Nyoto Santoso: Krisis Iklim dari Perspektif Trump dan Thunberg

Oleh Dr. Ir. Nyoto Santoso
Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor

ORBITINDONESIA.COM - Krisis iklim "menampar"  bumi. Makhluk hidup di planet biru kini sedang menghadapi ancaman terbesar dalam sejarah: Global Warming!.

Ya.  Suhu bumi kian meningkat, lapisan es mencair, kebakaran hutan meluas, dan cuaca ekstrem makin sering terjadi. Namun, di tengah fenomena aktual tersebut, muncul perbedaan tajam antara mereka yang berusaha memperlambat laju krisis iklim dan mereka yang menyangkal atau menyepelekannya.

Pertarungan "simbolis" antara Donald Trump (79), Presiden Amerika Serikat (2017-2021, 2025-2029) dan Greta Thunberg (22), aktivis perempuan muda dari Swedia, menjadi gambaran kontras antara politik lama yang pragmatis dan gerakan baru yang idealis dan ekologis.

Di masa pemerintahannya yang pertama (2017–2021), Donald Trump dikenal sebagai salah satu pemimpin dunia paling vokal dalam menolak teori perubahan iklim akibat ulah manusia. 

Dalam pidato-pidatonya, Trump sering menyebut pemanasan global sebagai hoaks — sebuah “rekayasa” yang, menurutnya diciptakan untuk menghambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Statement Trump yang ironis itu terus digaungkan dalam pemerintahannya yang kedua, 2025-2029.

Kebijakan iklim Trump mencerminkan pandangan sesat tersebut. Ia, misalnya, menarik AS dari Perjanjian Paris 2015, kesepakatan global untuk menekan emisi gas rumah kaca. Tak hanya itu. Trump mendorong industri batu bara dan minyak bumi untuk terus berkembang. Ia pun menghapus sejumlah regulasi lingkungan era Obama, dengan alasan “membebaskan ekonomi dari belenggu birokrasi.” 

Trump berargumen bahwa ekonomi dan lapangan kerja harus menjadi prioritas utama. Ia menganggap kebijakan iklim yang ketat akan “membunuh” industri Amerika dan membuat negara itu kalah bersaing dengan China.

Kebijakan Trump di atas menuai kritik luas. Banyak ilmuwan dan aktivis menilai bahwa Trump telah mengorbankan masa depan planet demi keuntungan jangka pendek.

Di sisi lain, muncul sosok Greta Thunberg, remaja asal Swedia, yang pada usia 15 tahun memulai aksi “School Strike for Climate” di depan parlemen negaranya. Dengan papan bertuliskan “Skolstrejk för klimatet” (Mogok Sekolah untuk Iklim), Thunberg menginspirasi jutaan pelajar di seluruh dunia untuk turun ke jalan menuntut aksi nyata melawan perubahan iklim.

Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB tahun 2019, Thunberg mengguncang dunia dengan kata-kata tajamnya:
How dare you? You have stolen my dreams and my childhood with your empty words.

Greta Thunberg menuduh para pemimpin dunia, khususnya Donald Trump, gagal mengambil tindakan serius untuk menghentikan krisis iklim. Gadis remaja itu menuntut keadilan iklim (climate justice): tanggung jawab lebih besar bagi negara-negara industri yang telah lama menjadi penyumbang utama emisi karbon.

Gerakan yang diinisiasi Thunberg, Fridays for Future, menjadi simbol perlawanan moral terhadap sistem ekonomi global yang rakus energi fosil. Baginya, krisis iklim bukan sekadar isu lingkungan — melainkan krisis etika, kemanusiaan, dan keadilan antar generasi.

Pertentangan antara Trump dan Thunberg bukan sekadar perbedaan pendapat, tetapi benturan paradigma global. Trump mewakili real politik ekonomi: melihat dunia dari kacamata kepentingan nasional, pertumbuhan industri, dan kedaulatan energi.

Thunberg mewakili etika ekologis universal: menyerukan solidaritas global demi menyelamatkan bumi, bahkan jika itu berarti mengubah sistem ekonomi dunia. 

Pada 2019, ketika Greta Thunberg berbicara di PBB, Donald Trump menulis komentar sinis di media sosial X (Twitter saat itu): “She seems like a very happy young girl looking forward to a bright and wonderful future. So nice to see!”

Komentar itu dianggap sindiran yang meremehkan perjuangan Thunberg. Namun gadis muda itu membalas dengan mengubah bio-nya di Twitter dengan kalimat yang sama — simbol keteguhan dan kecerdikan generasi muda menghadapi sarkasme kekuasaan.

Lima tahun setelah perdebatan Donald Trump versus Greta Thunberg, bukti ilmiah makin kuat: Suhu global telah naik lebih dari 1,2°C dibanding era praindustri. Lalu, rekor panas ekstrem dan kebakaran hutan melanda Eropa, Kanada, dan Australia. Terus banjir besar dan kekeringan menghantam Asia dan Afrika. 

Pemerintahan Joe Biden membawa AS kembali ke Perjanjian Paris, namun laju perubahan iklim masih jauh dari target ideal. Ketika Trump terpilih kembali jadi Presiden AS kedua kali (2025-2029) kebijakan Biden yang kembali ke Perjanjian Paris diubah kembali. 

Amerika keluar dari Paris Agreement. Slogan dunia "Save The World" lumpuh. Dan dunia kini menghadapi dilema: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan energi, ekonomi, dan tanggung jawab ekologis. 

Donald Trump dan Greta Thunberg mungkin berasal dari generasi, benua, dan nilai yang berbeda. Namun keduanya mencerminkan dilema global manusia modern:

Apakah kita akan terus mempertahankan sistem ekonomi yang merusak bumi, atau berani melakukan transformasi radikal demi keberlanjutan kehidupan?

Krisis iklim bukan lagi sekadar isu ilmiah, melainkan ujian moral peradaban. Dan mungkin, di antara suara sengak Trump dan jeritan marah Thunberg  dunia sedang mencari jalan tengah — antara kekuasaan dan nurani, kemajuan dan kelestarian.

Catat. Manusia sampai detik ini masih menempati bumi -- satu-satunya planet di galaksi milky way yang compatible dengan struktur biologis, kimiawi, dan fisika spesies homo sapiens yang ada sejak 300.000 tahun lalu. 

Dan homo sapiens itu adalah kita! ***