Antara Jasa dan Luka: Menimbang Status “Pahlawan Nasional” untuk Soeharto
Oleh Satrio Arismunandar
ORBITINDONESIA.COM - Setiap tahun Indonesia menambah daftar pahlawannya. Begitu juga pada 2025 ini. Namun di balik deretan nama yang belum lama ini telah disahkan negara, ada satu sosok yang mengganjal dan saat ini terus menjadi perdebatan panjang: Soeharto. Apakah penguasa Orde Baru itu layak diberi gelar Pahlawan Nasional?
Harus diingat bahwa di Indonesia, politik penetapan “pahlawan nasional” tak sepenuhnya netral. Ia adalah cermin tarik-menarik antara idealisme sejarah, kebutuhan simbolik negara, dan kepentingan politik sesaat.
Sering kali proses penetapan pahlawan melibatkan kalkulasi politik. Contohnya, pengakuan terhadap Soekarno dan Hatta baru terjadi bersamaan pada 1986, lebih dari satu dekade setelah keduanya wafat.
Pemerintah Orde Baru kala itu menahan pemberian gelar untuk Soekarno karena citranya yang masih dianggap berseberangan dengan rezim. Ketika hubungan politik mulai “dingin tapi stabil,” barulah pengakuan formal diberikan. Ini menandakan bahwa kepahlawanan bisa ditentukan oleh suhu politik, bukan hanya jasa.
Representasi Wilayah dan Identitas
Negara berupaya meratakan narasi nasional. Maka muncul pahlawan dari Aceh (Cut Nyak Dhien), Maluku (Pattimura), hingga Papua (Frans Kaisiepo). Tujuannya bukan sekadar sejarah, tapi juga simbol integrasi.
Di sini, kepahlawanan menjadi alat diplomasi internal—membangun rasa “termasuk” bagi tiap daerah dalam proyek kebangsaan. Namun kadang juga bersifat politis: penetapan pahlawan dari daerah bergejolak bisa dimaknai sebagai strategi merangkul sekaligus menegaskan kedaulatan.
Kepahlawanan juga menjadi arena pertarungan ideologi. Tokoh-tokoh kiri seperti Tan Malaka baru diakui secara resmi pada 1963, tetapi kemudian “dibungkam” dalam wacana publik pasca-1965 karena stigma komunisme. Baru belakangan muncul wacana rehabilitasi historis. Hal ini menunjukkan bagaimana politik memori berlapis waktu dan kuasa.
Setiap rezim berusaha “menciptakan” pahlawan yang sesuai dengan zamannya. Era Soekarno menonjolkan pejuang kemerdekaan; Orde Baru mengangkat figur militer dan pembangunan; kini muncul dorongan untuk menampilkan pahlawan di bidang kemanusiaan, pendidikan, dan kebudayaan—sejalan dengan nilai demokrasi dan pluralisme. Artinya, makna “pahlawan” bergeser dari keberanian fisik menuju moralitas dan kontribusi sosial.
Terlalu Birokratis dan Elitis
Banyak sejarawan menilai proses formal negara dalam menetapkan “pahlawan nasional” masih terlalu birokratis dan elitis. Penilaian terpusat di Jakarta, dominan oleh versi resmi sejarah.
Padahal di tingkat lokal, banyak figur yang berjasa tanpa tercatat—pahlawan lingkungan, tokoh adat, atau perempuan yang membangun komunitasnya tanpa publikasi. Jika negara mau memperluas definisi pahlawan, maka penghargaan bisa mencerminkan keragaman bentuk perjuangan bangsa ini di era modern.
Bisa dibilang, Indonesia sedang bergerak dari kultus heroik menuju etika kepahlawanan. Bukan lagi siapa yang mati di medan perang, tapi siapa yang menjaga nurani bangsa tetap hidup. Pertanyaan ini menembus batas politik dan sejarah. Ia menguji cara kita menilai masa lalu — apakah dengan hati yang kritis, atau dengan ingatan yang selektif.
Soeharto dan Warisan Pembangunan
Tidak bisa dipungkiri, selama Orde Baru, Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 7% per tahun, kemiskinan menurun drastis, dan infrastruktur dasar seperti SD Inpres meluas hingga pelosok. Di bawah doktrin “pembangunan nasional,” Soeharto berhasil menata ulang birokrasi, memodernisasi TNI, dan menjaga integritas wilayah di tengah gejolak regional.
Bagi sebagian kalangan, Soeharto dianggap pantas menyandang gelar pahlawan nasional karena perannya dalam stabilisasi negara pasca-1965 dan pembangunan ekonomi selama tiga dekade. Bagi pendukungnya, ia mewujudkan ketertiban dan keberlanjutan negara — dua hal yang amat berharga bagi bangsa yang baru pulih dari kekacauan politik 1960-an.
