Senator Termuda Australia, Charlotte Walker Pernah Jadi Korban Upaya Penipuan Bergambar di SMA

ORBITINDONESIA.COM - Senator Partai Buruh yang baru terpilih, Charlotte Walker, mengungkapkan bahwa ia pernah menjadi korban upaya penipuan bergambar (catfishing) di sekolah menengah atas oleh seorang teman sekolah yang mencoba meminta foto telanjangnya.

Perempuan berusia 21 tahun ini membagikan kisah pribadinya beberapa hari setelah larangan media sosial pertama di dunia untuk anak di bawah 16 tahun yang diberlakukan pemerintah Australia.

Kini, senator tersebut mengatakan bahwa siswa tersebut berpura-pura menjadi orang lain untuk mendapatkan foto telanjang dari dirinya dan teman-teman sekelasnya, tetapi mereka berdua menyadari bahwa orang tersebut bukanlah orang yang mereka klaim.

Mereka menyampaikan kekhawatiran tersebut kepada guru mereka dan akhirnya melapor ke polisi.

"Itu cukup meresahkan saat itu, seperti yang bisa Anda bayangkan," katanya.

Meskipun ia tahu sebagai orang dewasa hal itu seharusnya tidak memalukan, ia ingat pernah merasakan hal itu saat itu.

"Mungkin sulit bagi anak muda untuk mau bersuara ketika hal-hal seperti itu terjadi secara daring karena rasanya agak memalukan," katanya.

Kamar tidur tidak seaman yang dipikirkan orang tua.

Tidak seperti banyak rekannya di Gedung Parlemen, Senator Walker tumbuh besar dengan media sosial dan melihat sisi gelapnya dari dekat.

Pengalamannya menjadi salah satu alasan mengapa ia sangat yakin bahwa larangan yang akan diberlakukan ini merupakan cara untuk melindungi anak-anak dari bahaya daring.

"Tersembunyi di tempat tidur di malam hari dengan ponsel Anda ... hal-hal yang dapat dikirimkan kepada Anda dan interaksi yang dapat Anda lakukan dengan orang lain saat tidak ada yang mengawasi ... itu sangat berbahaya," katanya.

Senator Walker juga memahami tekanan yang dihadapi anak-anak untuk mendapatkan "skor snap" yang tinggi di Snapchat.

Di kalangan remaja, hal itu dipandang sebagai tanda popularitas dan dapat mendorong siswa untuk berteman dengan orang asing di aplikasi tersebut.

"Saya membuka Snapchat dari orang-orang yang tidak saya kenal dan itu adalah foto telanjang dari anak laki-laki yang lebih tua dari saya," kata Senator Walker.

"Masalahnya dengan Snapchat adalah foto-foto itu langsung terhapus, jadi saya pikir itu membuat banyak anak muda enggan untuk berbicara karena seringkali tidak ada bukti bahwa hal itu benar-benar terjadi."

Snapchat termasuk di antara aplikasi yang diwajibkan untuk memblokir akun anak di bawah 16 tahun, bersama Instagram, Facebook, TikTok, X, YouTube, Reddit, Twitch, Kick, dan Threads.

Remaja tidak yakin larangan akan berhasil

Undang-undang untuk menegakkan larangan kontroversial tersebut disahkan parlemen tahun lalu dengan dukungan bipartisan.

Namun, para ahli berpendapat bahwa penerapannya akan sulit dan berisiko menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan seperti mengisolasi anak-anak dari komunitas daring tertentu.

Menteri Komunikasi Anika Wells telah berulang kali mengakui bahwa larangan tersebut tidak akan langsung menjangkau semua anak, tetapi bersikeras bahwa ini tentang "mengawasi hiu".

Para remaja juga memiliki pendapat yang berbeda mengenai perlunya larangan tersebut dan apakah larangan tersebut akan efektif.

Sebuah survei besar yang diterbitkan awal pekan ini oleh BTN menunjukkan 70 persen responden tidak menganggap larangan tersebut sebagai ide yang baik.

Tiga mahasiswa relawan di stasiun radio komunitas SYN di Melbourne memiliki kekhawatiran yang sama, tetapi mengakui bahwa hal itu pada akhirnya dapat menghasilkan hasil yang positif.

Bernie Gloag, 15 tahun, dijadwalkan akan dikeluarkan dari media sosial, tetapi ia mengatakan ia berharap dapat mengakali pembatasan tersebut.

Ia juga berpendapat bahwa larangan tersebut bukanlah cara paling efektif untuk membuat aplikasi lebih aman.
"Mereka tidak perlu lagi memasang filter keamanan untuk orang di bawah 16 tahun, dan orang-orang tetap dapat mengakalinya," ujarnya.

Baru menginjak usia 16 tahun, Kayla Hong dan Bryce Good nyaris lolos dari pembatasan tersebut, tetapi mereka juga skeptis terhadap pentingnya hal tersebut.

Kayla mengatakan ia kebanyakan menggunakan Instagram untuk mencari berita dan terhubung dengan teman-teman, sementara Bryce mengatakan kehilangan Snapchat akan menjadi tantangan bagi banyak anak muda.

"Kebanyakan orang yang saya kenal hanya menggunakannya untuk berkomunikasi — Anda tidak meminta nomor telepon seseorang, Anda bertanya 'bagaimana saya bisa menghubungi Anda di Snapchat'," kata Bryce.

Namun, Kayla mengakui bahwa hal itu dapat membantu mengurangi beberapa tekanan sosial dan citra tubuh yang dihadapi anak muda secara daring dari teman sebaya dan influencer.

Media sosial masih perlu lebih aman

Skeptisisme juga tercermin dalam penelitian Dr. Kim Osman dari Universitas Teknologi Queensland yang memimpin tim pengumpulan data kualitatif dari hampir 90 mahasiswa di seluruh negeri.

Meskipun jumlah sampelnya kecil, terdapat kesamaan pendapat di antara responden bahwa alih-alih larangan, tindakan keras terhadap konten bisa lebih efektif.

"Mereka tidak ingin begitu saja dikeluarkan dari media sosial lalu kembali lagi beberapa tahun kemudian dan hasilnya tetap sama dan tidak ada yang berubah," kata Dr. Osman.

Banyak orang tua yang mendukung larangan tersebut berpendapat bahwa larangan tersebut akan membantu meningkatkan kesehatan mental anak-anak, tetapi Dr. Osman juga mencatat manfaat media sosial sebagai cara anak-anak terhubung, bersantai, dan belajar.

"Tanpa akses ke beberapa platform dan akun mereka, akan terjadi kehilangan komunitas dan koneksi yang nyata bagi kaum muda," katanya.***