Hadi Sukadi Alikodra: Mengurangi Konflik Manusia -- Monyet Ekor Panjang
Oleh Hadi Sukadi Alikodra*
ORBITINDONESIA.COM - Monyet menyerbu Bogor. Mereka keluar dari habitatnya yang semakin sempit. Salah satunya terjadi di Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor beberapa waktu lalu.
Rombongan monyet tersebut turun dari kawasan lereng Gunung Malang dan memasuki pemukiman. Mereka juga masuk ke rumah dan warung penduduk, meresahkan warga setempat.
Hal yang sama juga terjadi di wilayah Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Pangrango. Kawanan monyet masuk perkampungan mencari makanan. Jumlah monyet yang relatif banyak, makanan yang tidak mencukupi di habitat aslinya, menyebabkan mereka "turun gunung" mencari makanan di pemukiman penduduk.
Konflik manusia dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ini memang makin sering terjadi di beberapa lokasi yang berbatasan dengan hutan habitat mereka. Tak hanya di Indonesia. Tapi juga di berbagai tempat di Asia Tenggara.
Penyebabnya, antara lain, karena menyempitnya habitat monyet seperti alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan, pemukiman, jalan, dan industri.
Di samping itu, makin banyaknya pemburu liar yang menjadikan monyet sebagai komoditas perdagangan. Bahkan, beberapa suku tertentu di Asia Tenggara, misalnya, menjadikan monyet sebagai hewan peliharaan, termasuk untuk dikonsumsi. Juga di dunia medis, monyet banyak dipakai untuk hewan percobaan dalam proses pembuatan obat-obatan.
Menyempitnya habitat monyet di hutan, mengakibatkan hewan lucu ini kehilangan sumber makan alaminya. Mereka mencari makanan di pemukiman, pasar, dan ladang.
Di sisi lain, satwa ini pun di beberapa daerah populasinya "terlihat" meningkat. Karena predator alaminya seperti ular, elang, dan macan jumlahnya makin sedikit. Mereka pun sering masuk ke perkampungan dekat hutan untuk mencari makanan.
Manusia pun sering memberi makan monyet di tempat-tempat tertentu -- terutama di daerah wisata tepi hutan seperti di Jawa dan Bali sehingga monyet terbiasa "akrab" dengan manusia. Bahkan di beberapa lokasi di Bali dan Jawa, monyet dianggap sebagai hewan sakral. Tak boleh disakiti. Akibatnya, monyet menjadi manja, nakal dan agresif jika tidak diberi makanan.
Kondisi di atas sering menimbulkan konflik antara manusia dan monyet. Konflik itu makin keras di daerah tertentu karena monyet merusak ladang, perkebunan, dan mencuri makanan di perkampungan.
Monyet ekor panjang dikenal cukup adaptif dengan lingkungan baru dan cepat berkembang biak. Mereka cerdas dan oportunis. Mereka bisa belajar mencuri, bahkan menukar barang curian dengan makanan.
Di beberapa daerah, perilaku monyet ekor panjang merusak ladang jagung, padi, singkong, dan perkebunan buah. Sehingga petani menganggapnya sebagai hama. Sedangkan bagi monyet sendiri, ladang jagung dan kebun buah milik warga adalah sumber makanan yang lebih mudah didapat ketimbang mencarinya di hutan.
Saat ini, konflik antara manusia dan monyet makin keras. Pengusiran dan relokasi habitat bahkan pembantaian terhadap monyet pun kadang terjadi. Tragisnya, pengusiran atau relokasi habitat monyet sering gagal. Monyet mudah mengenali habitat lamanya. Kalau pun bisa direlokasi habitatnya, mereka akan menjadi masalah. Di lokasi barunya, monyet kembali berulah.
Dengan gambaran di atas, jelas konflik manusia-monyet terjadi karena kombinasi berbagai faktor: ekologi, sosial, dan ekonomi yang sangat kompleks. Seperti habitat asli yang rusak, predator yang hilang, dan faktor sosial (interaksi monyet dan manusia) yang makin intens di beberapa lokasi.
Lalu, di mana saja monyet ekor panjang hidup dan berkembang biak? Mereka hidup di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Selatan Tiongkok. Di kepulauan Indonesia, kawanan monyet hidup di Bali, Nusa Tenggara, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tempat yang disukai monyet ekor panjang adalah jenis hutan mangrove, hutan hujan tropis, hutan sekunder, tepi sungai, hingga daerah pegunungan rendah. Tapi monyet itu adaptif, bisa juga hidup di dekat pemukiman, perkebunan, pura, kuil, hingga tempat wisata.
Ada sebagian orang menganggap monyet ekor panjang sudah overpopulasi. Jumlahnya kebanyakan. Sehingga sering konflik dengan manusia. Maka populasinya perlu dikurangi.
Pendapat di atas bisa dibenarkan. Tapi hanya terjadi di beberapa lokasi. Namun bagaimana kenyataannya? Jumlah monyet di Indonesia, justru defisit.
Pada dasarnya, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa populasi monyet ekor panjang secara keseluruhan di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan kini sudah berlebihan. Justru sebaliknya, data menunjukkan bahwa populasi mereka cenderung menurun.
