Larangan Truk Sumbu 3 Nataru Ditambah Jadi 17 Hari, SCI Khawatirkan Kekosongan Stok Barang di Pasar Tradisional - Ritel
ORBITINDONESIA.COM - Surat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang merilis penambahan waktu pelarangan truk sumbu 3 pada 20 Desember 2026 dari 11 hari menjadi 17 hari pada saat Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru 2025/2026) dikhawatirkan akan berdampak terhadap ketersediaan stok barang di pasar-pasar tradisional dan ritel. Hal itu disebabkan waktu pemberitahuan yang sangat mendadak dari Kemenhub.
Hal itu disampaikan Senior Consultant Supply Chain Indonesia, Sugi Purnoto. “Rilisnya kan baru dikeluarkan pada 20 Desember 2025, dan baru didistribusikan hari ini, 21 Desember 2025 kepada semua stakeholder. Artinya, para stakeholder itu tidak diberikan waktu untuk mempersiapkan diri terlebih dulu,” ujarnya, baru-baru ini.
Seperti diketahui, Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemenhub, Korlantas Polri dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebelumnya memutuskan pembatasan operasional truk sumbu 3 saat Nataru 2025/2026 itu selama 11 hari.
Pembatasan operasional berlaku pada periode 19–20 Desember 2025 pukul 00.00–24.00, 23–28 Desember 2025 pukul 00.00–24.00, dan 2–4 Januari 2026 pukul 00.00–24.00. Kemudian, pada rilis barunya, Kemenhub menambahkan pelarangan di tanggal 21-22 Desember 2026 pukul 00.00-24.00, dan 29 Desember 2025 sampai 1 Januari 2026 pukul 00.00-24.00.
Sementara, untuk jalan non tol yang sebelumnya pembatasan hanya diberlakukan pada 19–20 Desember 2025 (00.00–22.00), 23–28 Desember 2025 (05.00–22.00), 2–4 Januari 2026 (05.00–22.00), ditambah harinya pada 21-22 Desember 2025 (05.00-22.00) dan 29 Desember 2025 sampai 1 Januari 2026 (05.00-22.00).
Dia sangat menyayangkan kebijakan Kemenhub yang lebih mengakomodasi ASN bisa work from anywhere, sehingga akses untuk jalannya itu diprioritaskan untuk akses mobilisasi orang dibandingkan dengan mobilisasi logistik. Menurutnya, kebijakan Kemenhub ini sangat beresiko tinggi untuk kelancaran pemenuhan kebutuhan barang dan juga alur distribusi logistik untuk kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, penambahan aturan pelarangan truk sumbu 3 ini jelas akan menghambat jalur distribusi barang-barang consumer goods ke pasar-pasar tradisional dan ritel. “Barang-barang itu sangat dibutuhkan masyarakat setiap hari, dan sudah hampir sama dengan kebutuhan pokok. Nah, parameter ini yang harus dipahami juga seharusnya oleh pemangku kepentingan seperti Kemenhub,” katanya.
Lanjutnya, dalam pemahaman kemenhub dan korlantas itu bahwa kebutuhan pokok itu hanya sembako. “Tapi, bayangkan kalau masyarakat tidak ada sabun mandi, sabun cuci piring, pasta gigi, detergen, pembersih lantai, AMDK, dan kebutuhan rumah tangga lainnya, pasti akan terjadi kepanikan selain harganya juga pasti akan naik,” tuturnya.
Jadi, katanya, Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) itu juga seharusnya menjadi kebutuhan pokok di masyarakat. Untuk ritel, menurutnya, sampai malam Nataru saja masih dilakukan pengiriman barang seperti di pelabuhan. Karena, katanya, ritel seperti Alfamart dan Indomaret itu tidak ada liburnya. “Tanggal merah saja mereka masuk,” tuturnya.
Jadi, lanjutnya, kalau suplai barang ke gudang distributor (distribution center) dari pabrik tidak masuk karena adanya pelarangan terhadap truk sumbu 3, maka stok barang akan habis. Karena, menurutnya, kalau dari pabrik itu barang harus diangkut dengan truk besar. Sebab, katanya, kalau menggunakan truk dua sumbu biayanya sangat besar karena satu truk sumbu 3 itu ekuivalen dengan 5 unit truk sumbu 2. “Jadi, kalau memakai dua sumbu biayanya besar sekali, dan juga belum tentu tersedia juga dengan cepat,” tukasnya.
Dia menyampaikan bahwa distribution center perusahaan ritel itu hampir 100 persen menguasai bisnis di Indonesia. “Jika suplai barang ke distributor-distributor itu terhambat, maka suplainya ke tradisional trade atau ke pasar tradisional dan ritel juga terganggu, dan akan terjadi kekosongan stok barang. Jadi, aturan pelarangan ini pukulan berat bagi pengusaha ritel,” ujarnya.
Lagipula, menurutnya, kebijakan pelarangan truk sumbu 3 itu tidak bisa dilakukan secara mendadak. Hal itu disebabkan logistik dan supply chain itu merupakan aliran, aliran informasi, dan aliran uang. “Sekarang yang kita cover ini adalah aliran informasi dan aliran barangnya. Jadi, dengan posisi mendadak dari 11 hari menjadi 17 hari itu, bagi pemilik barang kan tidak ada gudang cadangan yang bisa simsalabim langsung tersedia dalam hitungan hari untuk mendapatkan space,” ucapnya.
Dia menegaskan bahwa alur awal pergerakan barang itu adalah dari pabrikan atau produsen. Kalau di produsen itu regular, hanya menampung 1 minggu atau maksimum 2 minggu, dan mereka setiap hari mesti keluar barangnya.
“Nah, ketika ada pelarangan selama 17 hari, mereka otomatis harus bertahan dari sekarang sampai 17 hari tidak bergerak. Sementara, produksi kan tidak boleh berhenti. Karena, kalau berhenti produksi, start up lagi dari engine-nya, dan itu biayanya sangat besar,” ungkapnya.
Kemudian, lanjutnya, bahan baku yang ada juga akan menumpuk. “Ini kan kita bicara bukan hanya di ujung saja, tapi kita bicara yang disebut dengan aliran supply chain. Karenanya, tambahan larangan yang terlalu lama itu akan menjadi masalah besar di industri,” tegasnya.
Jadi, katanya, yang dilakukan Kemenhub itu seharusnya bukannya penambahan pelarangan, tapi situasional atau pengaturan saja saja. Misalnya, meminta seluruh ASN itu, karena sudah diliburkan melakukan mobilisasi di pagi hari agar tidak mengganggu mobilisasi truk logistik. “Jadi, ASN-nya yang harus diatur, bukan malah menambah pelarangan terhadap truk sumbu 3,” tandasnya.
Menurutnya, lamanya pelarangan terhadap truk sumbu 3 saat Nataru 2025/2026 ini bisa mempengaruhi kekacauan distribusi barang saat Lebaran 2026 mendatang yang waktunya tidak lama lagi.
“Sekarang kan lagi persiapan juga untuk pemenuhan stok awal puasa Februari 2026 dan Lebaran pada Maret 2026 karena waktunya berdekatan dengan Nataru. Jadi, khusus bulan Desember tahun ini, itu sebenarnya juga sekalian untuk pemenuhan Nataru 2025/2026 dan sekaligus persiapan puasa dan Lebaran 2026,” katanya.***