Mike Tyson vs Jake Paul: Asalkan Dia Tidak Tumbang
- Penulis : M. Imron Fauzi
- Minggu, 17 November 2024 14:09 WIB
Oleh A.S. Laksana*
ORBITINDONESIA.COM - Sehari sebelum pertandingan, ia mengatakan, “Saya akan membawa iblis ke atas ring. Saya tidak akan membawa-bawa perasaan. Niat saya adalah menyakiti lawan saya, dan saya berharap dia punya niat yang sama, atau dia akan mendapatkan masalah.”
Mike Tyson dijuluki "The Baddest Man on the Planet" sebagai petinju, dan dia menjamin akan memukul KO Jake Paul.
Baca Juga: Hukum Roux tentang Karate, Kenapa Karateka Kuat Fisik dan Mental
“Saya ingin anak-anak saya melihat bahwa saya benar-benar pria paling jahat di muka bumi. Selama ini mereka hanya melihat saya sebagai ayah. Tapi, pada 15 November, mereka akan mengubah pendapat mereka tentang saya.”
Siang tadi ia bertanding melawan Jake, dan ia gagal membuktikan apa yang ia janjikan, dan saya menonton pertandingan mereka di layar laptop dengan perasaan cemas bahwa Tyson akan dipukul jatuh oleh lawan yang usianya 31 tahun lebih muda darinya. Ia sudah 58 tahun dan sudah hampir dua puluh tahun mundur dari ring tinju, dan Jake baru 27 tahun.
Mike tidak membawa iblis sama sekali di ring tinju siang tadi. Ia membawa ketuaan. Pada usianya saat ini, ketika koordinasi antara otot dan pikiran melemah, lawan sejatinya bukanlah petinju lain, tetapi dengkul yang sudah mleyot, napas pendek, dan kaki meja atau kaki kursi. Pria pada usia 58 dan seterusnya mudah sekali tersandung kaki meja atau kaki kursi, dan rasa sakitnya luar biasa.
Baca Juga: Renungan Petinju George Foreman tentang Kesabaran dalam Kehidupan
Meskipun Mike mengatakan tidak akan membawa-bawa perasaan, saya menonton pertandingannya dengan membawa perasaan. Saya berpihak kepadanya dan ingin pertandingan langsung melompat ke ronde kedelapan setelah ronde ketiga.
Pertandingan berjalan seperti sebuah siksaan. Pikiran saya dihantui oleh pemandangan lain, yang saya tonton di layar televisi hitam putih pada 1980, ketika Muhammad Ali dikalahkan oleh Larry Holmes. Saya menangis melihat Ali tidak berdaya.
Rasanya pedih sekali menyaksikan seorang legenda tumbang, seperti menyaksikan pohon tua yang batangnya melapuk oleh waktu dan ambruk hanya oleh terpaan angin kecil.
Baca Juga: Muhammad Ali Jadi Orang Kedua yang Memenangkan Gelar Juara Tinju Dunia Kelas Berat Dua Kali
Saya selalu menyangka Ali orang Indonesia, sebab namanya Muhammad Ali, gabungan dari dua nama yang saya kenal akrab dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang-orang dewasa di kampung saya punya banyak cerita tentang Ali seolah-olah mereka kenal dekat, teman minum kopi pada sore hari, dan sering berangkat ke masjid bersama-sama.
Salah satu dari orang dewasa di kampung saya mengatakan bahwa Ali sengaja mengalah dalam pertandingan itu, sebab Holmes adalah sparring partner Ali dan mereka berteman dekat. Dia menyebut Larry Holmes “Ndas Kacang”, sebab kepalanya tampak terlalu kecil, seperti sebutir kacang tanah di atas tubuh besarnya.
“Jika Ali bersungguh-sungguh, tidak mungkin Ndas Kacang bisa mengalahkannya,” katanya.
Baca Juga: Jet Li dan Guru Kungfunya yang Muslim, Master Ma Xianda
Saya mempercayai ucapan itu bahwa Ali tidak benar-benar kalah, tetapi saya tetap membenci Larry Holmes karena di ring tinju ia menghajar Ali. Saya menonton pertandingan itu dengan perasaan sengsara. Kupu-kupu pujaan saya tidak melayang anggun di atas ring, lebah saya kehilangan kemampuan menyengat, dan saya merasa kesakitan setiap kali pukulan Holmes mengenai wajah atau bagian mana pun dari tubuh Ali.
Delapan tahun kemudian, kejengkelan saya terhadap Larry Holmes terobati ketika Mike Tyson, 21 tahun pada waktu itu, menghajar Ndas Kacang, 17 tahun lebih tua dibandingkan lawannya, dan Mike menjatuhkan Larry tiga kali pada ronde keempat. Dan itulah satu-satunya kekalahan KO yang dialami oleh Holmes sepanjang kariernya. Saya bahagia, seolah-olah Tyson telah mengembalikan kehormatan pahlawan masa kecil saya. Meski itu bukan kemenangan Ali, tapi saya senang melihat Larry Holmes terkapar.
Mike Tyson di masa jayanya adalah monster yang membuat lawan-lawannya tampak ingin jatuh secepat mungkin ketimbang harus lebih lama menghadapi gelombang amukannya. Namun waktu tidak pernah bersahabat dengan siapa pun, dan siang tadi Mike Tyson naik ring dalam posisi Ali, dalam posisi Holmes. Saya mengingatkan diri sendiri bahwa ini hanya pertandingan eksibisi, hanya pertunjukan sirkus di era digital: Seorang pensiunan melawan influencer.
Baca Juga: Serial Ellyas Pical, Tokoh Legenda Tinju Indonesia, Akan Tayang di Prime Video Mulai 21 Maret 2024
Mungkin ini hanya pertarungan yang direkayasa untuk hiburan, tetapi sejarah punya cara aneh untuk mencabik-cabik kita, membuat kita terhubung lagi dengan luka lama yang tidak pernah benar-benar sembuh. Mungkin ini tentang kita sendiri, yang tak pernah siap melihat pahlawan kita jatuh—sebab hal itu berarti kita, dengan semua mimpi dan harapan kita, juga tak luput dari kekalahan.
Saya merasa lega bahwa Tyson tetap berdiri sampai pertandingan delapan ronde itu berakhir. Ia kalah, tetapi tidak tumbang.
*A.S. Laksana adalah sastrawan dan mantan wartawan DeTik. ***