Badikenita Sitepu: Kemiskinan di Jawa Tengah dan Strategi Intervensi Ganjar Berbasis Desa
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 22 September 2023 08:00 WIB
Oleh: Dr. Badikenita Sitepu*
ORBITINDONESIA.COM - Masalah kemiskinan di Jawa Tengah mendadak mendapat sorotan "beberapa" pihak. Mungkin saja karena Gubernur-nya (Ganjar Pranowo) telah dicalonkan oleh PDIP sebagai calon presiden (capres).
Namun terlepas dari pencalonan tersebut, seharusnya upaya pemberantasan dan pengentasan kemiskinan sudah merupakan tanggung jawab negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi kemiskinan di Jawa Tengah di era Gubernur Ganjar Pranowo? Apa sajakah langkah penanganan yang telah dilakukannya? Serta seperti apakah dampaknya terhadap pencapresannya?
Baca Juga: Prediksi Skor Pertandingan BRI Liga 1: Persita Tangerang vs Dewa United, Live Streaming di Vidio
Sejauh ini, capaian kemajuan dari penanganan kemiskinan ekstrem (PKE) di Jawa Tengah tersebut terus berjalan relatif baik. Untuk melakukan penilaian secara jernih dan objektif diperlukan metode analisis “kemiskinan” di Jawa Tengah, dengan membedah salah satu parameter penentuan daerah miskin berdasarkan standar Badan Pusat Statistik (BPS).
Ada 6 (enam) parameter tersebut, yakni: Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks Keparahan Kemiskinan dan yang terakhir adalah Gini Ratio.
Gini Ratio berdasarkan BPS adalah mengukur tingkat ketimpangan di Indonesia. BPS menggunakan data pengeluaran untuk mengukur tingkat konsumsi. Data pendapatan bersumber dari Sensus Nasional.
Gini ratio adalah salah satu ukuran ketimpangan pengeluaran yang digunakan. Nilai Gini Ratio (GR) berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai Gini Ratio yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi (website BPS, 2023).
Perlu menjadi pertimbangan lebih lanjut bahwa basis Gini Ratio BPS bersandar pada ketimpangan pengeluaran semata, bukan pada ketimpangan pengeluaran kekayaan.
Bila menilik pada ketimpangan pengeluaran kekayaan, sudah barang tentu wilayah yang tingkat kepadatannya tinggi seperti DKI Jakarta dan sekitarnya akan memiliki angka GR lebih tajam.
GR Provinsi DKI Jakarta pada September 2021 (saat masa pandemi) adalah berkisar pada 0,411 (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2021). Sedangkan pada Provinsi Jawa Tengah pada durasi Maret hingga September 2021 terjadi penurunan 0,004 point, di mana pada September 2021 GR Jawa Tengah berkisar pada 0,368 (BPS, 2023).
Mengapa analisis GR menjadi penting? Karena kohesivitas sosial erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengurangan angka kemiskinan. Bila “kesenjangan” dibiarkan begitu tinggi, maka upaya pengurangan angka kemiskinan akan menghadapi jalan yang semakin terjal.
Pada semester 1 (satu) tahun 2022 pada wilayah perkotaan, angka GR Jawa Tengah berkisar 0,404, berada di bawah DKI Jakarta (0,423), Jawa Barat (0,428), bahkan DI Yogyakarta (0,446) yang letaknya berhimpitan dengan Jawa Tengah (website BPS, 2023).
Wilayah perkotaan yang menjadi sentra bagi perekonomian sekitarnya menjadi potensi laten yang harus dikelola dengan baik. Pola pendekatan Provinsi Jawa Tengah utamanya saat pemulihan pasca pandemi relatif lebih baik dibandingkan wilayah sekitarnya.
Intervensi Sosial Menjadi Kata Kunci Bagi Pemulihan Ekonomi
“Kami di Jawa Tengah coba mendesain, khususnya untuk penanganan kemiskinan ekstrem, khusus. Jadi kemarin teman-teman kades sudah bantu mendata, verifikasinya sekarang sudah 100 persen,” ungkap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. (Portal Berita Provinsi Jawa Tengah, 7 Juni 2023).
Tidak tanggung-tanggung, Ganjar Pranowo menginstruksikan kepada seluruh Kepala Desa (Kades) di Jateng untuk turun langsung melakukan pengecekan ke masyarakat dan menemukan beberapa permasalahan, yang kemudian dijadikan prioritas dalam penanganannya.
Baca Juga: Penjelasan Post Credit Scene Drakor Moving, Ancaman Baru Keluarga Kim Doo Shik dan Lee Mi Hyun
Instruksi Ganjar tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut dikarenakan targetnya adalah masyarakat desa sebagai tatanan terkecil dari ruang lingkup provinsi. Sangat langka seorang Gubernur melakukan pendekatan sampai tingkat yang terbawah.
Penanganan yang fokus langsung pada kebutuhan dasar masyarakat adalah sebuah prioritas bagi Ganjar Pranowo. Model pendekatan yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo, yang relatif lekat dengan gaya “egaliter” dalam melakukan dialog dengan berbagai pihak terkait, akan menjadi nilai tambah yang dapat mengakselerasi program pemberantasan kemiskinan di wilayahnya.
Kemudian, sikap “low profile” Ganjar Pranowo pun cukup banyak membantu percepatan program-program yang ia lakukan. Ini selaras dengan program penguatan kohesivitas masyarakat dalam menghadapi terpaan badai pandemi yang menimpa seluruh dunia masuk tahun ketiga.
Selayaknya Ganjar terus giat melakukan pemantauan program pemberantasan kemiskinan secara ketat sampai level desa. Pendekatan melalui desa juga selayaknya tidak sebatas menyentuh struktur aparat desa semata.
Baca Juga: Misteri Kerusakan Matahari: Tantangan Ilmuwan Dalam Menganalisis Fenomena yang Membingungkan
Ekspansi komponen lain dari perangkat desa, seperti Kelompok Tani yang tergabung dalam Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), Pemuda, LSM dan sektor-sektor yang bersentuhan langsung pada akar rumput, patut dilakukan.
Pemantauan yang ketat terutama terkait dengan akses masyarakat pada sektor pelayanan kesehatan dan pendidikan tidak boleh dianggap remeh. Kemudian ketersediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas pun tak kalah pentingnya.
Intervensi pemantauan secara ketat sampai level desa juga dapat mengikis sifat KKN pada pembentukan BUMDES, sebagai salah satu motor penggerak ekonomi wilayah pedesaan.
Sudah bukan lagi rahasia, bahwa pemegang kuasa BUMDES dikuasai oleh sumber daya yang kurang kompeten. Pemilihan Koordinator atau Kepala BUMDES harus dibuka secara luas melalui musyawarah untuk mufakat, sebagai sebuah metode dalam perumusan hasil dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
BPD saat ini melemah fungsinya sehingga aspek pengawasan pada Kades/Lurah juga melemah. Intervensi sosial merupakan tugas berat bagi Ganjar.
Namun hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang Ganjar dalam melihat potensi masyarakat Jawa Tengah yang didominasi budaya guyub. Keguyuban jangan sampai terkikis oleh arus informasi yang begitu deras. Karena keguyuban masyarakat Jawa Tengah adalah faktor penunjang bagi setiap upaya Ganjar memberantas dan mengentaskan kemiskinan di Jawa Tengah.
Intervensi sosial harus disertai penguatan berbasis masyarakat. Di sisi lain nilai Gini Ratio (GR) Jawa Tengah, yang masih relatif lebih rendah dibanding daerah sekitarnya, merupakan modal dasar yang cukup kuat bagi Ganjar untuk melakukan akselerasi pemberantasan kemiskinan di wilayahnya.
Pengawasan juga selayaknya dilakukan Ganjar terhadap penggunaan APBD, dan tidak melulu berorientasi pada daya serap pada APBD semata.
Baca Juga: Kapolda Gorontalo Ungkap Penyebab Pendemo Bakar Kantor Bupati Pohuwato hingga Hangus
Dampak penggunaan APBD di Jawa Tengah, seharusnya tidak hanya sebatas dinilai dari sisi pembangunan fisik semata. Akan tetapi juga perlu dilakukan pengelolaan dan pemantauan penggunaan anggaran APBD secara ketat, dan hasilnya haruslah efektif dan sesuai target capaian yang ditetapkan pemerintah pusat.
Intinya bahwa dampak penggunaan APBD pada peningkatan kesadaran masyarakat, untuk turut serta (partisipatif) dalam pembangunan desa, harus terukur dan konkret.
Dengan metode yang konsisten, serta fokus pada program-program pembangunan desa berbasis pada usulan di RPJMD yang bermula dari tingkat yang paling bawah, seringkali terjadi stagnasi aspirasi usulan dari desa yang tidak bisa diakomodir dalam Musrenbang.
Ganjar juga selayaknya melakukan evaluasi ketat terhadap pola perencanaan yang ada di Jawa Tengah. Bappeda sebagai lembaga kunci di daerah saat ini terlindas oleh dominasi dinas-dinas yang “basah” oleh anggaran (APBD).
Perencanaan yang komprehensif disertai dengan rencana induk yang kuat akan memudahkan setiap Kepala Daerah (Bupati/Walikota) melakukan kontrol secara sistematis sampai tingkat yang paling bawah. Bappeda selayaknya menjadi garda terdepan Kepala Daerah dalam proses pembangunan di tingkat kabupaten/kota.
Bila aspek penguatan berbasis masyarakat dengan intervensi yang berbasis kekuatan lokal dan perencanaan yang kuat serta komprehensif, serta dijiwai oleh pemantauan yang ketat, niscaya akan menjadi modal dasar yang besar untuk mengakselerasi pemberantasan kemiskinan bagi Ganjar.
Di sisi lain, Ganjar punya modal dasar yang cukup kuat, yaitu sikap egaliter dan “low profile” sebagaimana penulis sebutkan di atas. Yakni dalam proses perumusan kebijakan serta dialog-dialog multipihak dalam rangka pengembangan kapasitas masyarakatnya.
Baca Juga: Puluhan Kelurahan Sadar Hukum Binaan Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Siap Diresmikan Rabu Pekan Depan
Pola pendekatan Ganjar sampai tingkat desa, dan dengan merangkul aparat desa beserta masyarakat dalam rangka memberantas dan mengentaskan kemiskinan di Jawa Tengah, merupakan modal kuat bagi Ganjar untuk direplikasikan dalam skala nasional: membangun Indonesia ke depan.
Dengan catatan, bila Ganjar Pranowo memperoleh kepercayaan dari segenap rakyat Indonesia untuk menjadi Presiden di tahun 2024. Semoga!
*Dr. Badikenita Sitepu, pemerhati pembangunan daerah. ***