Resensi Buku Rekonsiliasi: Islam, Demokrasi, dan Dunia Barat Karya Benazir Bhutto: Warisan Seorang Syuhada Demokrasi
ORBITINDONESIA.COM- Benazir Bhutto, mantan Perdana Menteri Pakistan dan putri dari mendiang Perdana Menteri Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto. Ia berasal dari keluarga politik yang berpengaruh di Pakistan.
Benazir Bhutto salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah politik modern Islam, sebab hanya sedikit pemimpin dari kalangan perempuan yang pernah terpilih di dunia Islam modern seperti Megawati Sukarnoputri, Sheikh Hasina, Tansu Çiller, Sheikh Hasina, Atifete Jahjaga, dan Khaleda Zia.
Tentunya bagi Benazir Bhutto hidupnya tidak mudah, ayahnya Zulfikar Ali Bhutto digulingkan lewat kudeta berdarah yang dipimpin oleh Jenderal Zia-Ul-Haq pada tahun 1977 dan Zulfikar Ali Bhutto digantung pada 1979. Otomatis keluarga yang ditinggalkan oleh Zulfikar Ali Bhutto mengalami hidup yang tidak mudah, Benazir dan ibunya Nusrat Bhutto sempat dipenjara selama 6 bulan dan setelahnya dibebaskan kemudian menjadi tahanan rumah.
Pengalaman bertahun-tahun memperjuangkan demokrasi di negerinya dan melawan kediktatoran junta militer rezim Jenderal Zia-Ul-Haq bukanlah hal yang mudah. Tentunya buku ini ditulisnya setelah melewati serangakaian pergolakan hidup dan politik yang berbahaya.
Reconciliation: Islam, Democracy, and the West diterbitkan tak lama setelah ia dibunuh pada Desember 2007 dalam sebuah serangan bom di Rawalpindi. Karena itu, buku ini sering dianggap sebagai “testamen politik dan spiritual terakhir” Benazir Bhutto — semacam surat wasiat intelektual dan moral bagi dunia Muslim.
Dalam buku ini, Bhutto tidak hanya menulis tentang Pakistan, melainkan juga tentang masa depan dunia Islam dan hubungannya dengan Barat. Ia menolak dikotomi antara Islam dan demokrasi, menegaskan bahwa keduanya dapat berjalan berdampingan apabila dimaknai dalam semangat keadilan, toleransi, dan ijtihad.
Dengan gaya argumentatif yang tajam namun penuh empati, Bhutto menulis untuk menjembatani peradaban — bukan sekadar membela Islam, tetapi juga mengajak Barat untuk melihat Islam secara lebih adil dan rasional.
Isi dan Struktur Buku
Buku ini terbagi ke dalam dua bagian besar: bagian sejarah dan refleksi teologis, serta bagian analisis politik kontemporer. Buku ini terbagi atas beberapa bagian:
a. Islam dan Tradisi Demokrasi
Bhutto membuka bukunya dengan argumen teologis: bahwa Islam pada dasarnya adalah agama yang mendukung prinsip-prinsip demokratis. Ia menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan keadilan (‘adl), musyawarah (shura), dan tanggung jawab sosial.
Dengan merujuk kepada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rasyidin, Bhutto menegaskan bahwa semangat demokrasi Islam sudah muncul sejak awal sejarah Islam, jauh sebelum munculnya demokrasi modern di Barat.
Ia juga menyinggung tokoh-tokoh reformis Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Iqbal — menunjukkan bahwa tradisi reformasi Islam dan demokrasi bukanlah hal asing bagi umat Muslim.
Yang justru menjadi masalah, menurutnya, adalah distorsi sejarah akibat kolonialisme dan kemerosotan kepemimpinan politik di dunia Muslim.
b. Islam dan Dunia Barat
Bagian ini merupakan kritik Bhutto terhadap relasi antara dunia Islam dan Barat, terutama setelah tragedi 11 September 2001.
Ia menyoroti bagaimana retorika “perang melawan teror” telah menciptakan jurang kebencian dan ketakutan antara dua peradaban besar.
Namun Bhutto tidak hanya menyalahkan Barat. Ia juga melakukan otokritik terhadap umat Islam, terutama terhadap kelompok ekstremis yang memonopoli tafsir agama demi tujuan politik.
Dalam pandangannya, ekstremisme lahir dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan, bukan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena itu, solusi sejati adalah pendidikan, demokrasi, dan rekonsiliasi.
c. Pakistan: Cermin Dunia Islam
Sebagai pemimpin Pakistan, Bhutto menulis dengan pengetahuan empiris tentang bagaimana negara-negara Islam terjebak dalam dilema antara militerisme, korupsi, dan konservatisme agama.
Ia menceritakan perjuangannya dalam menghadapi rezim diktator seperti Jenderal Zia ul-Haq yang menyelewengkan Islam demi kepentingan politik.
Bhutto memandang Pakistan sebagai mikrokosmos dunia Islam: negara dengan potensi besar namun terbelenggu oleh konflik antara modernitas dan tradisionalisme.
