Cerpen Heri Haliling: Onderdil Tua
ORBITINDONESIA.COM - Kakekku yang di sana, di bawah pohon sengon, yang berteduh dari hujan itu, bebal. Kata ayah ibuku demikian adanya. Keluarga kami mapan. Ayah dan bundaku karyawan perusahaan, punya jabatan tinggi. Satu di tambang, satunya di perusahaan kelapa sawit. Jadi jelas dong, kemampuan finansial kami di atas rata-rata. Dan adanya kakek di pinggir jalan, yang akan historia menjelang Agustusan begini, tak beda dengan aib.
Sudah ku bilang sesuai pesan ayah dan bunda bahwa kakek, mantan veteran itu nggak usah repot-repot lagi peduli dengan negara. Nggak usah lagi bersikap patriot dari dagangan bendera yang beliau elu-elukan. Hanya merepotkan dan tak berfaedah.
Kayak yang sekarang ini. Aku saksikan dari payung yang menudungiku, kakek duduk terpekur sendiri. Tumpukan bendera yang ia tutupi plastik sekira tak basah itupun masih banyak. Nggak laku-laku. Nggak menarik pembeli. Palingan yang sering mampir hanya debu jika panas. Bila hujan begini? Huh!? Seringnya diguyuri air cokelat keruh dari terjangan dump truk pengangkut batu bara.
Aku kacak pinggang kananku. Menggeleng. Bayi senja yang dambakan satya lencana dari negara. Kakek..,kakek? Usiamu yang sampai 80 tahun ini mending selesaikan dengan jalan-jalan. Punya anak makmur untuk apa bersusah-susah.
Abdimu nggak akan ditengok pemerintah. Sudah lama tergadai utang dan kebutuhan komersil. Untuk apa sih berdingin-dingin gituan. Dan kini aku juga ya ribet, kan? Bunda minta aku harus mendatangimu. Mengingatkan lagi dan lagi. Dan semprot omelan darimu pasti muncrat lagi ke wajahku.
Aku melenguh dan dengan malas ku datangi kakek.
"Pulang, Kek?"
Tak ada jawaban. Matanya saja yang kosong ke depan. Lalu lalang dump truk menggerung kekenyangan. Aku berjongkok. Sialan! Bokongku tercelup kubangan. Ah malasnya aku! Sebagaimana ayah selalu menggerutu di meja makan, 'Perusahaan selalu bayar restribusi rutin untuk jalan, tapi ancur terus dan hanya disasar warga yang nggak dapat jatah kerja.' Aku benarkan.
Brumm!!! Wuss!!
Dengkur truk kali ini menarik matanya. Tak hanya itu, seolah tak lekang bahkan hingga jauh pun mata kakek masih mengejar. Hingga truk bermuatan karet itu tampak berhenti isi solar.
"Berandal jalan! Bangkaiku saja mungkin lebih mulia daripadanya!" omel kakek.
Tentu saja aku terkejut. Sekian truk lalu lalang dan hanya barusan yang dia maki habis-habisan. Lebih kaget lagi, tubuhnya yang ringkih bungkuk itu malah bangun. Lalu dengan tanpa peduli, kakek menyeret kakinya menerebas hujan. Kakek mendatangi truk itu.
Merasa ada yang tak beres, aku segera mengekor di belakang. Ulah apalagi sekarang? Tuhan betapa random kelakuan kakek. Kupikir-pikir, mungkin hanya lantai kamar mandi saja yang bisa hentikan dia.
Tak lama sampailah kakek di samping truk. Dia lekas hampiri sang supir.
"Turunkan bendera gak jelas ini!" perintahnya tegas. Seolah kembali pada masa kejayaannya, komando kakek tanpa secuilpun keraguan.
Si supir nyengir tanpa peduli. Menatap kakekpun tidak. Dia hanya sibuk memasukkan pecahan kembalian di saku Levis.
Kakek tambah berang. Dia panjat kepala truk itu. Dan kali ini supir keluar dari sembunyinya di teras warung. Ikut berhujan untuk mencegah. Bukan sebuah kemarahan yang ku bisa tafsirkan, melainkan kecemasan jikalau kaki kakekku tergelincir. Setidaknya presepsi itu jugalah yang mendarat dibenakku.
