Sejarah yang Dipotret Melalui 7 Buku Puisi Esai Denny JA

- Menyambut Denny JA Terpilih Menjadi 10 Nominator Sastrawan Dunia untuk BRICS Literature Award 2025

Oleh Penerbit CBI

ORBITINDONESIA.COM - Sejarah acapkali dipotret melalui novel bergenre historical fiction, dari Tolstoy yang mengisahkan perang melalui cinta, hingga Pramoedya yang menulis perlawanan melalui nasib manusia biasa.

Namun Denny JA memilih jalan lain. Ia tidak menulis sejarah dengan prosa, melainkan dengan puisi esai. Ini genre yang ia gagas sendiri, sebuah jembatan antara fakta sosial dan getar batin manusia.

Sebagai pemikir dan penonton militan film-film sejarah, Denny JA berupaya menjadikan puisi bukan sekadar ruang estetika, tetapi alat pengingat kolektif bangsa dan dunia.

Dalam tangannya, sejarah tidak lagi kaku seperti catatan akademik. Ia menjadi denyut moral dan spiritual, ketika setiap peristiwa besar ditulis dari sudut pandang yang paling sunyi: para korban, saksi, dan manusia kecil yang terlupakan.

Percobaan ini penting karena menghadirkan cara baru membaca sejarah. Ini bukan hanya lewat data dan arsip, tetapi melalui empati dan keheningan doa. 

Di tengah dunia yang serba cepat dan dingin, puisi esai mengajak pembaca berhenti sejenak. Ini bukan untuk menghafal tanggal, tapi untuk merasakan kembali kemanusiaan yang tertinggal di baliknya.

Kini, ketika Denny JA secara resmi terpilih sebagai salah satu dari 10 sastrawan dunia penerima nominasi BRICS Literature Award 2025, kami di Cerah Budaya International (CBI) memperkenalkan kembali perjalanan sejarah yang ia potret dalam tujuh buku puisi esai monumental.

Melalui karya-karya ini, sejarah Indonesia dan dunia berbicara bukan dengan pidato para pemenang, melainkan dengan bisikan nurani mereka yang tertinggal di reruntuhan waktu.

-000-

Sejarah yang dipotret Denny JA

1. Atas Nama Cinta (2012). Sudah diterjemahkan menjadi In the Name of Love (2012)

Buku ini menandai lahirnya puisi esai — genre sastra baru yang menggabungkan fakta sosial dengan bahasa puitis dan empati yang tajam. 

Melalui lima kisah cinta yang ditindas oleh diskriminasi, Denny JA membuka luka sosial Indonesia: ras, iman, gender, dan orientasi yang dijadikan batas bagi cinta. 

Ia menulis dengan disiplin riset dan kelembutan hati yang seimbang; di setiap catatan kaki ada sejarah, dan di setiap bait ada air mata manusia.

Puisi paling mengguncang adalah “Fang Yin’s Handkerchief.” Fang Yin, gadis Tionghoa korban pemerkosaan massal 1998, hidup di Los Angeles bertahun-tahun dengan trauma yang membeku. 

Setiap malam, ia memandangi saputangan kekasihnya yang dulu berlumur darah dan air mata. Di ujung hidupnya, ia membakarnya — bukan sebagai tanda dendam, tapi sebagai ritual penebusan diri. 

Adegan itu menjadi metafor spiritual: ketika api menyala, masa lalu hangus bersama amarah, dan dari abu lahir perempuan baru yang memilih untuk memaafkan.

Denny JA menulis peristiwa itu bukan dengan kemarahan, melainkan dengan kasih sayang yang menyembuhkan. 

Ia mengubah sejarah kekerasan menjadi kisah kebangkitan batin. Dalam api kecil Fang Yin, ia melihat cahaya yang lebih besar: bahwa bangsa hanya akan sembuh bila berani mencintai lagi, setelah luka yang terdalam.

-000-

2. Kutunggu di Setiap Kamis (2015). Sudah diterjemahkan menjadi Every Thursday Will I Await Your Return 

Sebuah karya yang menggabungkan kisah cinta dengan aktivisme kemanusiaan. 

Lina, perempuan muda yang kehilangan suaminya — aktivis yang diculik saat kerusuhan 1998 — menanti di depan Istana setiap Kamis. 

Ia menjadi bagian dari Aksi Kamisan, tempat para ibu dan istri korban pelanggaran HAM berdiri di bawah payung hitam, menuntut keadilan yang tak kunjung tiba.

