Denny JA: Mengapa Sutardji Calzoum Bachri Layak Menerima Satupena Lifetime Achievement Award 2025

Oleh Denny JA

(Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA)

ORBITINDONESIA.COM - Ketika tim juri menyampaikan tiga nama yang layak mendapatkan Satupena Lifetime Achievement Award 2025, salah satunya adalah Sutardji Calzoum Bachri, saya langsung teringat pada potongan puisinya:

“Tanah air mata

tanah tumpah dukaku

mata air airmata kami

airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri

menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu

kami simpan perih kami

di balik etalase megah gedung-gedungmu

kami coba sembunyikan derita kami.”

(Sutardji Calzoum Bachri, “Tanah Air Mata”, 1991)

Saat pertama kali membaca puisi ini, di tahun 1991, saya masih bergelora sebagai aktivis politik. 

Sikap kritis terhadap negara begitu kuat mengalir dalam darah saya. Namun setelah membaca puisi Sutardji, saya sadar: kritik tidak harus lantang untuk menjadi dalam. 

Di tangan Sutardji, bahasa menjadi jembatan antara luka sosial dan kebijaksanaan batin.

Lihatlah lanjutan puisinya yang kuat itu:

“Namun kalian takkan bisa menyingkir

ke manapun melangkah

kalian pijak airmata kami

kemanapun terbang

kalian kan hinggap di air mata kami

kemanapun berlayar

kalian arungi airmata kami

kalian sudah terkepung

takkan bisa mengelak

takkan bisa ke mana pergi

menyerahlah pada kedalaman air mata.”

-000-

Saya pun mengonfirmasi pilihan para pengurus SATUPENA yang bersepakat memilih satu nama dari tiga rekomendasi juri.

Tak banyak penyair yang mampu mengubah bukan hanya wajah puisi, melainkan juga cara bangsa ini memandang bahasa. 

Sutardji bukan sekadar penulis kata, tetapi pembebas kata. Dalam tangannya, bahasa Indonesia menemukan kembali jantung magisnya: denyut spiritual yang menghubungkan manusia dengan makna dan misteri.

Selama lebih dari setengah abad, Sutardji telah menjadi poros pembaruan sastra Indonesia. 

Ia membawa puisi keluar dari ruang rasional menuju ruang sakral. Ia tidak menulis untuk menjelaskan dunia, melainkan untuk menciptakan dunia. 

Dalam sejarah puisi Indonesia, hampir tak ada figur lain yang memerdekakan bahasa sedemikian jauh, menjadikannya organisme yang bernapas, menjerit, dan berdoa.

-000-

Sutardji lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada 24 Juni 1941, di tanah Melayu yang kaya dengan tradisi lisan dan spiritualitas bunyi. Dari akar itulah ia tumbuh bukan sekadar menulis, tetapi menyihir.

Dalam pengantar puisinya yang kini menjadi tonggak sejarah sastra Indonesia, ia menulis:

“Puisi adalah mantra. Menulis puisi ialah mengembalikan kata kepada asalnya.”

Kalimat ini menandai revolusi estetika besar. Sutardji menolak pandangan bahwa bahasa hanyalah alat komunikasi. 

Bagi dia, kata adalah makhluk hidup—punya roh dan kehendak, dan harus dibiarkan bernyanyi sendiri.

Pandangan ini melahirkan pendekatan baru terhadap puisi: bahasa bukan sekadar wacana intelektual, melainkan pengalaman spiritual.

-000-

Puncak perjalanan puitiknya terangkum dalam antologi monumental O Amuk Kapak (1981), yang memadukan tiga fase puitiknya:

• O melambangkan keheningan dan kesempurnaan,

• Amuk adalah ledakan kebebasan bahasa,

• Kapak adalah kesadaran yang menebas kebekuan makna.

Melalui karya-karya ini, Sutardji membangun spiritualitas linguistik—keyakinan bahwa kata-kata memiliki kehidupan batin, dan tugas penyair adalah mendengarkan, bukan memerintah bahasa.

-000-

Puisi “Tragedi Winka & Sihka” menjadi ikon dari eksperimen bentuk dan bunyi dalam puisi Indonesia modern. Kata-kata di sana tidak lagi berjalan lurus, melainkan berputar, terpotong, mengalun—seperti mantra yang menari di udara:

ka win / ka win / winka / sihka

Struktur itu bukan permainan kebetulan. Ia adalah ritual bunyi, cara menghidupkan bahasa agar pembaca tidak sekadar memahami, tetapi mengalami. 

Dalam puisi ini, logika digantikan oleh ritme, dan makna lahir dari resonansi batin, bukan dari definisi.

-000-

Sutardji membuka jalan bagi generasi baru penyair Indonesia, yang menulis dengan keberanian baru terhadap bentuk, suara, dan tubuh bahasa.

Melalui dirinya, bahasa Indonesia menemukan otonominya: bebas dari kolonialisme makna, bebas dari rasionalitas yang membatasi. 

Ia mengembalikan puisi pada akar purbanya, pada kekuatan bunyi dan kesunyian yang bergetar.

Karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan dibacakan di panggung internasional. Di atas panggung, ia bukan sekadar pembaca, tetapi  penyihir bahasa: tubuh, napas, dan jeda menyatu dalam ritual estetik yang menggugah kesadaran pendengarnya.

-000-

Atas seluruh perjalanan kreatifnya, Sutardji bukan hanya penyair besar, tetapi penjaga roh bahasa Indonesia. Ia mengajarkan bahwa bahasa tidak hidup dari makna semata, tetapi dari nyala yang menyalakan makna itu sendiri.

Jika Chairil Anwar memerdekakan penyair dari belenggu bentuk klasik, maka Sutardji memerdekakan bahasa dari penjara makna.

Karena itu, pemberian Satupena Lifetime Achievement Award 2025 kepada Sutardji Calzoum Bachri bukan sekadar penghormatan atas usia dan karya, melainkan pengakuan terhadap revolusi spiritual dalam sejarah sastra Indonesia.

Ia bukan hanya tokoh masa lalu, melainkan mercusuar yang terus menerangi masa depan. Selama masih ada yang menulis, mendengar, dan menyebut kata dengan takzim, mantra Sutardji akan terus bergetar di udara: menjadi napas bagi puisi, dan jiwa bagi bahasa Indonesia.*

Jakarta, 10 November 2025

REFERENSI

1. Sutardji Calzoum Bachri. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

2. Naskah Para juri Lifetime Achievement Award 2025, para ketua Satupena di bebagai pulau dan anggota Dewan Penasehat:

 

1. Anwar Putra Bayu (Ketua)

2. Dhenok Kristiadi

3. Hamri Manoppo

4. Muhammad Thobroni

5. Wayan Suyadnya

6. Victor Manengkey

7. Okky Madasari

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1FCDv3AC4q/?mibextid=wwXIfr