"Ayolah, Kek. Biarkan saja," cegahku sambil menopang pantat kakek yang rusuh cari pijakan. Sial, lantaran ini aku pun ikut menanggalkan payungku. Berhujan.
Kakek berhasil naik, merenggutnya. Loncat ke tanah seolah daya terkumpul sewaktu muda.
"Negara bukan dilecehkan begini!"
"Kek itu hanya simbol protes saja," terang si sopir datar. Syukur begitu. Setidaknya pria bertato ini menjungkalkan prasangkaku tentang urak-urakan seorang supir.
"Protes dengan pemerintah silakan! Tapi negara tetap junjungan. Dan sebagai yang dijunjung, bendera itu kehormatan! Bukan mainan!"
Kami bertiga masih berhujan-hujan.
"Kek, bendera partai juga sering kibar di mana-mana. Sudahlah Kek, yuk pulang," pintaku sedikit malu sebab warga mulai menikmati drama gratis ini.
"Lagian, Presiden juga udah buka jalan Kek. Gak masalah," imbuh si sopir.
"Itulah lemahnya dia di masa tua! Toleransi hanya berlaku untuk agama, bukan lambang negara."
"Pentingnya apa, Kek untukmu yang tersisih demikian," timpalku sekalian ingin cepat ini berhenti.
Bukan yang kuharapkan. Nada kakek kian kobar meski disiram umur dan hujan.
"Daun kering macamku lebur dan terganti, tapi pertiwi wajib berdiri. Bangsa ini abdi padanya! Lambang negara dijadikan perolokan untuk pemerintah merupakan kesalahan tentang arti 'kebebasan'. Sepuluh tahun lagi, bukan tak mungkin setiap pulau kibarkan benderanya sendiri."
"Kakek kejauhan! Ayo sudahlah, pulang Kek!" tegasku tak tahan dengan lanturannya.
Dia puntal bendera kartun itu. Membanting ke tanah!
"Sistem bobrok dan lemah. Beginian tak ditindak, berikutnya apa beda jika bendera HTI bahkan PKI dikibarkan. Toh sebagian orang mendukung dan anggap punyai nilai positif terhadap idiologi sayap kiri itu. Kehinaan yang dipublikasikan! Zamanku mati-matian hanya untuk menggerek dan meninggikan, sekarang benar-benar ditelanjangi habis-habisan!"
Aku meneguk ludah yang terasa kering. Sejauh ini kakek berpikir. Ku pandangi si sopir juga bengong bersemu hujan. Orang uzur di hadapanku itu bukan daun kering yang lebur oleh waktu. Kakek merupakan waktu itu sendiri. Waktu yang mengingatkan.
***
Malamnya pekat mengambang melingkupi setiap jengkal tanaman teras. Tak ada bintang. Hanya lampu hemat energi yang berkedip muram. Di atas meja makan, ayah menyilangkan kaki. Bundaku sibuk menyuap nasi ke mulut yang dari tadi tak pernah menelan. Sementara kakek duduk terpekur. Tidak di sofa. Tidak juga di kursi rotan warisan nenek. Tubuhnya amblas memilih ubin dingin. Lantai yang memantulkan bayangan dirinya yang kini tak ada harga.
Kemeja kakek masih dingin kuyup. Namun bisa ku rasakan dadanya panas. Selaksa harap mungkinkah masih ada? Prilaku supir siang tadi ku rasa begitu celaka. Di mata kakek, aku yakin sikapnya tak beda dari penghinaan.
Detak jam dinding terdengar seperti meringis ejek. Ringisannya hampir berbarengan dengan kalimat yang keluar dari mulut bunda.
"Kakek bisa mati kedinginan kalau begini terus," ucap bundaku. Tapi tidak seperti peduli.
Lebih seperti orang yang menginginkan embusan angin. Terpenuhi dan segera pergi.
Ayah pun tak menoleh. Ia masih menggulir ponsel. Tak lekang matanya pada berita saham, tambang, dan presepsi negara yang katanya sedang 'baik-baik saja.'
Kakek mematung tak menyahut. Namun tangan keriputnya mulai menjamahi bingkai yang sejak tadi ia peluk. Sinar lampu meneranginya sekarang. Foto itu warnanya telah dicuri waktu.
Foto kakek saat muda, gagah, dan penuh luka. Dikelilingi wajah-wajah yang kini hanya jadi nama di tugu peringatan. Kakek rengkuh bingkai foto itu seperti memeluk asa yang disangkal nyata.
"Kakek itu cari perhatian, ya? Di usia segitu, harusnya sudah tahu kapan berhenti. Negara sudah berubah. Kita juga," lanjut bunda.
Mendadak nyalang mata kakek beringas menatap bunda. Kupandangi bunda menampik muka. Tak ayal gemeretakan dari gigi kakek setengah terdengar. Menggeram keluar dari mata luka.
Aku hanya diam. Beku menunggu.
"Oh begitu, jadi kita lupakan saja rasanya menjahit merah putih dari kafan saudara sendiri! Enyahkan saja perasaan tentang bagaimana memeluk tubuh hangus karena ingin bendera ini tetap berkibar di tiang bambu busuk!"
"Daur, tenangkan kakek," pinta bunda kepadaku. Bunda tak lagi menyuap. Mungkin seleranya hilang. Atau bisa juga lidahnya telah mati rasa. Oleh kebersalahan yang langsung dibayar tuntas dengan penjelasan.
"Kalian hidup dari hasil menyerah. Aku berdiri dari sisa-sisa yang dibakar," gerutu kakek tak terima.
"Kek," panggilku bergerak mendekati. Aku berjongkok. Memegang bahunya yang terasa tulang saja. Aku mulai merasakan pembenaran atas semua yang ingin kakek perjuangkan. Terutama siang tadi. Aku iba dengannya. Ku rasakan benar adanya. Mungkin generasiku sekarang tak mampu membedakan darah dan cat merah.
Tiba-tiba kakek berdiri. Ia kencangkan kuda-kuda. Dan tanpa keraguan melangkah pergi.
Aku segera mencegah.
"Kakek, mau ke mana. Ini sudah malam."
Kakek tak gubris. Bingkai foto tetap dalam pelukannya. Ironisnya, ayah bunda pun juga sama dinginnya. Kesan angkuh memenuhi muka mereka.
"Ayah, bunda!" seruku.
"Biarkan kakekmu sendiri, Daur!" kata ayah tegas. Seolah hal itu telah biasa ia hadapi.
Di ambang pintu, kakek menciumi foto itu. Mulutnya berkedut. Membisikkan nama. Mungkin sahabat, atau mungkin dirinya sendiri yang pernah ada.
"Kek sudah, ya. Keluargamu ini orang merdeka. Kami pemenang dari perang hidup di mana negara yang kakek agung-agungkan itu tak akan sungkan mengambil hak kebebasan," buru bunda melemah. Bagaimanapun, pria tua kurus di hadapannya itu adalah ayahnya. Bunda mendekat berusaha menenangkan.
Kakek mendongak. Tidak ke arah bunda. Matanya keluar menatap langit. Gelap pekat. Lalu sebuah suara serak retak muncul.
"Kalian benar. Aku saja yang terlalu heboh. Urus bendera yang terlampau besar pengharapan. Nyatanya aku hanya onderdil tua. Bengkel sekarang pun tak bakal paham tentangku."
Badan kakek menggigil. Tangan kirinya memegang knop pintu. Siap ia dorong. Lalu bias wajah tampak menyamping. Cahaya lampu memantul. Ada sinar lembab di mata kakek.
"Jangan cemaskan aku. Si tua ini hanya akan duduk di kursi halaman. Kalian ke dalam, biarkan aku merangkul waktu. Yang tak akan senonoh untuk kalian memaham."
Krek!! Ceklek! Derit pintu terbuka lalu tertutup.
Aku mendekati hendak buka pintu. Namun bunda segera mencegah.
"Biarkan dulu."
Kandas! Aku menurut saja. Dan yang ku tahu, kekalutan segera muncul pada pagi harinya. Semua mencari kakek. Sementara aku hanya mengingat tanpa menyadari bahwa malam itulah terakhir aku melihatnya.
Bionarasi penulis:
Heri Surahman memiliki nama pena Heri Haliling. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh (PT Aksara Pustaka Media, 2024), Novelet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024), buku kumpulan cerpen Perempuan Penggenggam Pasir (Guepedia, 2025). Untuk berdiskusi dengan Heri Haliling pembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, email heri.surahman17@gmail.com.***