Jejak Karya Disabilitas Menembus Pasar Dunia Lewat Batik Eco Print

Di sebuah sudut kota Surabaya, kain-kain digelar di bawah matahari pagi. Di atasnya, daun jati, kenikir, hingga tanaman liar yang tumbuh di pekarangan ditempel perlahan, lalu dipukul, dikukus, dan didiamkan. Tak ada mesin bising. Tak ada zat kimia menyengat. Yang bekerja adalah kesabaran, ketekunan, dan kepercayaan bahwa alam selalu meninggalkan jejaknya sendiri.

Dari proses sederhana itulah batik eco print lahir. Uniknya, sebagian karya yang kini mulai dilirik pasar dunia itu dibuat oleh tangan-tangan penyandang disabilitas. Mereka bekerja dalam ritme yang mungkin lebih lambat, namun penuh ketelitian. Setiap motif tercetak bukan hasil repetisi mesin, melainkan dialog antara daun, kain, dan manusia.

Eco print menawarkan sesuatu yang berbeda di tengah industri fesyen yang serba cepat. Serat kainnya berasal dari bahan alami, pewarnaannya memanfaatkan pigmen tumbuhan, bahkan detail kecil seperti kancing dipilih dari material yang mudah terurai. Tidak ada plastik. Tidak ada limbah berlebih. Yang tersisa hanyalah kain dengan corak unik, tak satu pun benar-benar sama.

Yang menarik, bahan baku batik ini tidak datang dari tempat jauh. Dedaunan dikumpulkan dari lingkungan sekitar permukiman. Apa yang selama ini dianggap gugur dan tak bernilai, justru menjadi sumber estetika baru. Proses ini bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga menghidupkan kembali relasi manusia dengan ruang hidupnya sendiri.

Bagi para pembatik disabilitas, membatik bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ia adalah ruang belajar, ruang percaya diri, dan ruang untuk merasa setara. Setiap kain yang selesai menjadi penanda bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi mutu. Tak sedikit orang terkejut ketika mengetahui bahwa produk-produk ini telah menembus pasar luar negeri dan diminati wisatawan mancanegara.

Kualitasnya berbicara sendiri. Motifnya organik, warnanya lembut namun berkarakter, dan setiap lembar kain membawa cerita tentang proses yang jujur. Inilah fesyen berkelanjutan dalam makna paling konkret—tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memuliakan manusia di dalamnya.

Lebih dari itu, aktivitas membatik eco print ini kerap berjalan beriringan dengan penanaman pohon. Sebuah siklus sederhana: dari daun menjadi kain, lalu kembali menumbuhkan kehidupan. Ekonomi dan ekologi tidak dipertentangkan, melainkan disatukan dalam praktik sehari-hari.

Meski telah mendapat pengakuan pasar global, para pelakunya masih berharap pada keberlanjutan. Bukan sekadar pujian, melainkan dukungan nyata agar produk berkualitas tinggi ini terus tumbuh, naik kelas, dan menjangkau pasar yang lebih luas, termasuk di dalam negeri. Batik eco print karya penyandang disabilitas ini menunjukkan bahwa kualitas tidak selalu lahir dari skala besar. Ia justru tumbuh dari ruang-ruang sederhana, dikerjakan dengan ketekunan, dan menyimpan arah baru bagi fesyen berkelanjutan.

Bagi yang ingin melihat atau mendapatkan produk eco print secara langsung, Surabaya memiliki beberapa titik rujukan, mulai dari pusat kerajinan eco print pada media kain dan kulit yang bersifat eksklusif di Perumahan Jl. Wisma Kedung Asem Indah Blok G/7, Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, hingga Surabaya Kriya Gallery yang menjadi etalase berbagai merek eco print kota dan dapat dijumpai di dua lokasi, yakni SKG MERR di Jl. Dr. Ir. H. Soekarno No.11, Medokan Semampir, Kecamatan Sukolilo, serta SKG Siola di Jl. Tunjungan No.1–3, Kecamatan Genteng, Surabaya; sementara bagi yang tertarik mempelajari proses dan bahan eco print lebih jauh, Kebon Alam Ecoprint dapat dikunjungi di Jl. Sumur Welut No.20, Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya.