BPOM Terindikasi Ceroboh dan Diskriminatif, Khususnya Soal Pelabelan BPA di Galon Polikarbonat
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 03 November 2022 17:20 WIB
ORBITINDONESIA - Berbagai kasus akhir-akhir ini mengindikasikan, Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM telah bersikap ceroboh, bahkan diskriminatif.
Kasus kecerobohan BPOM itu adalah temuan cemaran senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada sejumlah produk obat sirop yang beredar di Indonesia.
Sedangkan sikap diskriminatif BPOM ditunjukkan dengan memberi perlakuan yang tidak setara pada kasus kandungan Bisphenol-A (BPA) pada kemasan galon polikarbonat untuk air minum dalam kemasan (AMDK), yang begitu dihebohkan.
Baca Juga: Saiful Mujani: Warga yang Menilai Ekonomi Positif Ingin Partai yang Sama, PDIP Tetap Berkuasa
Sedangkan BPOM tak bersuara apa-apa soal kandungan etilen glikol pada galon berbahan PET (Polyethylene Terephthalate).
Padahal senyawa etilen glikol yang melebihi ambang batas kini dikabarkan sangat berbahaya pada ginjal.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane meminta agar BPOM tidak buang badan atas temuan cemaran senyawa EG dan DEG, yang melebihi ambang batas pada sejumlah produk obat sirop.
Masdalina mempertanyakan pengawasan BPOM dalam memberikan perizinan edar obat di masyarakat.
Baca Juga: Survei SMRC: Pemilih PDIP, Golkar, PPP dan PKB Lebih Banyak Datang Dari Kelompok Usia Tua
Ia juga menyinggung proses pidana yang ditujukan BPOM pada PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Kedua perusahaan farmasi itu disebut telah menggunakan EG dan DEG yang melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop. Padahal keduanya sudah memproduksi dan mengedarkan obat sejak lama.
Kedua zat tersebut diduga menjadi pemicu penyakit gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia.
Menurut Masdalina pada 1 November 2022, temuan ini membuktikan bahwa fungsi pengawasan BPOM tidak berjalan.
Jadi tidak jelas, apa yang selama ini BPOM kerjakan. Jika sekadar memberi perizinan, dua perusahaan farmasi yang dipersoalkan itu sudah mengantongi izin edar. Jadi BPOM sebetulnya telah kecolongan dalam hal ini.
Apabila BPOM berdalih pemeriksaan rutin EG dan DEG tak dilakukan di Indonesia karena tidak diatur dalam pakem internasional, lantas mengapa ada aturan yang menyebutkan ambang batas EG dan DEG.
Masdalina menilai seharusnya metode pengawasan BPOM mudah dilakukan dengan cara melakukan sampling uji coba produk.
Namun, BPOM tidak ada upaya untuk mitigasi ataupun mencegah agar tidak terjadi kondisi yang diduga mengakibatkan ratusan anak meninggal akibat GGAPA itu.
BPOM telah menyampaikan hasil penindakan pada industri farmasi yang memproduksi obat sirup dengan tidak memenuhi standar (TMS). Sejauh ini, terdapat dua perusahaan yang akan dipidanakan.
Menanggapi hal itu, Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo, mengatakan terjadinya lolos obat di pasaran yang tidak sesuai standar merupakan indikasi pengawasan oleh BPOM lemah.
Tugas BPOM bukan hanya pre-market tapi juga post-market (Liputan6.com, 1 November 2022).
Pre-market evaluation merupakan evaluasi produk sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan diedarkan kepada konsumen.
Penilaian itu dilakukan terpusat, agar produk itu nantinya memiliki izin edar yang berlaku secara nasional.
Pengawasan setelah beredar (post-market control) adalah untuk melihat konsistensi mutu produk, keamanan, dan informasi produk yang dilakukan dengan sampling produk obat dan makanan yang beredar.
Serta pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan makanan, pemantauan farmakovigilan, dan pengawasan label/penandaan dan iklan.
Menurut YLKI, pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan terpadu, konsisten, dan terstandar.
Baca Juga: SMRC: Pemilih PDIP yang Setia Sekitar 66 Persen, Sisanya Ada 21 Persen yang Pindah ke Partai Lain
Ini melibatkan Balai Besar/Balai POM di 33 provinsi dan wilayah yang sulit terjangkau/perbatasan dilakukan oleh Pos Pengawasan Obat dan Makanan (Pos POM).
Hal ini menjadi pelecut bagi BPOM untuk memperbaiki kinerjanya dalam pengawasan, untuk memastikan obat dan makanan yang beredar aman dikonsumsi oleh konsumen.
Maka YLKI menegaskan, ke depannya hasil pengawasan BPOM harus dilaporkan ke masyarakat secara berkala, terkait temuan obat dan makanan yang tidak standar, agar konsumen terinformasi dengan baik dan benar.
