Filsafat dan Cinta di Hari Valentine: Martin Heidegger dan Hannah Arendt
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 14 Februari 2024 08:00 WIB
ORBITINDONESIA.COM - "Nona Arendt yang terhormat", demikian awal surat tanggal 10 Februari 1925 yang ditulis Martin Heidegger kepada salah satu mahasiswinya yang paling cerdas, Hannah Arendt.
Ketika sang mahasiswi meresponnya, empat hari kemudian --tepat Hari Valentine, 14 Februari-- Heidegger mengawali surat berikutnya dengan "Hannah Sayang"!
Itulah awal kisah cinta dua pemikir besar dalam bidang filsafat yang pemikiran mereka masih berpengaruh hingga saat ini.
Baca Juga: Benny Susilo Jadi Doktor Pemikiran Islam dengan Disertasi Wahdat Al Wujud dalam Filsafat Mulla Sadra
Heidegger adalah salah satu filsuf besar abad 20 yang menggagas fenomenologi dan eksistensialisme di Universitas Freiburg, Jerman. Karya pentingnya adalah BEING AND TIME/SEIN UND ZEIT.
Sedangkan Arendt kemudian dikenal sebagai filsuf politik yang banyak membahas topik totalitarianisme. Bukunya yang paling terkenal, THE ORIGINS OF TOTALITARIANISM (1951). Juga buku laporannya tentang pengadilan penjahat Nazi, EICHMAN IN JERUSALEM: A BANALITY OF EVIL (1963). Dua buku itu sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Kisah cinta Heidegger-Arendt ini mirip kisah cinta dua filsuf besar lainnya, Jean-Paul Sartre dengan filsuf sekaligus feminis kontroversial Simone de Beauvoir.
Karya-karya filsafat eksistensialisme Sartre sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia, juga karya sastranya; demikian pula karya Simone de Beauvouir misalnya yang fenomenal, THE SECOND SEX (1949, yang baru di-Indonesiakan 2017).
Ketika keduanya pertama kali bertemu dan saling jatuh cinta, Heidegger berusia 35 tahun, sedangkan Hannah Arendt baru 18 tahun. Hannah sangat mengagumi kapasitas intelektual Heidegger, sebaliknya sang profesor filsafat itu juga mengagumi kecerdasan mahasiswinya, selain tentu kecantikan klasiknya.
Seperti semua kisah klasik, kisah cinta mereka pun mengalami pasang surut, berpisah untuk waktu lama, kembali bersambung di usia senja.
Hubungan mereka merenggang ketika Nazi mulai berkuasa di Jerman. Sebagai putri berdarah Yahudi, Arendt merasa kecewa ketika Heidegger mendekat ke Nazi, bahkan diangkat pihak Nazi sebagai Rektor Universitas Freiburg.