Peran Air dalam Membentuk Sejarah, Budaya, Masyarakat, dan Ekonomi Asia Tenggara.

Peter Boomgaard (editor). A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press, 2007.

ORBITINDONESIA.COM - Buku ilmiah ini membahas peran air yang beragam dalam membentuk sejarah, budaya, masyarakat, dan ekonomi Asia Tenggara.

Koleksi interdisipliner ini menunjukkan bagaimana air—dalam berbagai bentuk mulai dari hujan monsun hingga rute perdagangan laut—telah berperan penting dalam memahami perkembangan Asia Tenggara, menantang para sejarawan untuk mempertimbangkan faktor geografis dan lingkungan di samping narasi politik dan budaya.

Para kontributor mengkaji topik-topik termasuk peran geografi dalam sejarah Asia Tenggara, perampasan dan pembajakan maritim, sistem irigasi, hak dan konflik air, penyakit yang ditularkan melalui air, dan polusi air.

Beberapa bagian mengkaji berbagai aspek air: Bentang air, bahaya laut dan air, air untuk pertanian, dan air murni dan tidak murni/kesehatan dan penyakit. Juga, eksplorasi air selain sebagai sumber kehidupan (untuk perdagangan, pertanian, air minum) maupun sebagai elemen yang mematikan (badai, banjir, penyakit, pembajakan).

Konteks deforestasi dan kolonialisme dapat dipahami melalui beberapa dimensi yang tersirat dalam pembahasan tentang pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Meskipun tidak secara eksplisit membahas deforestasi modern, namun Eksploitasi Hutan Tropis sebagai Warisan Kolonial memiliki konteks jelas dengan pola eksploitasi sumber daya yang dimulai pada era kolonial.

Buku ini mengidentifikasi bahwa perubahan besar-besaran dalam pengelolaan air dan hutan dimulai pada era kolonial. Ketika Belanda tiba di Jawa sekitar 1600, mereka segera mulai memanipulasi aliran air melalui konstruksi kanal, meskipun pada awalnya masih menggunakan teknologi lokal Jawa.

Namun, setelah 1850, sistem irigasi skala besar dibangun negara kolonial dengan teknologi Barat, yang secara fundamental mengubah lanskap dan pola pertanian. Perubahan ini bukan hanya teknis, juga politis: sistem irigasi kolonial memaksa petani untuk menanam padi di musim basah, menghilangkan fleksibilitas pertanian tradisional yang  mencerminkan bagaimana kolonialisme mengatur ulang hubungan manusia dengan air dan lahan.

Penekanan topik "kemudahan akses maritim" yang membuat Asia Tenggara rentan terhadap kontrol eksternal menunjukkan bagaimana geografis menjadi takdir dalam konteks kekuatan imperial.

Struktur ekonomi yang dibangun kolonial —di mana sumber daya alam dieksploitasi untuk keuntungan metropolis—menciptakan fondasi bagi degradasi lingkungan jangka panjang . 

Buku menyatakan bahwa perdagangan maritim membawa "kemakmuran atau kehancuran" dan membuka wilayah terhadap pengaruh luar yang tidak selalu menguntungkan.

Modernisasi Pasca-Kolonial dan Krisis Air dengan dimensi paling relevan adalah bagaimana warisan kolonial melanjutkan pola eksploitasi melalui ideologi modernisasi post-colonialism beberapa negara:

Mencatat polusi industri modern mengubah sungai dari sumber kehidupan menjadi ancaman kesehatan, terutama di area urban kota-kota besar di Asia tenggara.

Dampak kontinuitas dari ekstraksi sumber daya: jika pada era kolonial hutan dan air dieksploitasi untuk ekspor, pada era modern eksploitasi berlanjut melalui industrialisasi yang menciptakan polusi air. 

Sistem irigasi skala besar yang dibangun kolonial kemudian diperkuat oleh negara pasca-kolonial, menciptakan apa yang disebut buku sebagai "negara hidraulik modern" .

Buku ini cukup kontekstual, jika melihat negara kita saat ini sedang dilanda "bencana terkait air," seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. ***