Sedangkan dalam kasus kandungan BPA di galon AMDK yang bisa digunakan ulang, staf ahli Kementerian Koperasi dan UKM RI, Luhur Pradjarto, meminta agar BPOM tidak mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha tertentu saja.
Misalnya, pelabelan “berpotensi mengandung BPA” yang hanya diterapkan untuk kemasan air minum galon berbahan polikarbonat.
Padahal, kebijakan itu harus ditujukan untuk kepentingan bersama, baik semua perusahaan maupun masyarakat. Bukan untuk sekelompok tertentu saja.
Menurut Luhur, ini ada kepentingan perusahaan dan kepentingan kepada masyarakatnya.
Kementerian Koperasi dan UKM harus mengayomi dan melindungi para pengusaha UMKM dari kebijakan-kebijakan yang bisa menghambat keberlangsungan usaha.
Tapi, itu juga harus yang sesuai prosedur. Luhur sendiri mengaku, ia belum pernah mendengar ada laporan masyarakat meninggal atau terkena penyakit berbahaya, hanya karena mengonsumsi air minum galon guna ulang.
Jadi prinsipnya, kata Luhur, Kementerian Koperasi dan UKM ingin agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan BPOM itu jangan hanya sepihak, tapi untuk semua pihak.
Sekjen Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo), M. Imam Machfudi Noor, menegaskan, wacana pelabelan BPA ini jelas sangat berdampak terhadap usaha depot air minum isi ulang.
Pasalnya, konsumen air minum isi ulang selama ini menggunakan galon guna ulang saat membeli air di depot-depot.
Baca Juga: Saiful Mujani: Ekonomi Buruk Menguntungkan Anies, Ekonomi Baik Akan Memperkuat Ganjar Pranowo
“Kalau galon ini dihilangkan, apa konsumen mau beli pakai ember. (Itu) ‘kan nggak mungkin. Galon sekali pakai juga kan tidak bisa digunakan berulang,” ucapnya
Dia mengatakan, akan banyak usaha depot air minum isi ulang yang bangkrut akibat kebijakan BPOM soal pelabelan BPA ini.
Apalagi, anggota Asdamindo masih banyak yang tergolong usaha sangat kecil, yang pangsa pasarnya hanya 200-300 rumah.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat mengatakan keberatan dengan pelabelan BPA, karena menganggap kebijakan itu bersifat diskriminatif.
Baca Juga: PIS Ajak Masyarakat Dukung Usulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Buya Ahmad Syafii Maarif
Sangat diskriminatif karena hanya diberlakukan terhadap produk kemasan galon polikarbonat.
Padahal, kemasan galon sekali pakai yang berbahan PET (Polyethylene Terephthalate) juga ada zat berbahayanya, seperti asetaldehid, antimon, dan etilen glikolnya.
Tapi kenapa galon sekali pakai berbahan PET ini tidak dilabeli juga seperti halnya galon guna ulang? “Kami hanya menuntut rasa keadilan dan kesetaraan dalam hal ini,” katanya.
Pakar Kimia dan Ahli Polimer dari ITB, Ahmad Zainal, juga menyampaikan pelabelan mengandung BPA terhadap kemasan pangan berbahan polikarbonat sebenarnya tidak perlu.
Ini karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon polikarbonat aman untuk digunakan.
Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan BPOM terbukti bahwa migrasi BPA dalam galon masih dalam batas aman atau jauh di bawah ambang batas aman yang sudah ditetapkan BPOM.
Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS yang menandakan bahwa produk itu aman.
Bahkan, kata Zainal, Kominfo juga sudah menyatakan bahwa isu BPA berbahaya pada galon itu hoaks.
Baca Juga: Dukungan untuk PDIP, Golkar dan PKB Lebih Banyak Datang Dari Pemilih Berpendidikan Lebih Rendah
Pengamat regulasi persampahan, Asrul Hoesein, bahkan mempertanyakan keberadaan produk galon sekali pakai yang jelas-jelas akan semakin menambah timbunan sampah bagi lingkungan.
Asrul mempertanyakan aturan yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Di satu sisi KLHK melarang plastik sekali pakai, tapi justru adanya pembiaran terhadap salah satu produsen untuk memproduksi galon sekali pakai.
"Ini kan sangat membingungkan kita,” katanya.
Baca Juga: Lowongan Kerja Terbaru 2022, di PT Bank Maspion Indonesia, Tbk butuh Staff Teller di Jakarta
Sebagai warga masyarakat dan konsumen, kita berharap BPOM segera kembali ke relnya yang benar.
Yakni, tidak melakukan tindakan pilih kasih dan diskriminatif. Tindakan macam ini ujungnya cuma menguntungkan pihak tertentu, tetapi merugikan banyak pihak lain dan masyarakat.
Satrio Arismunandar, Pemimpin Redaksi OrbitIndonesia.com dan Majalah ARMORY REBORN.***