Dalam konteks ini, “rekonsiliasi” tidak hanya berarti perdamaian antara Islam dan Barat, tetapi juga rekonsiliasi internal dalam tubuh umat Islam sendiri.
Gagasan Utama: Rekonsiliasi Sebagai Jalan Peradaban
Konsep kunci buku ini adalah rekonsiliasi — bukan hanya dalam arti politik, tetapi juga spiritual dan epistemologis. Bhutto percaya bahwa masa depan dunia Islam bergantung pada kemampuannya untuk mendamaikan:
-
Iman dan Rasio – mengembalikan semangat ijtihad agar umat Islam mampu berpikir kritis tanpa kehilangan iman.
-
Tradisi dan Modernitas – menolak sekularisme radikal namun juga menolak fundamentalisme kaku.
-
Islam dan Barat – mengakhiri kecurigaan mutual yang lahir dari kesalahpahaman sejarah.
Dengan bahasa yang lembut namun argumentatif, Bhutto mengajak pembacanya untuk melihat bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, karena kedua-duanya bersumber dari nilai kemanusiaan universal: keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab moral.
Analisis Kritis: Antara Ideal dan Realitas
Buku ini sangat kuat dalam idealisme dan refleksi moral. Bhutto menulis dengan nada seorang negarawan sekaligus intelektual. Ia berusaha membangun jembatan pemikiran antara Timur dan Barat seperti yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar Islam modernis.
Namun dari sisi analisis politik, beberapa pengamat menilai Bhutto terlalu optimistik terhadap kemampuan demokrasi Barat untuk membantu dunia Islam.
Ia seolah masih percaya pada narasi liberal internasional, padahal sejarah intervensi Barat di Timur Tengah seringkali justru memperparah konflik. Meski demikian, kejujuran moral dan keberanian Bhutto membuat kritik semacam itu menjadi bagian dari perdebatan sehat yang ia sendiri harapkan.
Kekuatan utama buku ini terletak pada ketulusan dan kedalaman refleksi personal. Bhutto menulis bukan sebagai pengamat luar, tetapi sebagai seseorang yang telah merasakan pengasingan, penjara, dan kehilangan.
Setiap argumen terasa hidup karena berakar pada pengalaman nyata — pengalaman seorang pemimpin Muslim perempuan yang menantang patriarki, militerisme, dan ekstremisme atas nama keadilan.
Gaya Penulisan dan Nilai Sastra-Politik
Bhutto menulis dengan gaya yang memadukan retorika politik, esai teologis, dan autobiografi. Kadang ia tampak seperti orator yang sedang berpidato, kadang seperti sarjana yang sedang menulis tesis. Pilihan bahasanya elegan, argumentatif, dan penuh daya persuasi moral.
Ia mampu menyeimbangkan kutipan Al-Qur’an dengan teori politik modern, mempertemukan John Locke dengan Al-Ghazali, dan mengaitkan Plato dengan konsep shura Islam. Hal ini menjadikan buku ini bukan hanya bacaan politik, tetapi juga karya filsafat peradaban.
Dalam versi terjemahan Indonesia yang diterbitkan oleh Mizan (2009), penerjemah berhasil mempertahankan keanggunan bahasanya, meskipun beberapa istilah politik Barat kehilangan nuansa aslinya.
Relevansi Kontemporer
Lebih dari satu dekade setelah kematian Bhutto, pesan bukunya terasa semakin relevan. Dunia Islam masih bergulat dengan ekstremisme, ketimpangan sosial, dan krisis kepemimpinan. Di sisi lain, hubungan Islam-Barat masih sering diwarnai kecurigaan.
Dalam konteks ini, Rekonsiliasi menjadi seruan moral yang melampaui batas bangsa dan agama. Bhutto seolah berbicara kepada generasi baru pemimpin Muslim: bahwa kekuatan sejati Islam bukan terletak pada senjata, tetapi pada akal dan kasih sayang.
Kesimpulan: Warisan Intelektual Benazir Bhutto
Rekonsiliasi: Islam, Demokrasi, dan Dunia Barat adalah perpaduan antara visi politik dan renungan spiritual, ditulis oleh seorang pemimpin yang hidup dan mati demi cita-citanya.
Buku ini menjadi saksi bahwa demokrasi dan Islam bukan dua dunia yang saling meniadakan, melainkan dua sisi dari satu perjuangan kemanusiaan: membangun keadilan dengan iman dan akal.
Bhutto tidak sempat melihat dunia yang lebih damai, tetapi warisan pemikirannya tetap hidup. Ia mengajarkan bahwa rekonsiliasi sejati bukan dimulai dari perundingan politik, melainkan dari pendamaian batin manusia dengan Tuhannya dan dengan sesamanya.
“Islam bukan ancaman bagi dunia, kecuali jika kita mengkhianati nilai-nilainya sendiri.”
— Benazir Bhutto, Reconciliation: Islam, Democracy, and the West.***