangsa Palestina, oleh Israel dan para sekutu-Baratnya, setelah ini bisa bangsa-bangsa lain mana saja, oleh kelompok manusia angkara murka serba pongah dan serakah lainnya.
*Haidar Bagir adalah cendekiawan Muslim, ***