Republik Demokratik Kongo dan Rwanda Lihat Peluang 'Bersejarah' untuk Perdamaian dalam Kesepakatan yang Ditengahi AS

ORBITINDONESIA.COM - Republik Demokratik Kongo dan Rwanda siap menandatangani perjanjian damai yang signifikan di Washington, DC, sebuah peristiwa yang diharapkan kedua negara akan menandai titik balik dalam mengakhiri konflik yang telah berlangsung puluhan tahun.

Presiden Kongo Felix Tshisekedi dan Presiden Rwanda Paul Kagame tiba di Amerika Serikat pada hari Rabu, 3 Desember 2025 untuk upacara penandatanganan pada hari Kamis, 4 Desember 2025, yang akan menyelesaikan kesepakatan yang ditengahi oleh Presiden AS Donald Trump.

Perjanjian ini, yang merupakan puncak dari diplomasi yang dipimpin AS selama berbulan-bulan, bertujuan untuk mengatasi akar penyebab kekerasan di Republik Demokratik Kongo timur yang telah menewaskan ribuan orang dan membuat jutaan orang mengungsi.

Kejelasan tentang kedaulatan dan hak mineral

Kekhawatiran utama Republik Demokratik Kongo adalah memastikan pakta tersebut tidak membahayakan kedaulatan nasional atau kendali atas sumber daya mineralnya yang melimpah, termasuk kobalt, tembaga, dan koltan.

Juru bicara Presiden Tshisekedi, Tina Salama, secara eksplisit menanggapi kekhawatiran ini sebelum penandatanganan.

"Perjanjian ini menegaskan kembali kedaulatan penuh Kongo atas wilayahnya, serta kendali eksklusifnya atas eksploitasi dan pemrosesan mineral. Tidak ada penjualan," ujarnya kepada para wartawan.

Klarifikasi ini bertujuan untuk menghilangkan kekhawatiran domestik bahwa proses perdamaian mungkin melibatkan konsesi atas sumber daya strategis negara.

Jalan menuju akhir permusuhan dan pembangunan kembali

Para pejabat Kongo membingkai perjanjian tersebut sebagai peta jalan komprehensif menuju stabilitas. Salama menekankan bahwa perjanjian ini diharapkan dapat mengakhiri konflik bersenjata, menstabilkan provinsi-provinsi timur yang terdampak, dan merevitalisasi perekonomian lokal.

Menteri Komunikasi Patrick Muyaya menyatakan bahwa penghentian semua permusuhan dan penarikan semua pasukan asing dari wilayah Kongo merupakan faktor terpenting untuk mencapai perdamaian abadi.
Konflik yang meningkat drastis pada tahun 2021 dengan kebangkitan kelompok pemberontak M23 telah membuat Kinshasa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh Rwanda mendukung para militan—sebuah tuduhan yang dibantah Kigali.

Optimisme yang Hati-hati dan Peran Mediasi Eksternal

Meskipun DRC menyampaikan kesepakatan tersebut dengan optimisme yang jelas, respons Rwanda lebih terukur.

Juru bicara pemerintah Rwanda, Yolande Makolo, menggambarkan pemerintahannya sebagai "optimis yang hati-hati," dan mengatakan kepada NewsMax bahwa kesepakatan tersebut merupakan "peluang terbaik untuk perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran" bagi kedua negara dan kawasan Great Lakes yang lebih luas.

Upaya mediasi, yang awalnya melibatkan Qatar sebelum dipelopori oleh AS, menyoroti dimensi internasional yang kompleks dari konflik tersebut.

Bagi negara-negara seperti Turki, yang mengadvokasi penyelesaian konflik secara damai dan stabilitas di Afrika, kesepakatan yang berhasil akan menjadi perkembangan yang disambut baik, yang berpotensi membuka jalan baru bagi kerja sama ekonomi regional dan bantuan kemanusiaan.***