Puisi Muhammad Solihin Oken: Bagaimana Kusapa Hujan Pagi Ini
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 27 Maret 2024 04:11 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Bagaimana kusapa hujan pagi ini
dingin yang mengerjap pada riyap-riyap rindu kau punya
darah yang mengalir ke pusat jantung dan nadi gejolak hasrat yang tertahan di ruang-ruang
kau tahu berapa jarak hujan ke waktu?
Aku membolak-balik kertas-kertas dan selalu terselip namamu di sana
kadang waktu seperti barisan kenangan saat menyebut namamu
memanggilnya dalam tetes hujan yang lewat tubuhmu terasa dingin saat tak kau sahut panggilanku
angin yang menerpa kaca jendela seakan membuyarkan lamunan tentang rindu dan waktu
kata tinggal hampa dan bahasa- rumput-rumput kering tak tahu arti hujan
Aku ingin mendengar suara embun yang lewat dari suaramu
di mana pagi tak lagi keping-keping hasrat tinggi mendaki dan lantas kita lupakan
daun-daun cemara yang lebar berdiri samar menatap rindu kita pada bayang kaca jendela di sana
Di ketidakpastian daun-daun lama berganti daun-daun baru
menjalar musim ke sisimu ke sisiku- putik bunga yang mulai rekah membawa
pandang kita kepada ruang bertanya tentang suatu yang kosong dan berisi
dan nilai yang kau beri dari tiap makna- tersembunyi-
sembunyi di tetes-tetes hujan pagi itu yang rawan dari pandang mata kekasih;-
kekasih yang jauh dan selalu datang sejenak menuliskan
namanya di kertas-kertas yang terserak di meja kerjamu
tuk menandai kerinduan pada jalan-jalan
sepi pada kata yang sanggup mengucapkan
sinar ke matamu, dan kau tunggu sejak kemarin;
tubuhmu basah menikmati tetes-tetes hujan yang mengalir dari mata kekasih,
berkata : bagaimana kusapa hujan pagi ini
Putik bunga itu penanda awal kasih-sebentuk danau yang jauh menanti
kerinduan tetes-tetes hujan di sana
rumput-rumput kering dibuai mimpi
angin aroma musim yang melintas dari lembah dan bukit karang dan kau
menyalaminya sebagai nyala waktu pada barisan warna: merah jingga kuning
hijau biru nila ungu- langit yang tak npernah bosan memainkan warna-warna hidupmu
Aku baru mendengar suara hujan itu saat ku buka halaman-halaman novel-
tepat kau habiskan waktu di dalamnya, dan gelisah akan nasib cerita yang sekarat?
Teknologi mesin kata telah mengambil mimpi pengarang atas waktu dan cerita-
kata menata kalimat menjemput paragraph menyusun keeping-keping waktu cerita yang sekarat.
Sekerat daging sirloin menunggu di meja makan untuk kau kunyah; dan tubuh perawan itu tinggal pada potongan
dan irisan-irisan steak sirloin dalam mimpi cerita yang lain
Apa yang terpikir mesin kata atas waktu? Katamu menjungkir balikkan cerita sekarat
Apa yang terpikir mesin kata atas waktu? Katanya biru kata yang melampaui mitos waktu
Apa yang terpikir mesin kata atas waktu? Simposium tubuh cerita pada cerita sekarat dan mimpi pengarang yang ntah
Terpikir untuk masuk ke dalam cerita sekarat dan mesin kata menimbang-nimbang waktu ke belum
dan sudah menyantap irisan-irisan daging sirloin pada tubuh perawan yang tinggal bayang mesin berkata:
bagaimana kusapa hujan pagi ini
Di ujung gerimis itu ada mata waktu yang memandang ke arahmu
ke arahku – tatapan tajam dingin menyusup ke dinding-dinding dan halaman kosong
Mata waktu mengerjap ke sisi ruang sejarah dan bahasa-
ke halaman-halaman novel tak terbaca
Bahasa yang berpijak atas puisi dan prosa adalah sejarah kata-kata dan belum berpeta
Sebuah jarak menatap hujan dan dirimu waktu tak kau jumpa dia di sana
Rindu menjelma kata menjelma ruang hujan bayang waktu tak kau jumpa dia di sana
Detik pada momen kata itu tiada rindu- ruang pudar dan ketidakpastian waktu tak kau jumpa dia di sana?
Jarak yang dilipatnya kemarin meneguhkan rindu- waktu dan ruang kata yang kau telusuri maknanya
terasa lengang kian bergoyang
api yang merah salju yang putih
kursi yang tak nyaman lagi untuk bersandar
Dan hujan tiba atap bocor
menggenang rindu di bawah lantai
meja kerja berkata: bagaimana kusapa hujan pagi ini
Nafas yang panjang dan kau abadikan atas jantung bulan- nafas hujan jauh menatap halaman
Halaman-halaman novel yang pergi
kau cari bayang di sana pada rindu dan renda hujan; kau selipkan ia di atas
baju hujan sebelum berangkat membayangkan peri-peri cantik membawamu ke pesta kematian
Sepanjang perjalanan tinggal ntah;
kau hirup udara dan aroma dingin yang beku dari kata hujan dan kematian
Percakapan dan pertemuan melintas di sisi orang-orang di sebrang
Aku dan waktu tinggal barisan kenangan yang lupa lesatkan arah panah ke jantung matahari, tubuh sejati berkata: bagaimana kusapa hujan pagi ini
Ranggas waktu tuangkan sunyi ruas-ruas akar pohon kapuk lama mengucap rindu ke sisi taman: berapa jarak rindu ke hujan?