Dalam tiga dekade kekuasaan, ia membangun negara yang bekerja — birokrasi teratur, militer kuat, dan kebijakan ekonomi terpusat. Bagi banyak warga, terutama generasi tua, masa Orde Baru adalah masa ketika harga bahan pokok stabil dan kehidupan terasa terjamin. Itulah sebabnya, sebagian kalangan masih melihat Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Namun, sejarah tidak berhenti pada angka pertumbuhan. Warisan Orde Baru juga dibayangi represi politik, korupsi sistemik, pelanggaran HAM, dan penyumbatan kebebasan sipil. Di balik stabilitas era Orde Baru itu, tersimpan represi dan ketakutan yang sistematis. Puluhan ribu orang dibunuh atau dipenjara tanpa proses hukum pasca-1965.
Banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di era Soeharto. Pembunuhan di luar hukum, pembungkaman oposisi, serta kekerasan di Timor Timur, Papua, dan Aceh, semua itu meninggalkan luka kolektif yang belum sepenuhnya pulih.
Selain itu, di lingkaran keluarga dan kroninya, korupsi terstruktur tumbuh menjadi sistem ekonomi tersendiri. Konsentrasi kekuasaan dan ekonomi di lingkaran keluarga serta kroninya dianggap bertentangan dengan semangat kejujuran dan keadilan sosial yang menjadi dasar nilai kepahlawanan. Bagi banyak korban dan generasi reformasi, memberi gelar “pahlawan nasional” kepada Soeharto dianggap bentuk amnesia moral negara.
Soeharto memang membangun ekonomi, tetapi ia juga melanggar HAM dan menindas kebebasan. Ia menata negara, namun meniadakan ruang bagi perbedaan. Pertanyaannya: apakah pembangunan dapat memutihkan pelanggaran atas kemanusiaan?
Pentingnya Integritas Moral
Secara hukum, pahlawan nasional harus memiliki integritas moral, tidak mencederai kedaulatan bangsa, dan memberi teladan bagi generasi mendatang. Pahlawan sejati bukan hanya yang membangun negara, tapi yang menjaga kemanusiaan di dalamnya. Maka, wajar bila status Soeharto menjadi dilema: ia memenuhi syarat “berjasa besar”, namun gagal pada syarat “keteladanan moral”.
Bandingkan dengan Korea Selatan yang juga punya figur serupa: Park Chung-hee, diktator pembangunan yang mengubah ekonomi negaranya pada 1960-70-an. Hingga kini, pemerintah Seoul tak pernah mengangkatnya sebagai pahlawan — hanya sebagai tokoh sejarah yang berperan besar, dengan segala kontroversinya.
Begitu pula Spanyol terhadap Jenderal Franco. Negara memilih untuk mengingat dengan kritis, bukan mengagungkan. Franco tetap dikecam, meski pengikutnya menganggapnya sebagai penyelamat bangsa dari komunisme. Negara seperti Korea Selatan dan Spanyol ini memilih ambiguitas produktif — mengakui jasanya, tetapi tidak mengabadikannya sebagai simbol moral.
Barangkali Indonesia dapat menempuh jalur yang sama: menempatkan Soeharto bukan sebagai simbol moral, melainkan sebagai tokoh sejarah besar — seseorang yang jasanya nyata, namun luka menganga yang disebabkan olehnya pun tak bisa disangkal.
Memberi Soeharto gelar “pahlawan nasional” justru berisiko menumpulkan ingatan publik tentang otoritarianisme, korupsi, dan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah kekuasaannya. Bangsa yang dewasa tidak menutup masa lalunya dengan upacara, melainkan menghadapinya dengan jujur.
Soeharto layak dikenang — tapi bukan untuk dimuliakan tanpa kritik. Ia adalah pelajaran besar: tentang kekuasaan, pembangunan, dan bahaya menukar kebebasan dengan stabilitas.
Alih-alih menobatkannya sebagai pahlawan nasional, Soeharto mungkin lebih layak diposisikan sebagai figur sejarah besar — seseorang yang membentuk arah bangsa, dengan segala kontradiksi dan konsekuensinya. Ia bagian dari narasi nasional, tetapi bukan panutan moral.
Pengakuan seperti ini membuka ruang jujur bagi bangsa Indonesia untuk belajar dari kompleksitas, bukan menutupinya dengan gelar suci. Kalimat yang sering dipakai sejarawan untuk menjelaskan posisi seperti ini sederhana tapi tajam: “Ia berjasa besar bagi negara, tapi tidak seluruh tindakannya suci.”
Depok, 13 November 2025
*Satrio Arismunandar adalah penulis buku dan Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA. Pernah menjadi wartawan Harian Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Majalah Aktual, dan Aktual.co.
Kontak/WA: 081286299061. Email: sawitriarismunandar@gmail.com