Menurut dokumen Non-Detrimental Findings (NDF) resmi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), populasi monyet ekor panjang di kawasan lindung di Indonesia sekitar 105.187 ekor. Di Jawa sekitar 13.988, Sumatera 13.835, dan Kalimantan 76.166 ekor. Data tersebut menjelaskan, populasi Macaca fascicularis tidak melimpah. Bahkan dapat dikatakan sangat sedikit.
Itulah sebabnya IUCN (International Union for Conservation of Nature) pada tahun 2022 menetapkan kondisi global monyet ekor panjang sebagai endangered (hewan terancam punah). Ini karena terjadi penurunan populasi monyet ekor panjang sekitar 40% dalam tiga generasi terakhir (sekitar 42 tahun). Bahkan tren populasi menurun itu terus berlanjut hingga kini.
Kondisi ini berbahaya dilihat dari ekosistem. Ini karena Macaca fascicularis merupakan salah satu mata rantai ekosistem dalam menjaga kelestarian lingkungan. Melalui makanannya, monyet ikut menyebarkan biji pepohonan di hutan. Jadi, hewan ini memiliki peran ekologis penting sebagai penyebar biji dan berperan dalam menjaga keseimbangan hutan.
Sebagai pemakan serangga, kepiting, dan hewan kecil tertentu, kehadiran monyet ekor panjang berfungsi mencegah ledakan hama dan penyakit tertentu pula. Itulah sebabnya, dalam mata rantai ekosistem, monyet ekor panjang sangat penting untuk kelestarian alam.
Di pihak lain, Kementerian Kehutanan saat ini menyatakan bahwa monyet ekor panjang belum termasuk satwa yang dilindungi dan endangered di Indonesia. Karena belum ada indikasi penurunan signifikan di tingkat nasional. Tetapi, pemanfaatannya tetap harus dikontrol melalui mekanisme kuota berdasarkan penilaian NDF .
Maraknya monyet ekor panjang di permukiman di Jawa diduga karena hilangnya predator alami, seperti harimau Jawa yang sudah punah dan macan tutul Jawa yang sangat langka. Sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Meski jumlah monyet belum berlebihan, tapi tetap butuh pengendalian populasi di lokasi tertentu. Ini penting untuk mengurangi konflik dengan manusia.
Bagaimana mengurangi konflik antara manusia dan monyet? Jelas, manusia harus bisa mengendalikan monyet. Dalam hal ini, ada beberapa strategi pengendalian jumlah monyet, antara lain:
Pertama dengan sterilisasi. Strategi ini sudah diuji coba di Bali, Malaysia, dan India. Hasilnya cukup efektif. Tapi biayanya tinggi dan butuh waktu lama.
Kedua, relokasi. Sejumlah monyet dipindahkan ke lokasi yang jauh dari habitat semula. Berhasil? Setelah uji coba, ternyata sering gagal. Kenapa? Karena monyet kadang bisa kembali ke habitat lamanya, jika relokasi itu tidak terlalu jauh; juga seringkali menimbulkan konflik di lokasi baru.
Ketiga, pengendalian alami dengan mengembalikan predator monyet seperti elang, ular besar, dan kucing besar. Strategi ini kelihatannya mudah, tapi ternyata sulit di lapangan. Strategi ini hampir tidak mungkin diterapkan di dekat pemukiman. Warga bisa ketakutan!
Keempat, menjaga ekosistem hutan agar rantai makanan tetap seimbang. Yang ini kelihatan simpel. Hanya memperbanyak tanaman buah alami yang disukai monyet. Agar kawanan Macaca tidak terlalu tergantung pada ladang dan rumah-rumah warga.
Kelima, menanam pohon di zona penyangga, seperti bambu dan tanaman berduri, akan bisa memisahkan pemukiman dan hutan habitat monyet. Dampaknya positif: serangan monyet dapat berkurang. Zona penyangga dekat pemukiman bisa mencegah akses monyet ke lingkungan warga.
Keenam, manajemen Interaksi dengan manusia. Dalam hal ini, hentikan pemberian makanan kepada monyet. Di lokasi wisata seperti Bali, Pangandaran, ataupun Telaga Warna Puncak, perlu ada peringatan kepada wisatawan agar tidak memberi makanan ke monyet. Kebiasaan memberi makan justru membuat monyet makin berani dan agresif.
Ketujuh, menyimpan makanan dan sampah di tempat tertutup yang tak bisa dibuka monyet. Ini penting untuk mencegah monyet mencuri makanan. Kebiasaan mencuri makanan ini berakibat monyet makin agresif dan konflik dengan manusia semakin tinggi.
Kedelapan, memberi edukasi kepada warga yang pemukimannya rentan gangguan monyet. Jangan menatap mata mereka, memprovokasi mereka, dan memberi makanan ke mereka. Ini untuk mengurangi kenakalan dan agresifitas monyet.
Kesembilan, strategi pengendalian monyet tersebut masih bisa diperluas dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Misalnya menggunakan alat elektronik yang bisa menimbulkan suara atau getaran yang frekwensinya menakutkan monyet. Dengan kemajuan teknologi, manajemen pengendalian populasi dan agresivitas monyet bisa dibuat lebih efektif dan praktis.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk mengurangi intensitas konflik antara manusia dan monyet ekor panjang.
*Hadi Sukadi Alikodra
Pensiunan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor ***