Resensi Buku Seni Berkuasa (2022): Membaca Pokok Pikiran Niccolò Machiavellinya Tiongkok

ORBITNDONESIA.COM- Kitab Shangjun Shu (商君书), yang secara harfiah berarti “Buku Sang Tuan Shang” atau di bahasa Inggris biasa diterjemahkan “Book of Lord Shang, adalah salah satu karya politik paling berpengaruh dalam sejarah Tiongkok kuno.Buku ini diterjemahkan menjadi Seni Berkuasa (2022). 

Buku ini merupakan sebuah buku yang menyoroti inti ajaran Shang Yang: bagaimana mengelola, menaklukkan, dan menundukkan manusia demi stabilitas negara.

Disusun sekitar abad ke-4 sebelum Masehi pada masa Negara-Negara Berperang (Warring States Period), kitab ini bukan sekadar refleksi teoritis, tetapi manifestasi ideologi yang benar-benar diterapkan oleh Shang Yang (390–338 SM) ketika ia menjabat sebagai reformator besar di Negara Qin, Tiongkok.

Berkat gagasan-gagasannya, Qin yang semula kecil dan lemah menjelma menjadi kekuatan militer yang kelak menyatukan seluruh Tiongkok di bawah Kaisar Pertama, Qin Shi Huang. Dengan demikian, Shangjun Shu bukan hanya teks klasik tentang kekuasaan, melainkan juga fondasi ideologis bagi lahirnya negara totalitarian pertama dalam sejarah Tiongkok.

Isi dan Struktur Kitab: Rasionalitas Kekuasaan yang Keras

Kitab ini terdiri dari sekitar dua puluh empat bab (tergantung versi manuskripnya), yang masing-masing membahas aspek berbeda dari seni bernegara. Beberapa bab utama membicarakan tema seperti pertanian dan militer sebagai tulang punggung negara, hukum sebagai alat kontrol sosial, pengawasan rakyat, pembentukan moral kenegaraan, hingga strategi menyingkirkan bangsawan lama yang korup.

Di balik semua itu, satu prinsip utama menonjol: negara harus dibangun di atas hukum (法, fa) yang tegas, rasional, dan impersonal, bukan belas kasih atau moralitas tradisional. Shang Yang menolak idealisme moral kaum Konfusian yang menekankan kebajikan dan teladan.

Baginya, manusia cenderung mementingkan diri sendiri, sehingga hanya sistem penghargaan dan hukuman yang ketat dapat membuat rakyat patuh. Dalam salah satu bagian terkenal, ia menulis bahwa “Jika hukum lemah, rakyat akan kuat melawan negara; jika hukum kuat, rakyat akan tunduk pada tatanan.”

Prinsip inilah yang menjadi dasar Filsafat Legalisme (法家, fajia), yang menandai pergeseran besar dalam pemikiran politik Tiongkok — dari tatanan moral menuju sistem hukum yang dingin namun efisien.

Di sini, Shangjun Shu adalah teks kunci: bukan lagi tentang menjadi manusia baik, tetapi tentang menciptakan sistem yang memaksa manusia agar tunduk demi kepentingan negara.

Shang Yang: Reformator, Visioner, dan Korban Sistemnya Sendiri

Untuk memahami kitab ini, kita harus mengenal sosok di baliknya. Shang Yang, nama aslinya Gongsun Yang, adalah seorang negarawan dari Negara Wei yang kemudian diundang ke Qin oleh penguasanya, Duke Xiao, untuk melakukan reformasi.

Ia mereformasi struktur administratif, menetapkan sistem penghargaan militer yang ketat, menghapus hak-hak bangsawan feodal, dan menggantinya dengan meritokrasi berdasarkan prestasi perang.

Reformasi Shang Yang sukses besar — ekonomi meningkat, tentara disiplin, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun ironisnya, ketika Duke Xiao wafat, Shang Yang kehilangan pelindungnya. Ia difitnah oleh lawan-lawan politik dan akhirnya dihukum mati secara brutal oleh sistem hukum yang ia ciptakan sendiri: tubuhnya diikat ke kuda dan dicabik hingga mati.

Paradoks ini menjadikan Shang Yang semacam martir ideologi Legalisme — tegas pada prinsip, namun binasa oleh ketegasan sistem yang tak mengenal belas kasihan.

Makna Filsafat Politiknya: Antara Kejam dan Rasional

Dari perspektif modern, ajaran Shangjun Shu terasa kejam. Ia menolak kasih sayang, menghina moralitas tradisional, dan menempatkan negara di atas segalanya. Namun jika dilihat dari konteks sejarahnya, pemikiran ini merupakan reaksi terhadap kekacauan feodalisme.

Bagi Shang Yang, negara yang lemah dan penuh kompromi hanya akan hancur di tengah perebutan antarnegara. Maka, ia menulis: “Dalam masa damai, persiapan perang; dalam masa perang, gunakan hukum yang keras; dalam masa kemakmuran, jangan biarkan rakyat lembek oleh belas kasihan.”

Ia mengajarkan bahwa penguasa harus seperti pedang: tajam, dingin, tapi adil dalam fungsi. Kekuasaan harus tak personal, hukum harus berlaku untuk semua, dan rakyat harus diarahkan pada produktivitas: bekerja, bertani, dan berperang.

Baginya rakyat tidak boleh terlalu banyak berspekulasi atau berfilsafat. Dalam bahasa lain, Shangjun Shu menolak individualisme dan menegakkan totalitas kekuasaan negara sebagai entitas moral tertinggi.

Relevansi bagi Dunia Modern

Membaca Shangjun Shu hari ini, kita seolah membaca cikal bakal negara modern yang berbasis hukum dan efisiensi birokrasi, meskipun dalam bentuk ekstrem.

Banyak prinsipnya yang diadopsi oleh negara-negara otoriter modern — dari revolusi Prusia hingga Mao Zedong — bahkan oleh manajer korporasi yang menekankan disiplin dan kinerja.

Kitab ini mengingatkan bahwa kekuasaan yang efektif membutuhkan struktur, bukan niat baik, dan bahwa idealisme tanpa sistem hanya melahirkan kekacauan.

Namun, bahaya dari pemikiran Shang Yang juga jelas: ketika hukum menjadi alat penguasa dan bukan pelindung rakyat, negara akan kehilangan legitimasi moral.

Inilah dilema abadi antara efisiensi dan kemanusiaan — antara tatanan dan kebebasan — yang terus menghantui setiap sistem politik hingga hari ini.

Penutup: Sebuah Kitab yang Menyilangkan Pedang dan Pena

Shangjun Shu bukanlah bacaan ringan, tetapi karya monumental yang memadukan kekakuan hukum dengan kejernihan logika politik. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan bukanlah urusan perasaan, melainkan teknik dan strategi.

Di satu sisi, Shang Yang tampak sebagai tiran yang menolak kemanusiaan; di sisi lain, ia adalah teknokrat yang menyalakan obor rasionalitas dalam kegelapan feodalisme.

Buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami akar politik realisme Timur, bagaimana kekuasaan dijalankan tanpa basa-basi moral, dan bagaimana hukum dijadikan alat untuk membentuk manusia sesuai kebutuhan negara.

Dalam konteks modern, Shangjun Shu menjadi cermin: apakah kita ingin hidup dalam tatanan yang efektif namun tanpa hati, atau dalam kebebasan yang hangat namun kacau?

Shang Yang mungkin telah mati diseret oleh kuda, tetapi warisannya — ide tentang negara yang kuat karena hukum yang keras — terus hidup dalam setiap sistem kekuasaan yang memilih stabilitas di atas kasih sayang.***