Denny JA menulisnya dalam irama elegi dan doa, menghadirkan cinta sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa.

Puisi puncaknya adalah adegan saat Lina berseru, “God, how many Thursdays dost Thou possess?”  Tuhan,  berapa hari kamis yang kau punya?

Kalimat itu mengguncang jiwa, karena di dalamnya ada kelelahan dan iman yang sama-sama abadi. 

Di setiap Kamis, Lina membawa bunga dan selembar foto; hujan turun, tubuhnya menggigil, tapi ia tetap menunggu. Bagi Lina, waktu tak lagi linear — setiap Kamis adalah lingkaran abadi antara harapan dan kehilangan.

Ketika akhirnya ia meninggal di usia tua, generasi muda melanjutkan aksi itu. Denny JA menutupnya dengan satu kalimat yang membekas: “Some prayers are too faithful to die.” Beberapa doa tetap hidup, walau pendoanya telah tiada.

Puisi ini menyentuh hati karena mengubah penantian menjadi ibadah, dan menjadikan kehilangan sebagai kekuatan moral yang menolak dilupakan oleh sejarah bangsa.

-000-

3. Jeritan Setelah Kebebasan (2018). Sudah diterjemahkan menjadi Screams Following Liberation (2022)

Buku ini adalah peta luka Indonesia setelah reformasi. Denny JA memotret kebebasan yang berubah menjadi kekacauan, saat rakyat saling melukai atas nama suku dan Tuhan. 

Dalam 25 puisi esai, ia merekam tragedi Maluku, Sampit, Lampung, Lombok, dan Jakarta — bukan sebagai laporan, tapi sebagai renungan eksistensial: bahwa demokrasi tanpa nurani hanya mengganti bentuk penindasan.

Puisi paling menggetarkan adalah “My Daughter’s Tears at the Mall.”

Kisah Koh Enlai, ayah Tionghoa yang kehilangan anaknya dalam kebakaran Mall Klender 1998, ditulis dengan detail lirih yang menghantui. 

Setiap tahun, ia menyalakan lilin naga kecil — simbol cinta dan penyesalan — sambil berbicara kepada roh putrinya, Lian. 

Pada malam tahun ke-24, lilin itu menjadi cahaya terakhir yang menuntunnya pada ketenangan; ia akhirnya percaya, putrinya kini menari di surga dalam wujud naga yang berputar di langit.

Puisi ini bukan sekadar kisah kehilangan, tapi tentang ketabahan manusia yang mencari makna dalam reruntuhan. 

Denny JA menulisnya dengan nada doa, bukan ratapan. Ia mengubah tragedi politik menjadi pelajaran spiritual: bahwa cinta orang tua pada anaknya melampaui batas waktu dan agama, dan menjadi jembatan abadi menuju pengampunan sejarah.

-000-

4. Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2023). Sudah diterjemahkan menjadi The Remnants of the Independence Era (2024)

Karya ini membawa pembaca kembali ke zaman kelam kolonialisme dan pendudukan Jepang. 

Denny JA menulis dari perspektif mereka yang tak pernah masuk buku sejarah: perempuan “jugun ianfu,” pekerja paksa Romusha, dan para nyai yang menjadi korban cinta di bawah penjajahan.

Ia menyelami bukan hanya peristiwa, tapi juga jiwa yang menanggungnya.

Puisi paling menyayat adalah “Do Not Name Me Comfort Girl.”

Rahma, gadis 15 tahun, dijanjikan pekerjaan menyanyi, namun dijadikan budak seks tentara Jepang. 

Dalam sajaknya, ia berbisik: “Jangan panggil aku comfort girl; panggil aku Rahma — karena aku masih manusia.”

Kalimat itu adalah jeritan moral yang abadi. 

Rahma tidak menuntut balas, hanya pengakuan: bahwa penderitaannya bukan aib, melainkan kesaksian sejarah.

Puisi ini mengguncang hati karena mengajarkan kemuliaan dalam derita. 

Ketika Rahma akhirnya meninggal, suaranya tidak padam, ia menjadi gema bagi jutaan perempuan yang ditelan diam.

Denny JA menulisnya dengan empati seorang saksi: tanpa menghakimi, tanpa mendramatisir. 

Ia memuliakan keberanian perempuan yang kehilangan segalanya kecuali martabatnya. Seperti Rahma, puisi ini juga menolak dilupakan.

-000-

5. Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an (2024)

Buku ini adalah elegi bagi para eksil politik Indonesia pasca-1965: mahasiswa, seniman, dan diplomat yang dicabut kewarganegaraannya dan tak bisa pulang. 

Mereka awalnya dikirim Bung Karno ke luar negeri untuk nanti menjadi pahlawan pembangunan Indonesia. Tapi politik berubah. Bung Karno jatuh. Mereka pun dianggap pengikut Bung Karno, bahkan komunis, yang menjadi musuh negara.

Denny JA menulis mereka bukan sebagai ideolog, melainkan manusia yang terasing antara dua tanah air, satu yang mereka cintai, dan satu yang menampung mereka tanpa kasih.

Puisi paling dramatis adalah “Kincir Angin Tak Bisa Menahan Rinduku.”

Sarjono, pelajar asal Malang yang tinggal di Amsterdam, menatap kincir angin berputar dan mengira angin itu membawa aroma sawah dari kampungnya. 

Di usia 85 tahun, ia sadar: tubuhnya sudah menjadi milik negeri asing, tapi jiwanya tetap berbahasa Indonesia.

Adegan paling menyentuh adalah ketika ia menulis surat pulang yang tak pernah dikirim: “Aku pulang setiap kali aku bermimpi.”

Puisi ini mengajarkan bahwa pengasingan sejati bukan soal jarak, melainkan kehilangan nama di tanah sendiri.

Denny JA menulisnya dengan kelembutan melankolis, menjadikan rindu sebagai bentuk patriotisme paling murni. 

Ia mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya milik pemenang, tapi juga milik mereka yang terus menatap tanah air dari jendela seberang.

-000-

6. Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024)

Buku ini soal panorama sejarah panjang perjuangan Indonesia, direkam melalui 15 puisi esai yang menghidupkan kembali tokoh-tokoh awal pergerakan bangsa: dari dr. Soetomo dan Haji Samanhudi, hingga Tan Malaka, Sjahrir, Bung Karno, dan Hatta.

Di tangan Denny JA, sejarah tidak sekadar deretan tanggal dan nama besar. Ia menjelma drama batin, di mana para tokoh digambarkan bukan sebagai patung pahlawan, melainkan manusia yang ragu, lelah, jatuh cinta, dan tetap melangkah meski sendirian di tengah zaman yang gelap.

Setiap puisi menjadi cermin atas api yang menyalakan Indonesia: api pendidikan, perdagangan, diplomasi, dan keberanian moral. 

Dari “Dan Lahirlah Budi Utomo” hingga “Mohammad Hatta dan Korupsi yang Menggila”, buku ini merajut kronologi perjuangan menjadi satu narasi emosional tentang harga kemerdekaan dan kegelisahan pascakemerdekaan.

Puisi paling menggugah adalah “Dan 2000 Janda Pun Menerjang.”

Denny JA menulisnya dengan tenaga mitos dan air mata sejarah. 

Ia mengangkat kisah Laksamana Malahayati, perempuan pertama di dunia yang memimpin pasukan laut — dua ribu janda Aceh yang kehilangan suami karena perang. 

Dalam bait-baitnya, Denny menggambarkan malam sebelum pertempuran:

“Kesedihanku adalah bara yang akan membakar penjajah.”

Ketika Malahayati menebas Cornelis de Houtman, laut menjadi saksi: keberanian tidak selalu datang dari prajurit lelaki, melainkan dari perempuan yang memilih melawan karena tak tahan menunggu. 

Ia berperang bukan demi ambisi, tetapi demi cinta dan martabat bangsanya.

Puisi ini menyalakan kembali makna “merdeka” — bukan sebagai hasil perundingan diplomatik, melainkan jeritan hati seorang janda yang kehilangan segalanya kecuali keberanian.

Sebagai keseluruhan, Mereka yang Mulai Teriak Merdeka adalah sebuah ensiklopedi emosional bangsa. Sejarah yang besar diceritakan melalui kisah-kisah kecil yang menggugah nurani.

Denny JA menutup buku ini dengan kalimat yang terasa seperti doa:

“Puisi esai menghidupkan sejarah, membuat tokoh bernapas, merasakan luka, dan berbisik kepada pembaca.”

Sebuah karya monumental — bukan hanya bagi sastra Indonesia, tetapi bagi jiwa bangsa yang ingin mengingat kembali dari mana api kemerdekaan itu pertama kali dinyalakan.

-000-

7. Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025) — Denny JA

Jika enam buku puisi esai Denny JA sebelumnya merekam sejarah Indonesia, maka buku ini menembus sejarah dunia: dari Revolusi Prancis dan Revolusi Rusia hingga Perang Dunia, Holocaust, Revolusi Mao Zedong, dan tragedi Vietnam.

Buku ini berisi lima belas puisi esai, masing-masing merekam episode sejarah besar yang mengguncang nurani manusia: dari malam Natal yang menghentikan tembakan di Perang Dunia I, pembantaian di Nanking, jatuhnya Tsar Rusia, hingga manusia perahu Vietnam. 

Setiap kisah menyorot manusia kecil yang terombang-ambing di pusaran zaman, para korban, penyintas, dan saksi yang menggigil di arus sejarah.

Dalam pengantarnya, Denny JA menulis bahwa angka-angka sejarah sering beku, namun sastra memberi mereka napas. 

Ia menolak sejarah yang dingin dan objektif, memilih menulis sejarah yang bergetar,!sejarah yang “berdenyut di dada manusia.” Puisi esai menjadi jembatan antara fakta dan empati, antara arsip dan doa.

Puisi Paling Menyentuh: “Malam Natal di Perang Dunia Pertama”

Puisi ini adalah pembuka sekaligus simbol jiwa buku ini. Berlatar tahun 1914, di parit berlumpur Ypres. Seorang tentara Jerman muda bernama Ernst Keller mendengar lagu “Silent Night” berkumandang di malam Natal.

Dari seberang parit, Inggris dan Prancis, musuhnya membalas nyanyian dengan melodi yang sama.

Ia lalu keluar dari parit tanpa senjata, hanya dengan hati yang berdebar. Tentara lawan pun melakukan hal yang sama. 

Di tengah salju dan mayat-mayat, mereka saling berjabat tangan, berbagi rokok dan cokelat, lalu bermain sepak bola bersama. Untuk satu malam, perang berhenti, kemanusiaan kembali menyalakan lilinnya di tengah gelap.

Keesokan paginya, mereka kembali diperintah menembak. Tetapi Ernst sadar: ada sesuatu yang mati dalam dirinya — bukan tubuh, melainkan nurani yang menolak membunuh mereka yang pernah menjadi teman.

Denny JA menulis dengan lirih dan reflektif:

“Kami bukan musuh,

hanya anak-anak yang tersesat di dalam sejarah.”

Puisi ini menegaskan pesan utama buku: di balik setiap kemenangan dan tragedi sejarah, ada seseorang yang berdoa sendirian agar makna ‘manusia’ tidak ikut lenyap.

-000-

Melalui tujuh buku puisi esai ini, Denny JA menulis sejarah bukan dengan pena sejarawan, melainkan dengan darah penyair.

Ia merekam luka bangsa dan dunia dengan kelembutan empati, menjadikan setiap bait sebagai monumen bagi jiwa-jiwa yang terlupakan.

Dari Atas Nama Cinta hingga Yang Menggigil dalam Arus Sejarah, kita melihat lintasan evolusi seorang penggagas:

dari cinta yang tertindas, menuju bangsa yang berjuang, hingga peradaban yang berdarah.

Di ujung semuanya, hanya satu pesan yang tersisa: kemanusiaan adalah bahasa paling universal dalam sejarah.

Puisi esai menjadikan sejarah bukan sekadar peringatan masa lalu, tetapi cermin bagi masa depan.

Ia menunjukkan bahwa bangsa hanya akan bertahan bila berani mengingat dengan hati, bukan dengan amarah.

Di tangan Denny JA, sejarah kembali bernapas,!bukan sebagai deretan tahun dan perang, melainkan sebagai kisah manusia yang terus menggigil mencari cahaya.*

Jakarta, 30 Oktober 2025

REFERENSI

1. T.S. Eliot — Tradition and the Individual Talent (1919).

(Esai klasik ini menegaskan bahwa karya sastra besar selalu lahir dari dialog dengan sejarah.)

2. Hayden White — Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (1973).

(Buku ini menjelaskan bahwa sejarah bukan hanya fakta, tetapi juga narasi yang dibentuk oleh imajinasi moral dan estetika.)

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1BZ8yFNBhP/?mibextid=wwXIfr