Tafsir al-Baqarah Ayat 189: Filsafat Waktu dan Kejujuran
Oleh Ali Samudra*
ORBITINDONESIA.COM - Ada ayat dalam Al-Qur’an yang tidak hanya menjelaskan sebuah fenomena alam, tetapi merumuskan ulang cara manusia memahami hidup, waktu, dan integritas. Ayat itu adalah Surat Al-Baqarah ayat 189.
Sekilas ia tampak seperti dua tema yang tidak berhubungan: pertanyaan tentang hilal dan larangan memasuki rumah dari arah belakang. Namun jika ditelusuri lebih dalam—melalui sejarah turunnya, tafsir para mufasir besar, dan renungan filosofis—ayat ini ternyata menyimpan pemandu jalan bagi manusia: bagaimana memahami waktu dengan benar dan bagaimana bersikap jujur dalam menjalani hidup.
Ayat ini hadir bukan untuk menjelaskan astronomi, bukan untuk mengatur arsitektur rumah, dan bukan pula komentar acak tentang kebiasaan Arab. Ayat ini hadir untuk mengganti ritualisme kosong dengan takwa, mengganti jalan belakang dengan jalan terang, mengganti simbolisme yang menipu dengan kejujuran moral.
Asbabun Nuzul: Ketika Ritual Memenjara Akal
Menurut riwayat sahih, masyarakat Arab memiliki kebiasaan aneh ketika memasuki rumah saat mereka sedang ihram. Mereka menganggap pintu depan sebagai “urusan duniawi”, sementara bagian belakang rumah—yang biasanya digunakan untuk menaruh barang atau tempat keluarnya hewan—dianggap lebih “suci” bagi orang ihram. Mereka memasuki rumah melalui dinding belakang, atau membuat lubang khusus, untuk menunjukkan kesalihan yang dianggap lebih tinggi.
Tradisi itu berlangsung turun-temurun. Seorang lelaki dari Bani ‘Amr bin ‘Auf, yang suatu hari masuk rumah melalui pintu depan, ditegur oleh kaumnya. Ia pun bertanya kepada Rasulullah. Di sinilah ayat ini turun: membongkar mitologi ritual yang tidak memiliki dasar nilai, manfaat, maupun akal sehat.
Pesan tegas ayat ini: Kesalehan tidak bertempat pada simbol. Kesalehan bertempat pada takwa.
Hilal dan Kesadaran Waktu
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan yang sangat kosmik: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal.” Hilal, bulan sabit di langit, bukan sekadar dekorasi malam. Ia adalah sistem kalender, penanda waktu bagi ibadah dan kehidupan.
Hilal selalu menua dan terlahir kembali. Ia tipis di awal bulan, membesar, kemudian hilang. Siklus itu mengajarkan bahwa waktu bukan sesuatu yang diam; waktu bergerak, memanggil, menuntut manusia untuk mengerti ritme kehidupan.
Dalam penjelasan Ibn Kathir, hilal adalah tanda untuk: Puasa Ramadan, Hari Raya, Haji, Masa Iddah, waktu Akad, Transaksi dan Sewa, bahkan waktu pembayaran zakat.
Dengan kata lain, seluruh struktur ibadah Islam berdiri di atas kesadaran waktu.
Di sini kita melihat titik awal filsafat waktu dalam Qur’an: manusia tidak menciptakan waktunya sendiri. Ia hidup dalam ritme kosmos yang telah Allah tetapkan. Untuk hidup benar, ia harus mengikuti ritme itu.
Ar-Razi: Filsafat Pengetahuan dan Moralitas
Fakhruddin Ar-Razi membaca ayat ini dengan kacamata filosofis. Menurutnya, Allah memulai ayat dengan pembahasan hilal untuk menata pengetahuan manusia. Hilal adalah jalan memahami kosmos, dan kosmos adalah gerbang memahami Tuhan.
Kemudian Allah beralih kepada etika: “Masuklah rumah dari pintu-pintunya.” Ar-Razi menekankan bahwa ini bukan sekadar adab, tetapi metafora universal bagi seluruh perjalanan hidup. Menurut Ar-Razi: Segala urusan memiliki pintunya. Kebenaran hanya dapat dicapai melalui jalan yang benar.
Mencari ilmu pun memiliki pintu: kesabaran dan kerendahan hati.
Memimpin memiliki pintu: amanah.
Ibadah memiliki pintu: ketulusan niat.
Rezeki memiliki pintu: kerja keras yang jujur.
Masuk rumah dari belakang adalah simbol jalan pintas, manipulasi, ritualisme tanpa nilai, dan epistemologi yang bengkok.
Ibn Kathir: Membersihkan Ibadah dari Tradisi Kosong
Dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Ibn Kathir menjelaskan ayat ini dengan pendekatan riwayat. Ia menegaskan bahwa Islam datang untuk membersihkan ibadah dari tradisi yang tidak berdasar. Ritual masuk rumah dari belakang bukan perintah Allah. Tidak membawa manfaat. Tidak mengandung hikmah. Tidak menambah ketakwaan. Itu hanyalah kebiasaan yang dianggap suci.
Ibn Kathir menegaskan pesan ayat: Kebaikan tidak lahir dari bentuk, tetapi dari takwa.
Al-Qurtubi: Sembilan Makna di Balik Pintu
Al-Qurtubi memberikan penjelasan paling panjang. Ia menyebut bahwa “masuk dari pintu” memiliki sembilan makna, di antaranya:
1. mengikuti jalur yang lazim,
2. menghindari tindakan sia-sia,
3. meninggalkan ritual yang tidak berdasar,
4. menghargai akal sehat,
5. menjaga adab,
6. mengikuti metode yang benar,
7. menghindari tipu daya,
8. menjauhi syiar jahiliyah,
9. dan meluruskan niat dalam ibadah.
Dengan demikian, ayat ini bukan komentar kecil tentang pintu rumah, melainkan kritik besar terhadap gaya beragama yang mengagungkan kulit tanpa isi.
Makna Filosofis: Konvergensi Kosmos – Ibadah – Moral
Ayat ini adalah jembatan antara tiga dimensi:
1. Dimensi kosmik: hilal sebagai ritme hidup
Ayat memulai dengan kalender, kosmos, dan pengetahuan tentang bulan. Allah sedang mengajar manusia bahwa hidup terikat pada ritme kosmik yang teratur.
2. Dimensi ibadah: haji sebagai puncak disiplin waktu
Haji memiliki “bulan-bulan yang diketahui”. Artinya, ibadah agung pun tunduk pada sistem waktu.
3. Dimensi moral: pintu sebagai simbol kejujuran
Allah menutup ayat dengan pesan moral: jangan memakai jalan pintas. Jangan mencari legitimasi kesalehan lewat tindakan simbolik.
Takwa adalah inti. Bukan simbol.
Jalan Belakang: Metafora Kecurangan Modern
Jika pada masa Nabi jalan belakang adalah tradisi jahiliyah, dalam dunia modern jalan belakang bermetamorfosis menjadi: korupsi, manipulasi politik, pencitraan agama, bisnis curang, plagiarisme, sertifikasi palsu, dan segala bentuk jalan pintas yang menghalalkan cara.
Ayat ini hadir untuk menghapuskan mentalitas itu. Untuk mengingatkan: Berjalanlah dari pintu yang terang—meski lambat. Jangan dari pintu belakang—meski cepat.
Penutup
Al-Baqarah ayat 189 adalah ayat yang merangkum hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan ibadah, dan hubungan manusia dengan integritas moralnya.
Ia mengajarkan: kosmos yang teratur, ibadah yang disiplin, moralitas yang jujur.
Dan dari ketiga unsur ini lahirlah satu kalimat pendek namun tegas:
“Masuklah rumah melalui pintu-pintunya.”
Kalimat itu adalah perintah moral, epistemologis, spiritual, sosial, dan filosofis.
Ayat ini mengajak manusia untuk hidup benar, berpikir benar, bekerja benar, dan beribadah dengan benar. Ini adalah ayat tentang waktu, dan ayat tentang kejujuran. Dan itulah inti hidup.***
Pondok Kelapa, 20 November 2025
REFERENSI:
1. Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm – Ibn Kathīr, Dār Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tawzīʿ, Riyadh (Kairo), Edisi: Cetakan Kedua, 1999 M / 1420 H.
2. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb (al-Tafsīr al-Kabīr), Vol. 5 (Beirut: Dār al-Fikr, 1993)
3. Al-Jāmiʿ li Aḥkām al-Qurʾān – Abū ʿAbd Allāh al-Qurṭubi, Dār al-Risālah al-ʿĀlamiyyah, Beirut. Edisi: Cetakan Kritis 24 Jilid, 2006 M / 1427 H.
*Ali Samudra, Pembina Masjid Baitul Muhajirn Pondok Kelapa - Jakarta Timur. Tulisan ini merupakan pengantar diskusi ba'da Salat Jum'at, 21 November 2025 Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur. ***