Noel, Amnesti, dan Etika Hukum

Oleh Dr. Abdul Aziz  M. Ag.*

ORBITINDONESIA.COM - Air mata  Immanuel Ebenezer jatuh. Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) itu menangis saat digiring petugas KPK di Gedung Merah Putih. 

Noel -- panggilan akrab Immanuel Ebenezer -- tampaknya shock berat saat kena OTT (operasi tangkap tangan) KPK Kamis, 21 Agustus 2025 di Jakarta. Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), yang populer sebagai Ketua Jokowimania (Jokman) dan Prabowomania (Broman) itu, ditangkap KPK karena melakukan pemerasan dalam pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). 

Biaya pengurusan K3 yang resminya Rp 275.000 oleh Noel dan gengnya dinaikkan jadi Rp 6 juta. Naik hampir 22 kali lipat. Nilai uang tersebut, hampir sama dengan dua kali UMR (upah minimum regional) kaum buruh yang "dinaungi" Kemenaker. 

Berapa jumlah kaum buruh yang telah diperas oleh Noel dan gengnya? Banyak sekali, Rp 81 Milyar. Karena pemerasan terjadi sejak 2019. Uang itu mengalir ke kantong para pejabat bejat yang rakus itu. Noel yang jadi Wamenaker sejak tahun 2024 di era Prabowo, ternyata ikut menikmatinya. 

Noel pernah meminta Rp 3 Milyar untuk renovasi rumah pribadinya yang mewah dan sebuah sepeda motor mahal Ducati. 

Noel dan gengnya benar-benar biadab. Alih-alih meringankan urusan kaum buruh, yang terjadi malah mencekiknya. Noel tampaknya lupa kalau dirinya adalah Wamen, pejabat tertinggi kedua di Kemenaker. Konyolnya, jabatan tinggi itu justru dimanfaatkan Noel untuk ikut memeras kaum buruh yang seharusnya dilindungi.

Jelas, Noel telah melakukan tindak pidana korupsi. KPK menjerat Noel dan kawan-kawannya yang terlibat (baru 11 orang ditangkap, mungkin bisa tambah lagi) dengan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Ada tindak pemerasan ini dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di gedung KPK, Jumat, 22 Agustus 2025. 

Hukuman untuk penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 (tentang Pemberantasan Korupsi) adalah pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda minimal Rp200 juta hingga Rp1 miliar. Perlu diketahui bahwa Pasal 12 huruf (e) merujuk pada tindakan korupsi yang berbeda, yaitu pemerasan, sementara Pasal 12B mengatur tentang gratifikasi yang dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban. 

Sementara itu, Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pratama menilai Wamenaker Immanuel Ebenezer alias Noel sangat layak dihukum mati jika terbukti korupsi. Haris menyinggung Noel yang pernah sesumbar menyebut koruptor harus dihukum mati.

Betul, sebelum kena OTT KPK, Noel sering menyatakan, koruptor harus dihukum mati. Tidak ada ampun bagi koruptor.

“Sekarang saatnya kata-kata itu dibuktikan pada dirinya sendiri. Noel sangat layak menjadi pejabat pertama yang dihukum mati jika terbukti korupsi, karena perbuatannya tidak hanya merugikan rakyat, tapi juga mencoreng nama baik Presiden Prabowo yang sedang bekerja keras untuk rakyat,” ujar Haris, Sabtu, 23 Agustus 2025.

Menurut Haris, pasal hukuman mati bagi koruptor bukanlah sesuatu yang mustahil. Ia mengacu pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undangx Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu bisa dijatuhi pidana mati.

Tapi yang aneh, begitu ketangkap KPK, Noel berharap dapat amnesti dari Presiden Prabowo. Mungkin dalam benaknya, Noel berpikir, kasus hukum yang menimpanya, sama dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Padahal, kalau dikaji secara hukum, kasus Noel jauh sekali bedanya dengan Hasto. 

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh negara kepada sekelompok orang atau individu atas tindak pidana tertentu, biasanya yang terkait politik, ideologi, atau kasus khusus. Amnesti tidak diberikan untuk kasus kriminal murni seperti narkoba, korupsi, atau kejahatan berat. Presiden sebagai satu-satunya pihak yang berhak memberi amnesti (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945), baru bisa memutuskan haknya setelah mendapat pertimbangan DPR.

Pertanyaan yang mencuat, apakah Noel memungkinkan dapat amnesti? Bila melihat kasusnya yang merugikan kaum buruh dan merusak hukum ketenagakerjaan, tampaknya Noel sulit mendapatkan amnesti. 

KPK, misalnya, telah menyita 22 kendaraan bermotor (15 mobil dan 7 sepeda motor) dari rumah mewah Noel, yang seluruh nilainya mencapai puluhan miliar rupiah. Sedangkan uang Noel dari pemerasan yang diendus KPK mencapai Rp 3 milyar. 

Jumlah kekayaan Noel tersebut melampai gaji dan tunjangan selama menjadi wamen, komisaris BUMN, dan ojek online sejak 2016.

Dari mana harta Noel yang banyak itu? Hampir dapat dipastikan, harta yang dikumpulkan oleh Noel berasal  dari korupsi. 

Ini beda dengan kasus Hasto yang lebih bernuansa politik. Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP yang divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR mendapat amnesti, awal Agustus 2025, dengan pertimbangan demi persatuan politik dan kontribusi terhadap negara. DPR  menyetujui bulat pemberian amnesti ini. Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, pertimbangan itu adalah untuk membangun rasa persaudaraan antar elemen bangsa dan memberi pengakuan atas jasa individu.

Dilihat dari perspektif etika hukum, apa yang dilakukan Noel sebagai pejabat negara, jelas merusak fondasi ketatanegaraan dan kepercayaan publik. Praktik pemerasan oleh orang yang diharapkan menjaga keselamatan dan kesehatan kerja adalah bentuk pengkhianatan terhadap tugas negara dan publik. 

Penggunaan jabatan negara untuk kepentingan pribadi adalah pelanggaran etika yang sangat serius. Sistem pemerasan ini tak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga berdampak negatif pada perusahaan jasa K3 serta buruh yang seharusnya mendapat layanan yang transparan dan adil.

*Dr. Abdul Aziz  M. Ag.
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta. ***