Denny JA: Tak Ada Kedaulatan Energi Tanpa Ekspansi Global

Refleksi Pertemuan dengan TotalEnergies, Maurel & Prom, dan PIEP di Paris, 3–10 Desember 2025

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Tahun 2008, sebuah kabar dari Wina mengguncang harga diri Indonesia.

Pemerintah mengumumkan penangguhan keanggotaan di OPEC, klub prestisius negara-negara penentu arah politik minyak dunia, karena kita tak lagi mampu memenuhi kuota produksi sendiri.

Bangsa yang dulu berdiri tegap sebagai eksportir minyak kini harus menunduk sebagai importir; memanggul ketergantungan berat di atas gelombang kapal-kapal tanker dari negeri jauh.

Itu bukan sekadar berita ekonomi; itu adalah pemberitahuan simbolis bahwa energi bangsa sebesar Indonesia sedang digenggam oleh tangan orang lain.

Hari itu, kita bercermin pada dunia, dan yang kita lihat bukanlah wajah yang gagal, melainkan wajah bangsa yang kehilangan kendali atas nasib energinya sendiri.

Sejak momen pahit itu, kita hidup dengan kenyataan yang berulang: harga minyak global bergejolak, rakyat Indonesia ikut terguncang; pasokan BBM dunia menipis, antrean panjang muncul di SPBU kita; geopolitik berubah, ekonomi nasional ikut tercekik.

Begitulah wajah sebuah bangsa yang tidak berdaulat energi: besar tubuhnya, tetapi napasnya masih bergantung pada orang lain.

Namun justru dari luka itulah lahir kesadaran yang mendalam: ketergantungan adalah bentuk kemiskinan paling sunyi.

Jika kita tidak berani mengubah arah, kita akan selamanya menjadi bangsa yang menunggu, bukan bangsa yang menentukan.

Dan di titik itu, tekad baru pun tumbuh: Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri. Bukan dengan slogan, tapi dengan strategi.

-000-

Perjalanan kami, saya dan tim, ke Paris pada 3–10 Desember 2025 memperkuat tekad itu.

Di permukaan, ia adalah rangkaian rapat: TotalEnergies, Maurel & Prom, dan Pertamina Internasional EP.

Namun sesungguhnya, ia adalah perjalanan batin; sebuah pencerahan yang hadir seperti kilat di langit malam.

Di ruang-ruang rapat berpanel kayu, di antara angka lifting, produksi harian, dan reserve replacement ratio, satu kebenaran bergema begitu kerasnya sehingga sulit diabaikan:

Tak ada kedaulatan energi tanpa ekspansi global.

Indonesia, dengan 279 juta jiwa, empat kali populasi Perancis, memikul kebutuhan energi yang terus meningkat. Tetapi cadangan domestik kita menipis.

Bila kita hanya mengandalkan apa yang tersimpan di perut bumi Nusantara, kita tidak akan pernah mengejar kebutuhan generasi berikutnya.

Kesadaran itu menampar dengan jernih:

1. Permintaan energi tumbuh jauh lebih cepat dari kemampuan produksi domestik.

Kita mengonsumsi lebih banyak daripada yang kita hasilkan.

2. Cadangan migas menurun, sementara dunia memasuki kompetisi eksplorasi yang makin tajam.

Diam berarti tertinggal; tertinggal berarti tergantung.

3. Energi bukan sekadar komoditas ekonomi; ia adalah alat geopolitik.

Yang menguasai pasokan, menguasai arena. Yang tidak, harus mengikuti agenda pihak lain.

Indonesia tak boleh selamanya berada di kursi penonton dalam panggung energi dunia.

-000-

Belajar dari TotalEnergies: Kedaulatan yang Dibangun di Luar Negeri

TotalEnergies berdiri pada 1924, lahir dari trauma Perang Dunia I.

Saat itu Perancis sadar bahwa ketergantungan energi membuat mereka rapuh di hadapan Amerika Serikat dan Inggris, yang menguasai ladang minyak dunia.

Maka mereka mengambil langkah yang radikal:

Jika tanah sendiri tak punya minyak, maka carilah minyak di seluruh dunia.

Seratus tahun kemudian, hasilnya berbicara dengan lantang:

* Hanya 1% produksi TotalEnergies berasal dari daratan Perancis.

* 99% sisanya berasal dari ekspansi global di lebih dari 130 negara.

Inilah kedaulatan energi model abad ke-21: bukan tentang memiliki sumur sendiri di rumah, tetapi tentang memiliki akses global terhadap energi, sehingga harga, pasokan, dan masa depan dapat dikendalikan oleh visi nasional, bukan oleh keadaan pasar.

TotalEnergies tumbuh besar bukan karena keberuntungan, tetapi karena visi panjang, disiplin finansial, keberanian mengambil risiko, dan kemampuan membaca geopolitik.

