Airlangga Pribadi Kusman: Refleksi Tipis-Tipis Tentang Tradisi dan Kemajuan

Oleh Airlangga Pribadi Kusman*

ORBITINDONESIA.COM - Tradisi tidak dengan sendirinya anti-kemajuan. Bahkan tradisi itu sendiri bisa menjadi bintang penuntun atau rakit yang membawa setiap komunitas untuk menuju kemajuan. Maknanya secara dialektik bahwa tradisi tidak bisa juga sedemikian rupa dijadikan tameng bagi suatu kaum untuk menyangkal kritik terhadap suatu komunitas, seperti komunitas agama. 

Namun kritik terhadap suatu komunitas bisa menjadi jalan penting untuk membangun refleksi suatu komunitas mencapai jalan kemajuan melalui renungan dan tindakan aktif berhubungan dengan tradisi. 

Bahkan respon sarkastik maupun respon dangkal yang tidak pantas dipandang sebagai suatu kritik sendiri (karena muncul dari pantulan commonsense) juga menjadi dorongan momentum penting untuk memulai refleksi dalam hubungan antara komunitas dan tradisi. 

Demikian pula dalam misalnya tradisi yang terbangun dalam laku adab santri mencium tangan gurunya. Saya sendiri termasuk orang yang tidak canggung atau segan mencium tangan guru yang pantas untuk diteladani.

Menurut saya pikiran dan sikap yang pantas terhadap respon commonsense tentang berbagai kritik ataupun serangan dan olok/olokan terhadap tradisi adalah meninjau bagaimana relasi suatu komunitas dalam keseluruhan tatanan sosial yang terbangun. 

Sehingga jangan sampai suatu tradisi atau adab menghilangkan renungan kritis terhadap ada yang perlu dikoreksi dalam hubungan antara komunitas dengan realitas sosial yang lebih luas. 

Sebagai contoh sejarah, KH Abdurrahman Wahid dikenang sebagai tokoh progresif tradisional. Sebelum tampilnya beliau sebagai pendorong progress dalam NU. NU dianggap sebagai organisasi kolot dan konservatif yang menolak kemajuan.

Gus Dur menjawabnya dengan tidak bersikap apologetik terhadap reaksi-reaksi tersebut. Namun dia melakukan refleksi kritis untuk melakukan koreksi kelembagaan dan mendorong demokrasi melalui pijakan tradisi. Semua itu dijalankan melalui platform yang indah bernuansa tradisi yang kental, kembali ke Khittah 1926. 

Dalam komunitas Katolik, dikenal nama Pope Fransis beliau memimpin gereja katolik ketika saat itu banyak kritik terkait dengan merosotnya moralitas gereja. Dia melakukan perubahan progress melalui tradisi katholik dengan mengoreksi dan melawan setiap bentuk pembusukan didalamnya melalui tradisi katholik yang ia yakini. 

Dalam konteks sejarah yang lebih dulu kita bisa melihat dalam dunia Katolik ada ordo yang bernama Societas Jesuit atau SJ didirikan oleh Ignatius De Loyola tahun 1534. Saat Gereja Katholik digugat karena dianggap bagian dari kekuasaan feodal, koruptif dan mengalami pembekuan. Ignatius De Loyola merespons dengan membangun ordo SJ ini yang bercirikan terlibat dalam pergumulan rasionalitas, mendefinisikan keadilan, dan di beberapa tempat seperti Amerika Latin banyak komunitas mereka terlibat dalam perjuangan keadilan. Semua itu dijalankan dengan tetap berpegang pada tradisi. 

Akhirnya saya teringat terhadap suatu kisah sufi Nasrudin Hoja: Suatu hari Nasrudin mencari seutas benang yang hilang dari busana kesayangannya di tumpukan jerami. Lalu ada kawannya datang dan menegur: Nasrudin kamu lagi cari apa?

Cari benang yang hilang dari busanaku yang tertinggal di teras rumah.

Kawannya menjawab: kenapa kamu nyarinya disini? Bukankah busanamu ada diluar sana.

Nasrudin menjawab: enak nyarinya di sini bro, soalnya di sini lebih terang.

Kawannya: kamu ini kayak wong gendeng, nyari kok ditempat seenaknya kamu, padahal hilangnya di tempat lain.

Nasrudin: Nah itulah manusia bro. ***

(Sumber: Facebook Airlangga Pribadi, dosen Unair)