KTT ASEAN Siap Perangi Perdagangan Orang dan Lindungi Pekerja Migran
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 16 Mei 2023 10:00 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Ramdhani, menyambut baik KTT ke-42 ASEAN 2023 di Labuan Bajo, yang mengeluarkan deklarasi siap memerangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menurutnya, ajang ini memberikan kemajuan dan langkah progresif terkait pekerja migran. Yakni, dalam memberikan akses keadilan hukum, advokasi, pemberian bantuan, dan pendidikan terkait migrasi aman.
“Hanya saja, perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dihadapkan pada berbagai masalah di dalam negeri. Padahal telah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang mengatur perlindungan administrasi dan perlindungan teknis bagi mereka,” ujarnya, dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 bertema Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran, Senin, 15 Mei 2023.
Baca Juga: Kisah Nyai Dasima Dalam Konteks Politik Masa Sekarang
Pada Pasal 8 ayat 1 UU ini menjelaskan, setiap pekerja migran yang bekerja secara resmi di negara penempatan harus memenuhi persyaratan yang diatur undang-undang Indonesia. Mereka tidak hanya harus mengikuti pendidikan, pelatihan, sertifikat kompetensi, dan dokumen resmi, termasuk visa kerja.
“Namun, modus yang digunakan oleh pekerja migran ilegal biasanya menggunakan visa turis, visa umroh, atau visa ziarah ke Timur Tengah, bukan visa kerja,” sebutnya.
Menurut World Bank pada 2017, terdapat sekitar 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Namun, data BP2MI hanya mencatat data sekitar 4,6 juta orang tersebut secara rinci, termasuk asal mereka, lokasi saat ini, jenis pekerjaan, gaji, tanggal keberangkatan dan kepulangan, serta koordinat tempat tinggal mereka.
Dalam asumsi tersebut, sekitar 4,4 juta orang Indonesia yang berada di luar negeri berangkat secara tidak resmi.
Selama tiga tahun, sebanyak 92 ribu orang dideportasi, 1.900 jenazah dipulangkan ke Indonesia, dan rata-rata dua peti jenazah harus ditangani setiap kali pemulangan, yang semuanya merupakan korban dari perjalanan ilegal.
“Selain itu, ada sekitar 3.600 orang yang menderita penyakit fisik, kehilangan ingatan, serta depresi ringan dan berat. Pemandangan ini menggambarkan betapa naifnya jika negara sebesar Indonesia, yang menghormati kemanusiaan, dituduh melakukan pembiaran dan tidak mampu melawan sindikat TPPO,” papar Benny.
Sayangnya, Benny menyebutkan bahwa oknum-oknum beratribut kekuasaan juga terlibat dalam praktik TPPO. Mulai dari oknum TNI, Polri, kementerian dan lembaga, bahkan oknum di BP2MI.
Baca Juga: PENTING: Pertolongan Pertama Untuk Mengatasi Serangan Stroke
“Untuk menunjukkan keadilan, tindakan tegas pemecatan telah diambil terhadap salah satu oknum tersebut sejak delapan bulan yang lalu,” tegasnya.
Menariknya, Benny menambahkan, PMI yang menjadi korban tidak lagi hanya terbatas pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau terbatas akses informasi. Ada kasus-kasus di mana PMI dengan pendidikan tinggi seperti sarjana (S1) dan diploma (D3) juga terlibat dalam keberangkatan ilegal.
“Mereka sadar berangkat tidak resmi, tetapi tergoda oleh janji-janji pekerjaan dengan gaji tinggi dan biaya keberangkatan yang ditanggung. Akibatnya, anak-anak bangsa menjadi korban penempatan ilegal yang berbahaya,” imbuhnya.
Benny pun berharap, kesepakatan dan deklarasi ASEAN akan memperkuat semangat dan komitmen negara-negara ASEAN untuk tidak memberikan izin bagi warga negara asing yang bekerja secara ilegal.
Baca Juga: Yunarto Wijaya Charta Politika: Pemilih yang Tidak Puas Jokowi Cenderung Pilih Prabowo
Negara-negara ASEAN harus tegas dan tidak melakukan negosiasi atau kompromi terhadap kejahatan TPPO yang merupakan kejahatan kemanusiaan.
Bicara di forum yang sama, Direktur Eksekutif ASEAN Study Center Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Dafri Agussalim, M.A, menilai TPPO adalah industri yang terus berkembang dan selalu beradaptasi dengan pasar serta menciptakan bentuk-bentuk kejahatan baru.
“Ini adalah bisnis ilegal yang melintasi batas budaya, sosial, bahasa, dan geografis, tanpa mengenal waktu, batas, atau aturan,” urainya.
Senada dengan Benny, Dafri juga melihat dalam banyak kasus, aktor di balik TPPO tidak hanya melibatkan pelaku utama, tetapi juga melibatkan elemen-elemen internal di dalam negara itu sendiri.
Baca Juga: SEA Games 2023: Prediksi dan Link Streaming Indonesia Melawan Thailand, Waktunya Meraih Emas
“Mereka dapat berasal dari berbagai bidang, seperti bisnis, akuntansi, hukum, perbankan, atau agen perjalanan,” sebutnya.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengingatkan negara-negara ASEAN akan adanya masalah TPPO dan pentingnya kerja sama aktif dalam menangani isu ini.
Dafri pun mengakui, tantangan politik dalam mengatasi masalah TPPO juga sangat besar. Hal ini dapat memicu ketegangan antara negara-negara dan mengganggu hubungan bilateral.
Ia menyarankan agar Indonesia, sebagai Ketua ASEAN dan sebagai negara besar di kawasan, perlu membujuk negara-negara lain untuk memiliki konstruksi hukum yang sejalan dalam mengatasi TPPO. Tentunya dengan mengakomodasi perbedaan dalam konteks dan kebutuhan masing-masing negara.
Dengan memperkuat komitmen dan tindakan konkrit, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mewujudkan ASEAN yang lebih aman dan adil bagi semua warga negaranya.***