Musim dan kembang-kembang kapuk gugur sunyi sungai jauh pergi mimpi bulan malam hari- aku tersedak
di antara rindu yang ganas dan kata yang hilang di halaman-halaman novel- dan belum berpeta
Di atas kitab yang belum kutulis itu menggerincing sinar bola mata dan tatapan halus yang mungkin kau kenal-
bola-bola mata yang keluar mengabadikan waktu tuk siasati cerita
Cerita-cerita datang dan pergi- tokoh-tokoh datang dan pergi dan tak muda lagi seakan serbuk sari
dianginkan waktu disusuk lingga kembang cerita ke ruang-ruang novel membuatmu tersesat di dalam
dan tak dapat keluar
Mungkin tubuh dan waktu menyiasatinya? Labirin yang dalam dan semakin dalam- kau robek-robek
tubuh d dalam ruang sendiri berkata: bagaimana kusapa hujan pagi ini
Setinggi jalan tinggal sepi dan semakin sepi kata bawakan jalan kepadamu kepadaku
Arus pada gelombang telah terkunci dan laut mati: dimana ombak hidup, ikan-ikan hidup!
Air laut uap asin matahari bersin angin menyapa awan: bagaimana kusapa hujan pagi ini
Kau masih membacanya- mengulang-ulangnya kembali di tengah musim yang lewat
ceritamu tercetak di antara musim dan rindu perubahan
perempuan yang memakai kimono dan mendudukkan diri pada senyap, seakan perempuan tak boleh banyak cakap.
Cerita yang jatuh ke mesin kata?
Mengulang-ulang membacanya lebih seratus kali- seakan ada yang tertinggal di sana. Apa yang kau rasa?
Apa yang ku rasa? Apa yang mesin kata rasa? Waktu dan detik yang lewat dari ceritamu adakah terpahat pada mesin kata?
Jalan dan hujan salju kereta yang tertambat pada sisa badai salju kemarin dan suara masinis yang memanggil-manggil ke sebrang
Bila langit tak lagi bawakan warna
burung-burung tak bawakan suara
tinggal awan kelabu angin menyibak dahan reranting cemara berkata:
bagaimana kusapa hujan pagi ini
Di pagi yang asing itu kau temui hujan tanpa angin: Hujan Bulan Juni
hujan yang datang dengan segenap rahasia kata yang menetes kerinduan hujan bulan juni
Kemarau yang jauh naik ke pintu langit membuka mirai-tirai mega menatap
sukma menghalau musim yang lelah
menghimpun butir-butir ketiadaan kata rindu dan cemas; pada akar-akar pohon itu menyusup doa dalam kerahasiaan
Kata dan kerahasiaan itu kau letakkan di atas mesin kata? Waktu jalan dan hujan jatuh di sudut, berkata:
bagaimana kusapa hujan pagi ini
Di halaman-halaman yang panjang ceritamu melingkar seperti sebuah cincin- lingkaran tak berpusat
hanya sebuah lubang cincin membawa kekosongan- dari yang ada dan tak ada
dari yang mungkin dan tak mungkin-kemungkinan adalah dasar sebuah Logika cerita
Kemungkinan untuk datang sebagaimana kemungkinan untuk pergi- sebentuk keniscayaan
datang kepada percakapan dan pergi kepada cerita
rindu percakapan di dalam ruang
hujan bawakan kata dan waktu
tinggalkan kenangan dan cerita,
dan mesin kata?
Cerita keluar dari mesin kata- hujan angin kabut tak bertemu warna-warna langit dan daratan tak ada nafas kesunyian di sana- tinggal gelembung dan bola-bola berhamburan di dalam roda waktu
mesin kata: bagaimana kusapa hujan pagi ini
Kesendirian makin sulit ku bendung
terutama saat matahari pagi menyingkap rupa pohon-pohon bakau di seberang laut yang menyirukan biru nafas
kembang ke hutan-hutan hujan tropis tak bernama
Kata-kata hampir pasti: Mati
tapi penulis tak pernah mati, bukan?
Menulis untuk hidup, hidup di atas kematian- bahasa orang ramai
kesendirian terseok-seok dan robek mencari makna mimpi dan kematian hutan bahasa sendiri
Atap langit-langit yang bocor pada ruang kerja suara hujan dan angin
mengeras huruf-huruf hujan yang jatuh menetes menggenang mengalir ke mesin
kata di luar, berkata: bagaimana kusapa hujan pagi ini
Aku tak tahu bagaimana mencintaimu sebagaimana aku tak tahu mencintai hujan
dan bunga-bunga- mungkin, perahu nuh itu
di buat atas waktu dan hujan. Sedang bunga-bunga?
Dia telah jatuhkan matahari di sudut, dan nafas langit benamkan rinduku pada biru laut asing: aku telah sampai
tapi cintamu tak pernah tiba
Di laut jauh masih sempat kutulis namamu
di sana tarian ganggang kerang dan tripang
hidupkan mimpi kita pada kamar- selembar daun rekat ke tubuh camar
Waktu langit merkah- matahari mana menata pikirmu? Ada bulan kembar susupi malam
bintang-bintang terbakar api bintang tinggi mencakar
Kabut yang luput beringsut pergi pada bulan mengekor orang ramai
tinggal tanya: mana bidadari ini malam dada nan halus bawa berlari kataku
tegak sampai tak ada hujan yang anu lagi ***