Banjir Bandang dan Longsor Sumatra Akibat Keserakahan Manusia

Oleh Dr. Ir. Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor

ORBITINDONESIA.COM - Pulau Sumatra kembali berkabung. Dalam dua pekan terakhir, rangkaian banjir bandang dan longsor menghantam Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Laporan terbaru per hari ini menyebut 316 jiwa meninggal dunia, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, sementara ribuan warga terpaksa mengungsi ke lokasi-lokasi darurat yang serba kekurangan. Deru hujan dan lumpur kini menyisakan sunyi, meninggalkan pertanyaan penting: mengapa bencana ini begitu mematikan?

Curah Hujan Ekstrem dan Siklon Tropis Senyar

BMKG mencatat curah hujan di sejumlah wilayah Sumatra mencapai 150–300 milimeter, masuk kategori ekstrem. Sumatra tengah memang sedang berada pada puncak musim hujan. Menurut Dr. Muhammad Rais Abdillah, pakar meteorologi ITB, pola hujan tahunan di wilayah utara dan tengah memuncak pada periode ini, menghasilkan hujan berkepanjangan.

Kondisi tersebut diperburuk oleh sirkulasi siklonik yang berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di sekitar Selat Malaka. Meski tidak sekuat siklon-siklon besar di Samudera Hindia, sistem ini cukup untuk memicu pembentukan awan hujan masif yang mengguyur Aceh, Sumut, dan Sumbar tanpa jeda. Kombinasi fenomena skala meso dan sinoptik—dari vortex hingga hembusan angin utara pembawa uap air—menjadikan cuaca di Sumatera berada pada titik paling rawan.Namun, cuaca ekstrem bukan satu-satunya penyebab bencana ini berubah menjadi tragedi kemanusiaan.

Ketika Tanah Tak Lagi Mampu Menyerap Air

Di banyak wilayah yang terdampak, air bah datang terlalu cepat. Banjir tak lagi mengikuti pola lama ketika sungai meluap secara bertahap. Kini air seakan langsung melompat dari lereng ke permukiman. Fenomena ini, menurut Dr. Heri Andreas dari ITB, adalah tanda jelas bahwa daya tampung lingkungan telah runtuh.

Infiltrasi—kemampuan tanah menyerap air—turun drastis akibat maraknya alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, permukiman, serta area tambang. Ketika tutupan hutan hilang, hujan tak lagi tertahan akar pepohonan. Air langsung menjadi limpasan (runoff) dan bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi, membawa lumpur, bebatuan, bahkan batang pohon besar.

“Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan,” ujarnya. Hasilnya, hujan ekstrem yang dulu masih bisa ditoleransi, kini langsung berubah menjadi banjir bandang yang meratakan apa pun di depannya.

Jejak Panjang Kerusakan Lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bencana ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan buah dari kerusakan lingkungan yang sistematis sejak satu dekade terakhir. Di Aceh, Walhi mencatat deforestasi mencapai 130.743 hektare dalam periode 2015–2022, sementara kemampuan reforestasi hanya sekitar 785 hektare per tahun — lubang defisit ekologis yang mustahil dikejar.

Sumatera kini dibebani izin konsesi dalam skala besar: Izin usaha pertambangan 2,4 juta hektar; izin HGU kelapa sawit 2,3 juta hektar;  dan izin sektor kehutanan 5,6 juta hektar

Lebih ironis lagi, sekitar 3,3 juta hektar sawit ilegal di kawasan hutan dilegalkan melalui kebijakan pengampunan (amnesty). Banyak kawasan konservasi seperti Taman Nasional Leuser, Batang Toru, hingga hulu DAS penting di Aceh Tengah dan Sumbar terus tergerus.Dengan kondisi semacam ini, bencana sesungguhnya hanya menunggu waktu.

Masyarakat di Ujung Krisis

Di desa-desa yang terdampak, kisah kehilangan bertebaran. Banyak yang gagal menyelamatkan diri karena aliran air datang tanpa peringatan. Ribuan orang kini tinggal di tenda-tenda pengungsian, menghadapi ancaman baru: penyakit, kekurangan air bersih, serta kelangkaan pangan.

Relawan yang turun ke lapangan menggambarkan situasi yang “terburuk dalam sepuluh tahun terakhir.” Banyak sungai berubah warna menjadi coklat pekat, memperlihatkan betapa rapuhnya tutupan tanah di hulu. Bahkan ruas-ruas jalan nasional tertimbun material longsor sepanjang puluhan meter, memutus aliran logistik dan evakuasi.

Perlu Penataan Ruang dan Penegakan Hukum yang Tegas

Para ahli sepakat bahwa mitigasi cuaca ekstrem hanya efektif jika dibarengi penataan ruang berbasis risiko, pemulihan kawasan hutan, serta pembatasan ketat terhadap konsesi. Walhi mendesak pemerintah:

1. Stop total penerbitan izin baru untuk industri ekstraktif.

2. Penegakan RTRW yang mewajibkan minimal 30% kawasan hutan.

3. Penguatan KLHS dan analisis kerawanan bencana dalam setiap perizinan.

4. Peningkatan anggaran reforestasi, yang saat ini hanya mampu merehabilitasi 36.000 hektare per tahun—jauh dari kebutuhan 270.000 hektare deforestasi 2024.

Selain itu, Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (PKH) dan aparat penegak hukum diminta menyelidiki konsesi-konsesi yang diduga berperan besar terhadap terjadinya bencana.

Bencana yang Bukan Lagi Alamiah

Kesedihan di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah potret nyata bagaimana keserakahan manusia memperparah dampak perubahan iklim. Hujan deras mungkin tak bisa dihentikan. Siklon mungkin tak bisa dicegah. Tetapi kerusakan hutan, pertambangan tanpa kendali, dan kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan adalah pilihan manusia—dan kini masyarakatlah yang menanggung akibatnya.

Jika tidak ada perubahan menyeluruh, tragedi serupa hanya menunggu giliran. Sumatera, yang dulu dikenal sebagai pulau hijau dengan hutan-hutan megah, kini berada pada persimpangan penting: memulihkan alam, atau merelakan bencana menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. ***