Ketua MTI Djoko Setijowarno Minta Pemerintah Pertimbangkan Dampak Ekonomi Larangan Truk Sumbu 3 Selama 17 Hari
ORBITINDONESIA.COM - Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, meminta pemerintah mempertimbangkan dampak ekonomi larangan operasional truk sumbu 3 selama 17 hari libur Natal dan Tahun Baru.
Menurut dia, kebijakan itu berpotensi menambah beban pelaku usaha angkutan barang, terutama pemilik truk yang masih punya kewajiban cicilan kepada leasing.
Kewajiban cicilan tetap harus dibayar, meski armada tak diizinkan beroperasi. Belum lagi dampak terhadap pendapatan sopir.
Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemenhub, Korlantas Polri, dan Kementerian PU, awalnya menetapkan pembatasan operasional truk sumbu 3 selama 11 hari pada 19–20 Desember, 23–28 Desember 2025, dan 2–4 Januari 2026.
Namun, belakangan Kemenhub menambah masa larangan menjadi 17 hari, yakni 21 - 22 Desember, dan 29 Desember 2025 - 1 Januari 2026, baik di jalan tol maupun non-tol.
Djoko menyayangkan penambahan hari pelarangan dikaitkan kebijakan Work From Anywhere (WFA) bagi ASN. Menurut dia, kebijakan WFA tidak seharusnya dibayar mahal oleh sektor logistik.
Analisis BDS Alliance menyatakan,Pemerintah mengeluarkan larangan operasional truk sumbu 3 selama 17 hari libur Natal dan Tahun Baru, baik di jalan tol maupun non-tol. Tujuannya supaya mobilitas para pelancong bisa lancar.
Di satu sisi maksudnya baik; kalau warga yang hendak berlibur mendapatkan kelancaran perjalanan maka akan terdorong untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, yang akan menimbulkan efek ekonomi berganda pada sektor wisata, dan pendapatan daerah.
Namun, larangan itu jelas merugikan sektor logistik, buruh angkut, bongkar muat, dan lainnya. Ada efek negatif berganda juga.
Sebaiknya dalam membuat kebijakan pemerintah juga memperhatikan kepentingan kelancaran logistik, dan juga jangan membuat kebijakan larangan yang mendadak.
Mengingat libur Natal dan Tahun Baru itu terjadi setiap tahun, tentu seharusnya kebijakan semacam itu bisa dibuat jauh hari, sehingga sektor logistik bisa melakukan antisipasi yang lebih baik.***