Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia Masih Dirasakan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 23 Agustus 2023 11:45 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Etnis Tionghoa, itu adalah julukan yang selalu kami dengar di mana pun kami berada walaupun kami lahir, tumbuh, mengenyam pendidikan, dan lain-lain sebagaimana layaknya Warga Negara Indonesia (WNI) asli.
Walaupun KTP kami bertuliskan warga negara Indonesia, toh di mana pun kami berada julukan China tetap disematkan pada diri kami. Padahal sebenarnya kami sangat tidak menyukai itu.
Bukan kami juga yang meminta kepada Tuhan, jika kami adalah keturunan Tionghoa. Walaupun kenyataan kami adalah keturunan Tionghoa tetapi jiwa kami adalah Indonesia.
Baca Juga: Ketua Umum PRABU, Arvindo Noviar, Bantah Dapat Proyek Rp 200 Miliar dari Kemenhan
Ke mana pun kami pergi ke luar negeri, selalu nama Indonesia yang kami bawa, bukan China. Dan ketika kami berhasil dalam hal karir, kami bisa membuka lapangan pekerjaan, kami tidak mengundang orang-orang China untuk berada di perusahaan kami.
Tetapi WNI asli Indonesialah yang menjadi prioritas kami. Mungkin ada yang dari etnis China, tapi itu sangat sedikit, tidak sampai 10 persen.
Kami WNI keturunan Tionghoa masih ingat betul tragedi 1998, di mana kejahatan yang sangat sadis menimpa kami. Kami yang sudah menjadi bagian dari NKRI menjadi sasaran kebiadaban politik.
Para gadis kami diperlakukan dengan sadis secara seksual. Harta yang kami dapat dengan kerja keras, bukan dari mencuri ataupun merampok, dijarah. Mayat keluarga dan saudara kami yang tidak tahu apa-apa bergelimpangan. Rumah-rumah kami dibakar.
Baca Juga: Ternyata Tunas Aglonema Bisa Tumbuh Pakai Media Tanam Air, Begini Caranya!
Dan kami cuma bisa memandangi kebrutalan di masa itu tanpa bisa berbuat apa-apa dan tanpa tahu apa dosa kami.
Apa daya kami yang minoritas. Protes pun tidak mampu kami lakukan. Ya, kami kaum minoritas yang menjadi korban kebrutalan politik harus mengadu kepada siapa dan menyalahkan siapa?
Ya sudahlah terima saja. Sikap itulah yang akhirnya menjadi pilihan kami. Dan kini setelah kejadian itu dan trauma kami belum hilang, kami masih harus menerima sikap sinis.
Usaha-usaha yang kami lakukan untuk melakukan tindakan antisipasi jika hal serupa terjadi lagi, justru dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah tindakan mengeksklusifkan diri dan tidak mau membaur dengan WNI asli.
Kami WNI keturunan Tionghoa jiwa kami adalah Indonesia. Apapun yang bisa kami lakukan kami persembahkan itu untuk Indonesia baik itu di bidang olahraga, seni, bisnis, keilmuan, dan lain-lain.
Kami keturunan Tionghoa baru benar-benar diperlakukan sama saat menjelang pemilu. Tetapi sejujurnya trauma akan tragedi 1998 itu selalu kembali membayangi kami saat-saat menjelang pemilu atau pilpres.
Satu hal yang menjadi pertanyaan kami, jika kami merasa seutuhnya WNI, kapan akan kami akan diakui sebagai WNI seutuhnya?
(Dikutip dan diedit dari tulisan L. Nugroho di Sintesa). ***