Denny JA: Ilusi Melengserkan Jokowi, Hanya Untuk Diskusi yang Tak Bersambung dengan Realitas Politik
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 15 Januari 2024 12:22 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Memberhentikan Jokowi dari jabatannya sebagai presiden Indonesia, memakzulkannya, adalah sangat, sangat, dan sangat sulit untuk realitas politik Indonesia sekarang ini. Kata “sangat”-nya tiga kali.
Yang lebih penting lagi, ini jika dikerjakan akan buruk untuk prinsip demokrasi di Indonesia.
Itu respon cepat kita ketika membaca tiga berita. Pertama, berita di awal Januari Minggu kedua tahun 2024. Bahwa hadir petisi 100 Tokoh, yang ingin memakzulkan Jokowi.
Di dalamnya, ada nama seperti Amien Rais. Di sana juga ada beberapa purnawirawan jenderal. Mereka secara serius ingin mengajukan pemakzulan Jokowi.
Sebelumnya, berita dari MetroTV newsroom, seorang tokoh lembaga survei, juga tokoh demokrasi, Saiful Mujani menyebut Jokowi harus dimakzulkan jika ingin Pemilu berintegritas.
Sebelumnya lagi, juga tokoh lembaga survei, dan aktivis demokrasi: Eep Saefulloh Fatah membuka data pemenangan Pilpres 2024, sampai potensi pemakzulan Jokowi.
Baca Juga: Ekspresi Data Denny JA: Mayoritas Publik tidak Setuju dengan Prinsip Presiden sebagai Petugas Partai
Mengapa kita katakan sulit bahkan ilusi, Hanya ada dalam imajinasi liar jika mereka ingin berhasil memakzulkan Jokowi, memberhentikan Jokowi dari jabatan presiden?
Ada empat alasannya. Tiga alasan berhubungan realitas politik. Satu alasan lainnya langsung ke jantung prinsip demokrasi.
Pertama, sekarang ini Jokowi sangatlah populer. Approval rating Jokowi sejak bulan Juni 2023 sampai Januari 2024 berkisar 75 persen hingga 82 persen.
Survei LSI Denny JA yang mutakhir di bulan Januari 2024, approval rating Jokowi, tingkat kepuasan publik kepada Jokowi, menembus 81,8 persen.
Itu angka yang tinggi sekali. Publik mustahil menyatakan puas kepada Jokowi jika mereka tidak merasakan manfaat langsung program Jokowi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Juga publik mustahil menyatakan puas kepada Jokowi jika mereka tidak melihat personality kepada Jokowi yang mereka sukai.
Baca Juga: Lukisan Artificial Intelligence Karya Denny JA Dipajang di Hotel Mahakam 24 Jakarta
Tingginya approval rating Jokowi ini sama di berbagai lembaga survei.
Memakzulkan Jokowi dalam situasi yang begitu populer akan mendapat perlawanan sangat keras dari rakyat yang puas padanya.
Alasan kedua yang juga membuat pemakzulan Jokowi ilusi adalah rumitnya prosedur.
Untuk memakzulkan presiden sesuai ketentuan UUD 1945 pasal 7A dan 7B, tentu saja harus ada alasan substansial memadai.
Harus hadir di sana bukti telanjang Jokowi mengkhianati negara, atau Jokowi korupsi, atau ia melakukan penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya. Atau Jokowi melakukan perbuatan tercela.
Prosedur pemakzulan harus bermula di DPR, dengan 2/3 anggota DPR hadir. Dan dari yang hadir, 2/3 menyetujuinya. Persetujuan itu oleh DPR ke Mahkamah Konstitusi.
Katakanlah jika MK setuju, maka MPR bersidang. MPR yang akhirnya memutuskan itu pun harus dihadiri oleh 3/4 dari anggota MPR. Lalu pemakzulan harus disetujui 2/3 dari yang hadir.
Alasan ketiga yang membuat pemakzulan ini ilusi untuk dikerjakan, karena calon presiden dan calon wakil presiden yang berpotensi menang sesuai banyak hasil survei itu adalah Prabowo-Gibran.
Di bulan Desember 2023, elektabilitas Prabowo-Gibran elektabilitasnya di angka 45,3 persen.
Baca Juga: Denny JA Luncurkan 4 Buku Lukisan Artificial Intelligence
Di bulan Januari 2024, survei LSI Denny JA menyebut, dukungan kepada Prabowo-Gibran naik lagi, sudah menyentuh 46,6 persen.
Pasangan inilah yang paling berpotensi akan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029.
Dan pasangan ini adalah hardliner pro-Jokowi. Susah sekali membayangkan Prabowo-Gibran ikut menari dalam gendang pelengseran Jokowi.
Baca Juga: Denny JA: Jokowi Masih Sangat Populer dan Efek Elektoralnya Tinggi, Prabowo-Gibran Peroleh Berkahnya
Alasan keempat dan ini yang paling penting, yang paling esensial, kita ini masih dalam situasi demokrasi yang mengalami transisi. Demokrasi kita masih goyah karena itu harus kita kukuhkan.
Dalam demokrasi yang labil, jangan pernah lagi kita memakzulkan presiden. Jika kita tak setuju padanya, kalahkan sang presiden dalam Pemilu berikutnya.
Pemakzulan hanya akan melahirkan pemakzulan selanjutnya. Itu membuat situasi politik kita akan rawan. Tentu selalu ada pengecualian. Yaitu kecuali jika presiden memang melanggar hukum yang mencolok sekali. Juga terlihat di sana, mayoritas publik tidak puas dengan sang presiden.
Tapi bukankah situasi kini adalah kebalikannya?
Mayoritas justru puas kepada Presiden. Gerakan atau seruan pemakzulan Jokowi hanya asyik untuk diskusi, tapi tak bersambung dengan realitas politik. ***