Denny JA Mendorong Kaum Perempuan Aktif Merebut Tafsir Agama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 29 Juli 2023 11:31 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Komunitas Perempuan Interfaith (KPI) Banjarmasin bekerja sama Rumah Menulis Dunia (RMD) dan Lajnah Imaillah Jemaat Ahmadiyah menyelenggarakan diskusi dan membedah buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA tentang Agama di Era Google.
Acara yang digelar di aula Jemaat Ahmadiyah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat 28 Juli 2023, hadir selaku narasumbernya ialah Pendiri KPI, Mariatul Asiah; sang penulis buku, Ahmad Gaus; serta aktivis perempuan dari berbagai agama.
Acara yang dimulai Pukul 15.00 WITA itu juga dihadiri perwakilan dari komunitas Hindu, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Musyawarah Rumah Kristen Indinesia, Komunitas Narasi Perempuan, dan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin.
Acara juga diisi pembacaan puisi Jalaluddin Rumi oleh Windi dari Rumah Menulis Dunia dan doa oleh Suster Ruvina.
Mariatul mengungkapkan, acara ini digelar untuk menghidupkan solidaritas di antara perempuan yang melampaui batas-batas primordial, seperti suku dan agama.
Menurutnya, tantangan perempuan di mana pun dan dalam agama apapun selalu sama, yakni menjadi objek dari penafsiran agama yang dikembangkan oleh para ulama berjenis kelamin laki-laki.
Mariatul menjelaskan, masih ada anggapan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua. Keberadaannya hanya untuk melengkapi laki-laki. Mereka rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.
Baca Juga: Bedah Buku di Cirebon: Pemikiran Denny JA tentang Agama Mendorong Pencerahan
Masih banyak kasus perempuan yang didiskriminasi, dilemahkan, dan dipinggirkan.
Semua itu berkait dengan budaya patriarki yang tumbuh di atas tafsir agama yang bias gender.
“Karena itu, saya menyambut baik pemikiran Denny JA dalam buku ini yang mendorong kaum perempuan untuk merebut tafsir agama. Ini berarti bahwa kaum perempuan tidak boleh diam, melainkan harus aktif dalam diskursus keagamaan. Kalau diam saja, maka mereka akan menjadi target dari tafsir agama yang dipaksakan kepada mereka,” kata Mariatul.
Mariatul menguraikan, pemikiran Denny JA mendorong lahirnya kesadaran tentang pentingnya kebebasan, kesadaran kesatuan dengan alam, kesadaran hak asasi manusia, dan lainnya.
Semuanya membutuhkan tafsir baru. Karena itu kompetisi tafsir tak terhindarkan.
“Ungkapan merebut tafsir itu muncul sebagai arus kesadaran baru di kalangan kaum perempuan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri,” katanya.
“Mereka melakukan perlawanan terhadap tafsir yang berkembang selama ini, yang tidak memiliki sensitivitas gender. Bahkan kontra kesetaraan manusia,” tambahnya.
Perlu Tindakan Sosial yang Baru
Ahmad Gaus menguraikan pemikiran-pemikiran Denny JA dalam buku yang ditulisnya dengan sudut pandang sosiologi agama.
Para ahli mengatakan bahwa agama memiliki pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat, asalkan tafsir mengenai agama harus terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Oleh karena itu, interpretasi atas teks-teks agama menjadi penting. Teks di langit harus diberi rumah di bumi. Kebenaran samawi harus dibenturkan kenyataan sehari-hari.
Gaus berpendapat, Ilmuwan sosial seperti Denny JA membawa agama dari wilayah metafisika yang sakral ke wilayah kebudayaan yang profan. Dari dogma teologi menjadi fenomena kultural.
“Itulah makna dari rumusannya bahwa agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia. Dengan rumusan ini, maka agama muncul dengan wajah yang humanis,” ungkap Gaus.
Menurut Gaus, jika agama semata-mata hanya diperlakukan sebagai wahyu, ia hanya hanya akan berada di ruang kesadaran ilahiah dan individual.
Tapi, dengan menjadikan agama sebagai warisan kultural atau produk budaya, atau bahasa sosiologinya “fakta sosial”, ia dapat dilihat perkembangannya di tengah masyarakat melalui riset empiris dan penelitian kuantitatif.
Oleh karena itu, kata Gaus, di sinilah kontribusi penting Denny JA selaku ilmuwan sosial yang melihat agama sebagai fenomena sosial yang dapat diteliti, bukan sebuah nubuat tentang perkara-perkara gaib.
Mengenai perebutan tafsir agama, Gaus mengutip pandangan Weber tentang tindakan sosial.
Budaya patriarki tidak lain ialah tindakan sosial tradisional yang terus diulang-ulang, padahal merugikan kelompok gender perempuan.
“Dasar dari tindakan sosial tersebut ialah tafsir. Nah, yang harus direbut ialah tafsir yang berpihak pada kebebasan perempuan untuk menentukan diri mereka sendiri, bukan ditentukan oleh orang lain. Lelaki,” kata Gaus.
“Tafsir itu harus diwujudkan dalam tindakan sosial yang baru, sehingga terbentuk budaya baru sebagai tandingan dari budaya patriarki,” tambahnya.
Dalam sesi tanggapan, Suster Ruvina Sitorus menegaskan pentingnya memupuk kerja sama di antara keragaman agama di tingkat akar rumput.
"Keragaman itu indah. Ketika kita melebur ke dalam keragaman, maka kita akan bahagia," ujarnya.
Sembilan Pemikiran Denny JA
Adapun buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google” diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI) pada Maret 2023.
Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas.
Ada Sembilan bab dalam buku tersebut. Bab 1, Iman Berbasis Riset. Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21. Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi. Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21. Bab 9, Agama: Warisan Kultural Milik Bersama Umat Manusia.
Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir.
Pertama, pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal peran agama di masyarakat.
Kedua, para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
Ketiga setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama, yang tersisa adalah perebutan tafsir. Sehingga, penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
Keempat, muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri sesuai kultur Eropa. Indonesia juga tak perlu terikat tafsir kultur Timur Tengah.
Kelima, bagi yang tak meyakini agama, maka dapat menikmatinya sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.
Keenam, pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
Ketujuh, mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
Kedelapan, LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
Kesembilan, perlunya menggandeng science dan Jalaluddin Rumi.
Menurut Gaus, di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan sekarang ini ialah pandangannya bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia.
Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran. ***