DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bung Karno Ternyata Pernah Dianggap Sebagai Dukun Penyembuh Penyakit

image
Bung Karno

ORBITINDONESIA.COM - Di pengasingannya di Bengkulu, Sukarno atau Bung Karno dianggap sebagai orang cerdik pandai, bahkan seperti dukun. Orang datang minta nasihat kepadanya.
 
“Ada kerbau milik seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang pegawai. Ia hampir putus asa karena baginya kerbau itu sangat besar artinya. Ia datang kepadaku dan menganggapku seperti dukun,” cerita Bung Karno kepada Cindy Adam, penulis biografinya.
 
Bung Karno menasihati sang Marhaen: “Ajukan persoalan ini ke pengadilan. Aku akan mendoakan.” Tiga hari kemudian kerbau itu kembali.
 
 
“Saya sudah tujuh bulan tidak haid,” kata seorang perempuan yang datang menangis ketika menemui Sukarno.
 
“Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,” jawab Sukarno.
 
“Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya percaya kepada Bapak. Saya merasa sangat sakit. Tolonglah, tolonglah, tolonglah saya.”
 
Perempuan itu sangat percaya kepada Sukarno. “Aku tidak dapat berbuat sesuatu yang akan mengecewakannya. Karena itu kubacakan untuknya surah pertama dari Alquran ditambah dengan doa yang maksudnya sama dengan Bapak kami yang ada di surga,” cerita Sukarno. Perempuan itu kemudian sembuh.
 
 
Tetangga Sukarno, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Ia yakin, dengan mengemukakan masalahnya kepada Sukarno, masalahnya dapat diselesaikan.
 
Ia benar. Sukarno keluar dan menggadaikan bajunya untuk memberikan tiga rupiah enam puluh sen yang dibutuhkannya.
 
“Di mata orang kampung yang bersahaja, aku lambat laun dianggap seperti dewa. Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dua puluh tahun darinya. Ia memanggilku Bapak, pun untuk seterusnya.”
 
Di rumah Sukarno bersama Inggit Garnasih di Bengkulu ada radio di kamar belakang. Pada suatu malam teman-teman mereka mendengarkan radio di rumah itu. Fatmawati juga datang untuk mendengarkan, duduk di tempat kosong di sebelah Sukarno di atas dipan.
 
 
Malam itu juga Inggit menyatakan kepada Sukarno: “Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan coba-coba menyembunyikannya. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya yang menyinar kalau ada orang lain mendekat.
 
Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki-laki. Anak-anak gadis, menurut kebiasaan lebih dekat kepada Ibu, bukan kepada Bapak.”
 
Tahun berganti tahun. Fatmawati tumbuh menjadi gadis cantik. Umurnya 17 tahun sementara Inggit sudah mendekati usia 53 tahun.
 
“Aku masih muda, kuat, dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan. Pada suatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menyadari bahwa aku kehilangan Fatmawati, aku membutuhkannya,” tutur Sukarno.
 
 
Hubungan Inggit dan Sukarno menjadi tegang. “Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Oleh karena itu aku mencari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan rencana rumah untuk rakyat. Aku mengajar guru-guru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar Alim-Ulama Antar-Pulau Sumatera- Jawa dan berhasil mengemukakan kepada mereka rencana memodernkan Islam.”
 
Sukarno juga menyibukkan diri dengan menulis artikel. Karena ia dilarang menulis oleh pemerintah Hindia Belanda, ia memakai nama samaran Guntur atau Abdurrachman.
 
Masalah muncul karena ia tidak mengetik. Torehan tulisan tangannya mudah dibaca dan sudah diketahui banyak orang. Ia berusaha mengubahnya sedikit tapi ternyata masih terlihat bentuk-bentuk huruf yang sama.
 
“Karena itu aku mengubahnya sama sekali. Aku menulis dengan huruf-huruf cetak atau menulisnya dengan tangan kiri.”

(Oleh: Ratih Wiryanti, mengutip “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams.)***

Berita Terkait