Oleh Akmal Nasery Basral*
ORBITINDONESIA.COM - Siapapun yang masih, atau pernah, berada dalam setidaknya satu WhatsApp Group dengan Denny JA, tak bisa tidak akan angkat topi melihat produktivitasnya menulis. Tak ada hari tanpa tulisannya tersaji, bahkan di akhir pekan atau di musim liburan.
Tak semua ide tulisannya bisa dikunyah publik selancar es krim mengalir di kerongkongan. Ada juga yang menjadi biji kedondong tersangkut di tenggorokan. Denny JA paham itu.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Pemulung Itu Seorang Doktor
Dia justru menikmati jika terpantik diskusi pro-kontra tersebab tema tulisannya yang selalu merayakan ‘semerbak sejuta bunga di taman’.
Memasuki fajar era kecerdasan buatan (AI), Denny JA membebani dirinya dengan tugas tambahan: sebagai ilustrator tulisan-tulisan itu yang dibuatnya dengan asistensi artificial intelligence (AI).
Di sini, tak sedikit yang mengira Denny JA sebagai seorang snob, bak bocah yang kegirangan ketika pertama kali memakai pensil warna. Bukan hanya kertas yang digambari, dinding rumah pun dicoreti.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen
Tetapi Denny JA bukan bocah. Tak banyak yang tahu bahwa Denny JA dan lukisan adalah dua sahabat lama yang tak pernah benar-benar terpisah. Ketika lulus dari SMAN 1 Jakarta, kemampuannya melukis mengantar minatnya mendaftar ke Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Bahkan Denny JA yang introvert dengan “sepi batin selalu menganga”—ekspresi yang sering digunakannya dalam menyifati diri sendiri—justru dipercaya para mahasiswa baru sebagai Ketua Angkatan Teknik Arsitek Angkatan 1981. Itu memang cerita dulu. Kawannya satu angkatan di SMAN 1 yang biasa jalan kaki bersama dari sekolah ke stasiun bus Lapangan Banteng sebelum berpisah ke rumah masing-masing—Chairul Tanjung namanya—didapuk sebagai Ketua Angkatan Fakultas Kedokteran Gigi Universiras Indonesia tahun yang sama.
Sejarah mencatat kemudian Denny JA tak pernah dikenal publik sebagai seorang arsitek. “Setelah kuliah di sana saya mendapat pencerahan bahwa tugas saya bukan membangun rumah biasa. Life calling saya adalah membangun rumah bangsa,” katanya kepada saya dalam satu obrolan beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Mengapa Kita Perlu Forum Para Kreator di Era AI?
Sebelum topik melebar terlalu jauh pada riwayat hidup Denny JA yang bisa setebal ensiklopedi, poin yang ingin saya sampaikan adalah: bahwa Denny JA dan lukisan ternyata sepasang kekasih lama. Lari tak bisa, tak lari tak bisa. Keduanya akan selalu bersama.
Jika ingatan saya tak berkhianat pada fakta, Denny JA mulai menampilkan lukisan-lukisan dengan asistensi AI pada trimester akhir 2022. Pada acara Anugerah Nasional Satupena, Desember 2022 yang berlangsung di Galeri Cemara untuk merayakan keberhasilan Profesor Musdah Mulia (nonfiksi) dan penyair Eka Budianta (fiksi) menerima anugerah itu, lukisan-lukisan AI dalam beragam ukuran bingkai dengan wajah para penulis sebagai obyek lukisan, tersebar di seantero ruang kebudayaan publik yang didirikan filsuf dan pemikir kebudayaan Toeti Heraty itu.
Salah satu dari lukisan Denny JA menampilkan wajah saya di antara belasan wajah penulis nasional lainnya.
Lukisan AI Denny JA juga tampil pada ucapan selamat ulang tahun yang hangat dan empatetik. Seperti hari ini, Minggu 22 September 2024, Denny JA membuat kartu ucapan selamat untuk Balai Pustaka yang berulang tahun ke-107 dengan ilustrasi lukisan wajah Achmad Fachrodji, Direktur Utama Balai Pustaka, di latar depan dan taman aneka bunga dan buku yang bermekaran di latar belakang.
2/
Jika saya menggunakan sebutan “Human Prompt” untuk Denny JA—sependek pengetahuan saya belum pernah ada yang menggunakannya predikat ini—maka saya awali lebih dulu dengan sebuah penafian (disclaimer) bahwa saya tidak meminjam dari, atau terpengaruh dengan, serial dokumenter The Human Prompt yang dibuat Nikon untuk mendokumentasikan serangkaian kreativitas manusia di tempat-tempat tak terduga dengan tingkat ekstremitas tinggi, yang memberikan hasil visual menakjubkan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: 12 Jam Protes Berbaring di Jalan Raya
Namun “Human Prompt” juga tidak saya nisbatkan kepada Denny JA hanya karena lukisan-lukisan AI yang dia buat untuk medsos, atau bahkan yang ditampilkan di Galeri Nasional dua pekan lalu seiring kedatangan Sri Paus Fransiskus ke Indonesia.
“Human Prompt” adalah sebutan yang berkelindan dengan aktivitas terkini Denny JA yang sedang bertungkus lumus membangun komunitas Kreator Era AI (KEAI). Ide ini tampaknya mengkristal di kepala Doktor Jurusan Perbandingan Politik dan Bisnis Universitas Negeri Ohio (The Ohio State University) itu pada 30 Agustus - 1 September lalu.
