Sastri Bakry: Review Pertunjukan Teater Nabila Karya Asrul Sani

Oleh Sastri Bakry

ORBITINDONESIA.COM - Tadi malam, 19 Desember 2025, di Gedung Kesenian Jakarta, saya berkesempatan menonton pertunjukan teater Nabila karya maestro Asrul Sani. Pertunjukan ini begitu memukau, menghadirkan pengalaman seni yang sarat makna. Terima kasih saya sampaikan kepada Jose Rizal Manua, sutradara prolifik yang tak pernah berhenti berkarya, atas undangannya. Meski saya datang jauh dari Padang, kerinduan akan teater berkelas membuat langkah ini terasa berharga.

Saya menonton bersama Dikdik Sadikin, akuntan sekaligus penulis yang tengah produktif, serta Armaidi Tanjung, sekretaris Satupena Sumbar. Kami menikmati pertunjukan lebih dari dua setengah jam tanpa sedikit pun merasa bosan.

Kisah Nabila mengangkat pengorbanan seorang istri yang bermartabat. Aktris utama berhasil memerankan tokoh Nabila dengan penuh penghayatan. Pertunjukan diawali sambutan Mutiara Sani, istri Asrul Sani, yang menuturkan pemikiran sang suami dan kecintaannya terhadap perempuan. Ia menyebut dirinya sebagai “mutiara sempurna” di sisi sang suami, menambah kesakralan acara malam itu.

Latar rumah bertingkat yang mewah, dipadu musik klasik yang berganti antara keras dan lembut, membuat penonton seolah masuk ke dalam cerita. Pencahayaan efektif turut memperkuat suasana penuh tanda tanya.

Cerita dimulai dengan asisten rumah tangga Nabila, diperankan Ati Cancer, menerima banyak parsel. Bel rumah yang terus berbunyi menandakan betapa banyak orang berusaha menjilat sang bos baru dengan gratifikasi. Malam hari, ketika suaminya pulang, Nabila harus menghadapi kenyataan: promosi jabatan sang suami di sebuah bank, yang bagi orang lain adalah berkah, justru terasa sebagai jerat utang budi.

Konflik memuncak ketika Saladin, suami Nabila, berniat memberhentikan Sumita, pejabat korup di kantornya. Sumita pernah membantu Nabila saat Saladin sakit parah, dengan utang besar yang disimpan sebagai rahasia. Kini Sumita menagih balas jasa, mengancam membuka rahasia itu jika tidak diberi jabatan.

Nabila yang bingung dan tertekan meminta suaminya tidak memecat Sumita demi keutuhan keluarga. Namun Saladin tetap bersikeras. Nabila kemudian berbagi keresahan kepada sahabatnya, Marta, yang ternyata pernah menjalin cinta dengan Sumita di masa lalu. Plot twist ini menambah kedalaman cerita, memperlihatkan bagaimana kemiskinan dan rahasia masa lalu membentuk jalan hidup para tokoh.

Asrul Sani menggambarkan perempuan sebagai sosok kuat dan bermartabat, sekaligus menggugat posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Menteri Pemberdayaan Perempuan, Arifatul Choiri Fauzi, yang hadir malam itu, memberikan apresiasi atas karya yang menempatkan perempuan sebagai pusat penghormatan.

Secara keseluruhan, Nabila adalah karya yang patut ditonton. Di tengah isu gratifikasi, korupsi, ketidakjujuran, dan stereotip perempuan, pertunjukan ini menghadirkan refleksi mendalam. Meski ada sedikit kelemahan teknis pada pencahayaan dan detail properti, hal itu tidak mengurangi kekuatan pesan yang disampaikan.

Saya mengakui, karya Asrul Sani sarat pesan moral dan filosofi kehidupan. Pertunjukan ini mengajarkan tanpa menggurui, menghadirkan ironi pengorbanan seorang istri yang layak direnungkan bersama.

Saya pulang dengan hati puas. Sebelum tidur, saya teringat kalimat Dr. Reza: “Yang menakutkan bukan maut itu sendiri, tetapi saat kita menyadari, maut akan menjemput tanpa kita mempersiapkan apa-apa.” ***