Dalam The Quest, Daniel Yergin menggambarkan bahwa setiap negara modern harus melihat energi seperti halnya mereka melihat pertahanan nasional.

Ini sesuatu yang tidak boleh hanya didukung oleh kekuatan dalam negeri, tetapi harus dipastikan melalui jejaring global. 

Ia menulis bahwa “keamanan energi adalah seni mengelola ketidakpastian,” dan negara-negara yang kuat adalah mereka yang berani memperluas pijakan mereka melampaui batas geografi. 

Pemikiran Yergin ini selaras dengan kenyataan bahwa kedaulatan energi tidak bisa bertumpu pada sumber domestik saja, tapi pada strategi global yang terukur.

Pertanyaan itu lalu muncul dalam diri saya: Jika Prancis bisa melakukannya seabad lalu, mengapa Indonesia tidak bisa memulainya sekarang?

-000-

Pertamina Hulu Energy (PHE) sesungguhnya memiliki kendaraan global yang strategis:

Maurel & Prom (M&P), perusahaan yang telah lama beroperasi di Afrika, Amerika Selatan, dan wilayah-wilayah jauh dari pusat energi tradisional.

M&P dapat menjadi jembatan emas ambisi Indonesia untuk membangun kedaulatan energi berbasis ekspansi global.

Tetapi ada syarat-syarat yang harus kita hadapi dengan jujur:

1. Memperkuat kapitalisasi secara serius.

Ekspansi global membutuhkan stamina finansial jangka panjang.

2. Membangun tata kelola kelas dunia.

Investor internasional hanya mempercayai proses yang bersih, transparan, dan efisien.

3. Mengisi organisasi dengan talenta berpengalaman global.

Kita membutuhkan orang yang pernah bernegosiasi di tiga benua, bukan hanya di tiga provinsi.

4. Kecepatan eksekusi.

Dunia M&A migas tidak menunggu negara yang lamban.

Peluang datang seperti gerhana: indah, langka, dan cepat hilang.

Jika PHE sungguh-sungguh ingin menjadikan M&P sebagai kendaraan global, syarat-syarat ini bukan pilihan; melainkan keharusan.

-000-

Untuk masuk gelanggang global, Pertamina, khususnya PHE, harus bertransformasi dengan berani:

1. Reformasi Keputusan Strategis

Dari birokrasi berlapis menjadi proses yang agile, tegas, dan terukur.

2. Reformasi Finansial

Membangun akses pendanaan yang fleksibel: 

bond issuance, private equity, sovereign wealth funds, hingga global partnerships.

3. Reformasi Budaya Organisasi

Dari kultur “pemerintah” ke kultur “perusahaan energi global”: efisien, cepat, dan berani mengambil risiko terukur.

4. Reformasi Digital & AI

Eksplorasi dan risiko harus dipandu data real-time, bukan intuisi lama.

Seperti dijelaskan Vaclav Smil dalam Energy and Civilization, setiap lompatan besar sejarah manusia selalu terjadi ketika sebuah peradaban berhasil menguasai aliran energinya.

Itu baik dengan mesin uap, listrik, hingga bahan bakar cair modern. Smil menekankan bahwa bangsa yang tidak mampu mengendalikan sumber energi mereka akan selalu berada dalam posisi reaktif, bukan proaktif. 

Pemikiran ini menggarisbawahi pentingnya transformasi kelembagaan: tanpa institusi yang tangguh dan teknologi yang maju, kedaulatan energi hanya akan menjadi ilusi.

Tanpa reformasi ini, PHE hanya akan menjadi raksasa domestik yang mengecil di panggung internasional.

Dengan reformasi, PHE dapat menjadi wajah baru Indonesia dalam diplomasi energi global.

-000-

Pada akhirnya, ini bukan hanya soal sumur minyak atau produksi harian. Ini adalah soal martabat bangsa.

Bangsa besar tak boleh berjalan menunduk dalam pasar energi dunia. Ia harus hadir dengan daya tawar, kemampuan, dan visi.

Perancis membangun kedaulatan energinya di luar negeri; Indonesia pun bisa.

Dan Indonesia harus.

Kedaulatan energi tidak pernah turun dari langit. Ia dibangun oleh visi jangka panjang, keberanian melampaui batas-batas geografis, dan kemauan untuk meninggalkan pola lama yang tak lagi relevan.

Jika langkah itu kita mulai hari ini, suatu hari anak cucu kita akan berdiri di tanah yang lebih tegar dan berkata:

“Merekalah yang pertama kali menolak ketergantungan, dan karena pilihan mereka, Indonesia akhirnya berdiri tegak.”

Paris, 9 Desember 2025

REFERENSI

1. Daniel Yergin (2011). The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World. Penguin Press.

2. Vaclav Smil (2017). Energy and Civilization: A History. MIT Press.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1DT2v8Ppnc/?mibextid=wwXIfr