DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Denny JA: Mahama Tak Minta Suaka Ke Australia, Kasus Ahmadiyah di NTB, 2006-2022

image
Warga Ahmadiyah Indonesia yang Terpasung di Negeri Sendiri.

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA – Denny JA selaku pendiri ORBITINDONESIA sangat peduli kepada urusan hak azasi manusia. Hak azasi manusia adalah wajib dijunjung tinggi dan dihormati meskipun harus berbeda.

Denny JA kemudian banyak mengangkat persoalan hak azasi manusia ini ke dalam karya-karyanya, salah satunya dalam bentuk puisi esai mini yang mengangkat tentang kasus Ahmadiyah di Nus Tenggara Barat (NTB) 2006-2020.

Berikut ini puisi esai mini tentang kasus Ahmadiyah di NTB:

Mahama Tak Minta Suaka ke Australia

“Indonesia, kami mencintaimu, selalu, sejak dulu.

Tapi apakah kau juga mencintai kami?”

Itulah yang direnungkan Mahama.

Ia melihat merah putih berkibar di sana.

Hari itu, 17 Agustus 2021.

Sudah 15 tahun, keluarganya tinggal di sana, di transito, area pemukiman Ahmadiyah

di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Sudah 15 tahun komunitas Ahmadiyah diusir dari tanah kelahirannya sendiri, di Ketapang.

Sungguh Mahama tak tahu mengapa mereka diusir.

Satu-satunya yang ia tahu: mereka meyakini Ahmadiyah.

Mahama mendengar suara Bung Karno menggelegar di langit, menjadi petir, menjadi guntur, bergema bagai toa raksasa di awan, memekik keras sekali:

“Persatuan yang utama.

Indonesia untuk semua!”

Daun-daun pohon di sana, di area pengungsian itu, bernyanyi Indonesia Tanah Airku.

Angin sore itu, batu-batuan yang berserakan di tanah, di area pengungsian itu, koor bersama:

“Indonesia raya, merdeka-merdeka.

Tanahku negriku, yang kucinta.”

“Tapi,” renung Mahama, “apakah Indonesia juga mencintai kami?”

“Kami juga warga Indonesia.  Lahir di negeri  ini. Tapi mengapa kami dibiarkan terusir dari kampung halaman?”

“Kami juga warga Indonesia. Kami tumbuh di tanah ini. Tapi mengapa kami dibiarkan menjadi pengungsi, 15 tahun sudah?”

“Kami juga warga Indonesia. Sejak kanak-kanak kami di sini. Tapi mengapa kami tak dilindungi meyakini paham  agama pemberian orang tua kami?”

Mahama tak lupa itu peristiwa.

Ketapang, tahun 2006.

Sekelompok orang berteriak marah, menyerang, membakar rumah mereka, sambil menghujat. (1)

“Allahu Akbar.

Ini orang Ahmadiyah darahnya halal.

Ajaran sesat.

Sikat saja.

Habisi.

Serang!”

Umur Mahama masih 10 tahun.

Mahama menangis.

Menjerit.

Ia takut sekali.

Ia teriak kencang: Ibuuuuu!!!

Ayaaaaahhhhh !!

Mahama tak mengerti.

Mengapa  orang-orang ini ingin menyakiti.

Ia ingat, Ayahnya melawan.

Tak mau diusir dari rumahnya sendiri.

“Kami juga warga di sini.

Ini tanah kami.

Leluhur kami tinggal di sini lebih lama dari kalian!”

Kawanan itu berteriak lebih keras lagi:

“Hei, orang sesat.

Kalian racun di sini.

Kampung ini tercemar,

menjadi sial,

karena kalian.”

Nenek jatuh tak berdaya.

Ia hampir pingsan.

Nenek meminta ayah untuk pergi, sementara.

Hindari kekerasan.

Itulah awal mereka tinggal di transito, Mataram.

Di sini, di transito, sekitar 800 Ahmadiyah mengungsi.

Mereka tinggal di rumah petak 3 meter x 3 meter.

Pemisah rumah awalnya hanya kardus, atau baliho gambar partai peserta pemilu.

Awalnya dijanjikan mereka hanya tinggal sementara.

Pelaku kerusuhan akan ditangkap.

Mereka akan kembali ke rumah di Ketapang.

Hati mereka berbunga.

“Alhamdulilah,

Tuhan tidak tidur.

Aparat bekerja.”

Tapi kini, 15 tahun sudah.

Mereka tetap di sini.

Mahama kembali menatap bendera merah putih yang berkibar di sore itu.

Usia Mahama kini 25 tahun.

Ia beruntung dibiayai pamannya kuliah di Jakarta.

Kini ia bekerja di Ibu Kota.

Sesekali ia berkunjung ke transito, kangen pada ibu, kakak dan adik.

Ayahnya sudah lama wafat, depresi berat.

Nenek wafat lebih dahulu.

Derita memakan usia.

Di malam hari, di beranda, duduk bersandar di kursi, menatap langit, ia bertanya.

“Apa yang salah dengan kami?”

“Bukankah awalnya semua sama?

Kita semua adalah bayi.

Kita tak memilih orangtua.

Tuhan yang memilihkannya.

Bayi yang dapat orangtua Islam, diberi oleh orangtuanya agama Islam.

Bayi yang dapat orangtua Kristen, diberi oleh orang tuanya agama Kristen.

Bayi yang dapat orangtua Hindu, diberi oleh orangtuanya agama Hindu.

Kebetulan kami mendapatkan orangtua yang Islam, tapi paham Ahmadiyah, juga diberi oleh orangtua paham Ahmadiyah.

Apa yang salah?”

Bukankah awalnya semua sama?

Orangtua  Islam mengajar anaknya ajaran Islam.

Orangtua Hindu mengajar anaknya ajaran Hindu.

Orangtua Ahmadiyah juga mengajarkan anaknya Islam, tapi paham Ahmadiyah.

Bukankah ajaran agama boleh beda?

Kristen percaya Yesus mati disalib.

Tapi Islam tak percaya itu.

Toh, itu boleh saja.

Islam percaya makan babi haram. Kristen tak percaya itu.

Toh itu boleh saja.

Islam percaya Tuhan memberi wahyu agar sholat menghadap kiblat.

Umat Budha tak percaya itu.

Mereka tidak sholat.

Mereka tidak menghadap kiblat.

Mereka meditasi.

Toh itu boleh saja.

“Lalu mengapa kami tak boleh percaya kepada keyakinan Islam, tapi paham Ahmadiyah kami?

Mahama terus bertanya.

“Aku cinta Indonesia,” tegas Mahama. “Karena itu aku tak ikut meminta suaka ke Australia.“

Mahama ingat kala itu.

Tahun 2008, tanggal 15 Mei.

Di Kantor Konsulat Jenderal Australia, Jalan Mpu Tantular, Denpasar, Bali.

Sejumlah  warga Ahmadiyah asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, berkumpul di sana.

Mereka ingin pergi ke Australia.

Minta suaka.

Menetap di sana.

Mereka didampingi penggiat LBH Bali.

Itu Aliansi Kebebasan untuk Toleransi.

Hadir 13 anggota jemaah Ahmadiyah.

Mereka mewakili 138 jemaat lainnya. (2)

Semua yang minta suaka berasal dari asrama.

Ya, asrama pengungsian.

Ujar tokoh Ahmadiyah: “Tiada kita tahan.

Ancaman intimidasi datang berulang-ulang.”

Tokoh Ahmadiyah lain menimpali:

“Suaka di Australia menjadi pilihan.

Di negeri sendiri, kita tak dilindungi.

Darah kita dianggap halal.”

Ayah Mahama dan Mahama diajak serta.

Ayah tak bersedia.

Mahama ikut Ayah,

juga tak bersedia.

Ketika Mahama semakin dewasa, Ayah bercerita.

“Leluhur  kita di Indonesia sudah menjadi Ahmadiyah sejak  tahun 1925.” (3)

“Buyutmu ikut berjuang untuk negeri ini.

Mereka di samping Bung Karno. Di samping Bung Hatta. Di samping Bung Sjahrir.”

“Sejak dulu hidup kita tentram. Keyakinan kita dilindungi.

Hanya bermasalah belakangan ini.

Justru di era reformasi.

“Nak,“ kata Ayah.

Buyutmu, kakekmu, Ayahmu, dirimu, lahir di negeri ini.

Kita juga harus dimakam di sini. Jangan pernah tinggalkan ini negri. Ini tanah air kita.”

“Orang-orang mengusir kita. Tapi mereka tak mewakili Indonesia. Jangan luntur cintamu pada Indonesia.”

Mahama terpana.

Begitu dalam cinta Ayah pada Indonesia.

Tapi Ayah kecewa.

Lalu menderita.

Depresi yang mendalam.

Ayah lobi ke sana dan ke sini.

Tapi tak banyak yang dilakukan pemerintah.

Tanah mereka di kampung halaman terbengkalai.

Rumah mereka di Ketapang rata dengan tanah.

Mereka tetap dilarang kembali ke Ketapang.

Alasannya: demi keamanan.

“kalian semua bisa mati.”

Aparat menakut-nakuti.

Selalu.

Tahun 2013, Mahama kuliah di Jakarta.

“Oh Zayda, kau indah sekali.”

Mahama pun jatuh cinta.

Zayda pengobat luka.

Mahama kumbang, Zayda bunga.

Zayda kumbang, Mahama sarangnya.

Ketika Zayda sakit keras,

beminggu di rumah sakit,

Mahama sering menemani.

Di malam hari, Mahama rela tidur di sofa, seadanya.

Kakinya menggelantung.

Kadang Zayda terbangun tengah malam.

Ikut terbangun pula Mahama.

Zayda tenang kembali,

ketika ia melihat Mahama di sana, menemani.

Mereka rencana menikah.

Calon mertua begitu menyayangi Mahama.

Namun datang itu berita.

Calon mertua tahu.

“Astaga, Mahama seorang Ahmadiyah”

Zayda dilarang menemui Mahama.

Pohon nangka berubah warna.

“Kita kawin lari saja, Mahama.

Bawa aku pergi,” kata Zayda meminta.

“Aku menghormati orangtua.

Tapi aku tak setuju pendiriannya.

Ia berubah hanya karena kau Ahmadiyah.”

“Oh Zayda sayangku.

Betapa inginku membawamu.

Tapi aku tahu.

Kau akan menderita.

Aku tak ingin memisahkanmu dari ayahmu, dari ibumu.”

Menangis Zayda memeluk Mahama.

Lebih menangis lagi hati Mahama.

“Kukira menjadi pengungsi itu puncak kesedihan.

Tapi berpisah dengan pasangan hati, oh ini lebih puncak lagi. Lebih sedih lagi.

Bulan meneteskan air mata.

Bunga mawar di taman itu menyanyikan lagu yang pilu.

Angin berkisah cinta yang harus berpisah.

Mahama kembali terdiam.

Hanya karena Ahmadiyah,

kini cinta hidupnya juga sirna.

Mengapa di Indonesia ini terjadi?

Sore hari, 17 Agustus 2021.

Mahama menatap bendara merah putih, mendalam sekali.

Ia bertanya kepada merah putih, yang berkibar-kibar

“Aku mencintaimu, Indonesia.

Tapi apakah kau juga mencintaiku? Apakah kau juga melindungi kami?”

Bendera tak menjawab.

Hujan turun deras sekali.

Tapi lebih deras luka mengalir di hati Mahama. ***

 

Agustus 2022

CATATAN

 

(1) Pengungsian Ahamdiyah di Transito banyak berasal dari Ketapang

https://ntb.idntimes.com/news/ntb/amp/ahmad-viqi/15-tahun-di-transito-pengungsi-ahmadiyah-minta-perhatian-gubernur-ntb

(2) Sekelompok Ahamdiyah meminta suaka ke Australia.

https://m.liputan6.com/news/read/3966067/rencana-eksodus-jemaah-ahmadiyah-ke-australia-11-tahun-silam

(3) Ahmadiyah datang ke Indonesia sejak tahun 1925.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/25/120000779/sejarah-ahmadiyah-di-indonesia?amp=1&page=2

#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998),  Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012). ***

Berita Terkait