Ketika itu, Denny JA sebagai Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA membuat program “Writing Retreat” bersama OM Institute yang dinakhodai penulis-sosiolog vokal Okky Madasari untuk menghasilkan para penulis baru yang berbobot. Saya sebenarnya termasuk yang diundang sebagai tamu kehormatan untuk mengikuti acara di Puncak, Jawa Barat yang berlangsung 3 hari bersama beberapa tamu undangan lain seperti Eka Budianta, Nasir Tamara (ketua pertama Satupena, 2017 – 2021) dan Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan IPB. Namun saat itu saya terkendala hadir tersebab problem kesehatan yang sedang membutuhkan pemulihan serius.
Baca Juga: 4 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Pohon Buku di Rumahku
Meski saya berhalangan hadir mengikuti “Writing Retreat”, namun saya dimasukkan ke dalam WAG yang baru dibuat dengan nama Kreator Era AI (KEAI). Di antara anggota KEAI adalah Budiman Hakim, pakar iklan yang mahir menjelajahi jurang-ngarai dunia AI; Ahmadie Thaha, jurnalis kawakan yang juga piawai dalam mengelola prompt; atau Ismet Fanany, Guru Besar Deakin University, Australia, serta ratusan nama lainnya yang langsung berlomba-lomba berbagi tips & trick dalam membuat karya-karya dengan asistensi AI dalam format teks, musik dan video pendek.
Sangat terasa degup era digital yang menyelusup ke dalam sumsum para kreator di grup itu yang kemudian beranak-pinak menjadi WAG KEAI berdasarkan provinsi, mirip struktur organisasi Satupena sebagai induk perkumpulan, meski tidak semua anggota KEAI adalah anggota Satupena dan tidak semua anggota Satupena diundang sebagai anggota KEAI. Setidaknya itu sekilas pengamatan saya terhadap WAG yang baru tiga pekan berjalan namun per hari ini sudah memiliki 1.005 orang anggota.
KEAI menjadi hub yang mempertemukan kreator dalam ruang diskusi yang asyik, antusias, dan berorientasi penciptaan karya, terlepas dari latar belakang preferensi politik, pendukung capres itu atau capres anu, yang kerap membelah keutuhan dan keharmonisan sebuah WAG.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?
Maka, dari inovasi dan inisiasi Denny JA dalam membentuk WAG yang berorientasi pada zeitgeist (“ruh zaman”) era digital inilah julukan “Human Prompt” saya berikan kepadanya. Tentu saja selain Denny JA, masih banyak “Human Prompt” lainnya di luar KEAI yang ikut membangun komunitas dan tradisi baru masyarakat pascamodernisme.
Mereka tidak melihat kehadiran AI sebagai musuh yang bisa mengancam eksistensi peradaban manusia era pra-AI, melainkan sebagai alat dan sarana untuk meningkatkan kualitas karya dan standar estetika-stilistika para kreator agar terus belajar dan menajamkan kemampuan di tengah dunia yang terus berubah.
Algoritma AI yang menyambungkan dengan jutaan (mungkin miliaran) karya referensial di pelbagai bidang penciptaan kesenian, merupakan daya tarik utama yang membetot para kreator untuk bertukar pandangan gagasan, wawasan, atau berkolaborasi ide, seperti dilakukan Satupena DKI Jakarta pada akhir Juli 2024 saat meluncurkan antologi “Ketika Kata dan Nada Berjumpa” dalam bentuk musikalisasi sajak-sajak anggota yang dilakukan dengan generator musik AI. Juga difasilitasi oleh Denny JA sebagai Ketua Umum SATUPENA Pusat.
3/
Saya tak akan heran jika setelah ini, melalui KEAI, akan muncul kompetisi kreativitas yang lebih canggih seperti kompetisi film pendek dengan asistensi AI, bahkan film dokumenter yang diolah dengan referensi AI, dan karya-karya pada level surealis yang sebelum ini hanya bisa dipahami segelintir seniman avant-garde.
Keterjangkauan AI yang semakin populis—meski populasi terbesar mereka pada milenial (1981 – 1996) dan Gen Z (1997 – 2012)—namun sejatinya bisa diikuti oleh Gen X bahkan generasi pasca Perang Dunia II yang antusias seperti penyair veteran L.K. Ara (86 tahun). Penyair berdarah Aceh ini memiliki semangat yang tak kalah berkobar dibandingkan para kreator muda seusia cucunya.
Untuk ledakan gairah penciptaan karya yang menggandeng peran serta AI inilah Denny JA perlu ditempatkan “sehelai benang lebih tinggi” karena dia adalah sosok “prompt (dalam bentuk) manusia” yang membuat atmosfer dunia kecerdasan buatan, intelegensi artifisial, di tanah air ikut menemukan momentum akselerasinya melalui KEAI.
Denny JA adalah Sang Human Prompt itu. Penuh gagasan, trengginas, dan responsif terhadap ide-ide kreator lainnya. Bentuk demokrasi pemikiran dalam semarak taman digital yang kini menjadi keniscayaan zaman. ***
*Akmal Nasery Basral ialah sosiolog, prosais, pengamat dan pembelajar dinamika dunia artificial intelligence