Catatan Denny JA: Selimut, Cinta dan Kemenangan Batin atas Negara
- Pengantar Buku Cerpen Negara Merobek Selimut Ibuku, Karya Isti Nugroho dkk
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Bayangkan seorang ibu di pinggiran Yogyakarta, duduk di tepi ranjang setiap fajar.
Ia melipat selimut anaknya yang telah delapan tahun tak pulang.
Setiap kali ia melipat, air matanya jatuh di lipatan kain itu. Ia seolah sedang membasuh luka yang tak kunjung sembuh.
Selimut itu menjadi jembatan antara harapan dan kehilangan.
Antara kasih ibu dan kekejaman negara.
Buku Negara Merobek Selimut Ibuku lahir dari luka semacam itu. Ia bukan sekadar antologi tiga cerpen, melainkan sebuah percakapan batin antara sejarah, cinta, dan penderitaan.
Tiga penulis—Isti Nugroho, Kamerad Kanjeng, dan Indra Tranggono—bertemu dalam satu ruang tafsir: seorang ibu yang melipat dan membongkar selimut anaknya yang dipenjara oleh negara.
-000-
Dari “selimut” itulah tiga dunia lahir: realisme getir, sejarah subversif, dan spiritualitas yang puitik.
Kisah ini bukan fiksi belaka. Ia berakar pada pengalaman nyata Isti Nugroho. Ia mantan aktivis mahasiswa yang ditahan di Kodim Yogyakarta tahun 1988 karena mendiskusikan karya Pramoedya Ananta Toer.
Ini sastrawan yang kala itu dianggap berbahaya hanya karena menulis tentang kemanusiaan.
Di zaman ketika membaca Pram adalah tindak subversif, “selimut” bukan lagi sekadar kain penghangat. Ia menjadi penanda kasih seorang ibu di tengah negara yang membeku oleh ketakutan.
Kini, ironi itu terasa getir: buku-buku Pram yang dulu mengantarkan orang ke penjara, dijual bebas dan bahkan difilmkan.
Sejarah, tampaknya, memang punya selera humor yang pahit. Ia menertawakan kekuasaan yang dulu terlalu tegang untuk tertawa.
-000-
Ketiga cerpen di buku ini seperti tiga cermin yang memantulkan wajah luka yang sama, namun dari arah cahaya yang berbeda:
1. Selimut Merah – Isti Nugroho
Ditulis dengan gaya realis yang nyaris dokumenter, kisah ini menelusuri kembali atmosfer represi Orde Baru.
Ada ruang interogasi, jeritan siksaan, dan seorang ibu yang tiap pagi melipat dan membongkar selimut anaknya—ritual yang menjelma doa.
Isti menulis dengan nada getir namun jernih. Ia menghadirkan suara batin generasi yang direnggut idealismenya oleh negara yang menolak dikritik.
2. Selimut Janda Sugiyah – Kamerad Kanjeng
Di tangan Kamerad Kanjeng, kisah “selimut” menjadi parabola sosial.
Tokohnya, Bambang Marhaen, anak buruh pabrik yang gagal jadi mahasiswa, lalu bekerja sebagai pesuruh UGM dan terlibat dalam kelompok studi “Palagan”.
Ia ditangkap karena membaca Pramoedya.
Dengan bahasa yang kasar, berdebu, dan hidup, cerpen ini menunjukkan bagaimana ide dan kemiskinan berpadu menjadi bentuk lain dari pemberontakan.
3. Selimut Membungkus Bulan – Indra Tranggono
Tranggono menulis kisah yang sama dengan bahasa simbolik dan lembut.
Bulan yang membungkus wajah anak, ibu yang menunggu di stasiun sampai dini hari, dan selimut yang ingin menjaring cahaya.
Semuanya menjelma meditasi tentang cinta dan kehilangan.
Ia menutup luka dengan rembulan, bukan dengan darah.
Ketiga kisah ini adalah tiga nada dalam satu orkestra: realisme sejarah, sosialisme humanistik, dan spiritualitas puitik.
Bersama, mereka membentuk oratorio tentang luka yang ditinggalkan Orde Baru—dan cinta yang bertahan melawannya.
-000-
Kisah dalam buku ini berakar di Yogyakarta, tapi gema moralnya menembus batas geografi dan waktu.
Ia sejiwa dengan karya besar One Day in the Life of Ivan Denisovich karya Aleksandr Solzhenitsyn (1962). Ini novel yang lahir dari gulag, kamp kerja paksa Uni Soviet.
Novel itu berkisah tentang satu hari dalam hidup Ivan Denisovich Shukhov, seorang tahanan politik di kamp Siberia.
Ia bangun sebelum fajar, menahan dingin yang menggigit, berdiri berjam-jam untuk apel, makan bubur encer, dan bekerja menggali tembok penjara beku selama 12 jam.
Tak ada revolusi besar, tak ada pidato heroik—hanya satu hari panjang yang penuh penderitaan dan kesunyian.
Namun di balik rutinitas kejam itu, Solzhenitsyn menyalakan nyala kecil kemanusiaan.
Ivan menemukan kebebasan dalam hal-hal kecil: secuil roti yang disimpan, tembok yang ia bangun dengan sempurna, doa yang ia bisikkan diam-diam.
Dunia luar boleh menindas tubuhnya, tapi jiwanya tetap utuh. Itulah kemenangan manusia yang paling sunyi—ketika kebaikan bertahan tanpa disaksikan siapa pun.
Bandingkan dengan cerpen Isti Nugroho.
Lambang, tokoh dalam Selimut Merah, juga hidup di bawah rezim otoriter.
Ia disiksa, diinterogasi, dan dicap musuh negara hanya karena berpikir.
Namun seperti Ivan, ia juga menemukan kebebasan kecil: dalam dalam doa ibunya, dalam “selimut merah” yang dilipat setiap hari.
Baik Solzhenitsyn maupun Isti menulis tentang manusia yang kalah di permukaan, tapi menang dalam batin.
Dalam penderitaan, mereka menemukan bentuk tertinggi dari martabat.
Solzhenitsyn menggunakan dingin Siberia sebagai simbol negara tanpa nurani. Isti menggunakan “selimut merah” sebagai simbol cinta yang tetap hangat meski dunia membeku.
Keduanya sama-sama mengajarkan: bahkan di tengah represi, manusia masih bisa memilih untuk tidak kehilangan kasih.
-000-
Tiga Gagasan Penting: Dari Estetika ke Etika
1. Sastra sebagai dokumentasi moral sejarah.
Ketiga cerpen dalam kumpulan buku ini menolak melupakan kekerasan negara terhadap warganya. “Selimut” menjadi artefak kenangan, ketika negara justru melucuti kemanusiaan.
Cerpen-cerpen ini mengubah penderitaan menjadi ingatan kolektif, agar bangsa tak kehilangan arah moralnya.
2. Kemanusiaan melampaui ideologi.
Isti Nugroho menegaskan bahwa para aktivis yang dituduh “kiri” sejatinya adalah sosialis humanis, bukan komunis.
Mereka membela keadilan, bukan doktrin. Buku ini mengingatkan kita: manusia lebih besar dari label ideologis yang disematkan negara padanya.
3. Cinta sebagai perlawanan terakhir.
Di tengah siksaan, cinta ibu dan kekasih menjadi energi yang tak bisa ditundukkan.
“Selimut” menjadi simbol perlawanan sunyi perempuan terhadap kekuasaan yang telah mencuri anak-anak mereka.
-000-
Membaca buku cerpen ini serasa menyaksikan negara menguliti dirinya sendiri.
Ia memperlihatkan bahwa kekuasaan bisa berwajah dingin, tapi cinta seorang ibu selalu lebih hangat dari ideologi mana pun.
Ketika negara menuduh, ibu memeluk.
Ketika aparat menyiksa, cinta tetap melipatkan selimutnya.
Ketika sejarah melupakan, sastra menulis ulang ingatan.
Buku ini adalah zikir kemanusiaan di tengah reruntuhan ideologi.
Ia menegaskan bahwa pelipat selimut, janda, dan aktivis yang disiksa bukanlah tokoh pinggiran—merekalah penjaga moral bangsa.
“Di tengah kekuasaan yang menindas, tugas manusia bukan sekadar melawan, tapi tetap menjadi manusia.”
Di tengah zaman yang tampak bebas namun diam-diam membungkam empati, buku ini hadir sebagai pengingat. Hanya bangsa yang berani menatap lukanya sendiri yang bisa benar-benar sembuh.
Dan, hanya cinta yang bisa menyembuhkan ingatan yang dipatahkan oleh kekuasaan.*
Jakarta, 5 Oktober 2025
Referensi
1. Aleksandr Solzhenitsyn. One Day in the Life of Ivan Denisovich. 1962. Signet Classics Edition, 1998.
2. Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia. Hasta Mitra, 1980.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1BpVXeLUEE/?mibextid=wwXIfr ***