Pemilu Parlemen Suriah: Harapan Baru atau Sekadar Simbolis?

ORBITINDONESIA.COM – Di tengah situasi politik yang bergejolak, Suriah bersiap menggelar pemilu parlemen pertama sejak jatuhnya Bashar al-Assad. Namun, pertanyaan besar tentang inklusivitas dan penundaan yang berulang masih membayangi proses ini.

Setelah lebih dari satu dekade perang saudara, Suriah menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali sistem politiknya. Pemilu kali ini tidak akan melibatkan pemungutan suara langsung, melainkan melalui 'perguruan tinggi elektoral' yang memilih dua pertiga dari 210 kursi Majelis Rakyat. Sementara itu, presiden sementara Ahmed al-Sharaa akan menunjuk sisanya.

Penundaan pemilu di tiga provinsi yang dikuasai Kurdi dan yang mengalami konflik sektarian menandai tantangan besar bagi integrasi politik Suriah. Dengan lebih dari 1.500 kandidat, yang juga harus menjadi anggota perguruan tinggi elektoral, proses ini dibayangi oleh kekhawatiran akan pengaruh eksekutif yang berlebihan. Selain itu, setidaknya 20% dari anggota perguruan tinggi elektoral harus perempuan, tetapi tidak ada kuota minimum untuk anggota parlemen perempuan atau dari minoritas etnis dan agama.

Beberapa kelompok masyarakat sipil Suriah mengkritik struktur pemilu ini sebagai simbolis dan tidak mencerminkan kehendak rakyat. Mereka menilai bahwa pengaruh presiden atas komite pemilu dan perguruan tinggi elektoral mengancam independensi parlemen. Thouraya Mustafa dari Partai Persatuan Demokratik Kurdi menyebut bahwa proses ini menunjukkan mentalitas otoriter yang lama masih berlanjut.

Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi, apakah pemilu ini akan membawa perubahan nyata atau sekadar menjadi simbol transisi politik yang kosong? Hanya waktu yang akan menjawab, sementara rakyat Suriah tetap berharap akan masa depan yang lebih inklusif dan damai.

(Orbit dari berbagai sumber, 6 Oktober 2025)