Catatan Denny JA: Peran Para Penyusup dan Provokator yang Membajak Aksi Protes

Menjelaskan di Balik Aksi Protes dan Kerusuhan 2025

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Malam dingin, April 2007. Kota Quebec, Kanada, tengah bergolak. Puluhan ribu buruh dan mahasiswa turun ke jalan menentang kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap merugikan kelas pekerja.

Spanduk berwarna-warni berkibar. Lagu-lagu protes menggema. Orasi berlangsung damai di bawah temaram lampu jalan.

Namun di tengah arak-arakan yang penuh semangat, tiga pria bertopeng muncul. Mereka mengenakan pakaian hitam, sarung tangan tebal, dan sepatu bot berat. 

Ini penampilan yang kontras dengan para demonstran biasa yang hanya berjaket tebal musim semi.

Di tangan mereka, batu besar dan sebatang kayu. Tanpa banyak kata, mereka merangsek ke depan barisan, melempari polisi yang berjaga.

Kerumunan seketika kacau. Polisi beralasan “massa sudah anarkis,” lalu menembakkan gas air mata. Demonstran berlarian, sebagian terluka, sebagian ditangkap.

Keesokan paginya, media besar Kanada menurunkan headline: “Demo Buruh Ricuh, Polisi Terpaksa Bertindak Tegas.”

Namun ada yang ganjil. Kamera televisi lokal sempat merekam bagaimana tiga pria itu didorong masuk ke garis polisi, lalu “diamankan” dengan perlakuan yang aneh: tanpa borgol, tanpa perlawan berarti.

Tak lama kemudian, publik dikejutkan oleh temuan bahwa mereka bukan demonstran sejati, melainkan “provokator” berpakaian preman yang sengaja menyusup untuk memicu kekacauan.

Kanada pun geger. Tindakan ini dianggap pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. 

Peristiwa itu menjadi contoh klasik bagaimana penyusupan provokator mampu mengubah wajah protes damai menjadi kerusuhan, sekaligus membalikkan simpati masyarakat.

Fenomena serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Di Thailand tahun 2010, protes “Red Shirts” dibelokkan oleh kelompok bersenjata misterius yang menembaki aparat, memberi alasan bagi militer untuk menyerbu.

Di Suriah tahun 2011, demonstrasi mahasiswa yang damai berubah menjadi titik awal perang sipil setelah “demonstran” bersenjata muncul entah dari mana.

Dari Quebec hingga Bangkok, dari Damaskus hingga Khartoum, sejarah mencatat pola yang sama: aspirasi rakyat yang murni bisa hancur oleh tangan-tangan tersembunyi yang menyalakan api.

-000-

Indonesia 2025: Pola yang Sama

Agustus–September 2025, Indonesia bergolak. Kenaikan tunjangan DPR, biaya hidup yang makin mencekik, upah minimum yang stagnan, dan jatuhnya korban jiwa dalam demonstrasi melahirkan gelombang protes di lebih dari 30 provinsi.

Awalnya damai. Mahasiswa berorasi di depan gedung DPR, serikat buruh long march di jalan raya, pelajar menyanyikan yel-yel sambil membawa poster. Tetapi menjelang malam, wajah protes berubah drastis.

Pengamatan lapangan menunjukkan pola yang tak mungkin disebut kebetulan. 

Sasaran yang diserang justru objek-objek simbolik: kantor polisi, markas Brimob, gedung DPRD, bahkan rumah pejabat. Api tak muncul sembarangan, melainkan seolah dipilih dengan cermat.

Di beberapa kota, terlihat kelompok kecil berpakaian gelap, wajah ditutupi, bergerak dengan kecepatan dan koordinasi yang berbeda dari massa umum.

Mereka membawa molotov, jeriken bensin, hingga petasan rakitan. Begitu api menyala dan massa mulai ricuh, kelompok ini lenyap ke gang-gang kecil, meninggalkan kerumunan yang panik.

Di Surabaya, rumah anggota DPRD menjadi sasaran lemparan batu, sementara toko di sekitarnya ikut dijarah. 

Warga sekitar mengaku tidak mengenali pelaku—bukan mahasiswa atau buruh lokal, melainkan wajah asing yang datang dan pergi terorganisir.

Di Bandung, kampus UNISBA dan UNPAS yang dijadikan pos medis mahasiswa justru menjadi sasaran gas air mata. 

Hal itu dipicu oleh pelemparan batu misterius dari arah massa—tindakan yang kemudian dikaitkan dengan keberadaan penyusup.

Hasil kajian lembaga masyarakat sipil menegaskan bahwa protes ini tidak murni bergeser karena amarah spontan.

Ada indikasi kuat keterlibatan pihak yang paham taktik kerusuhan, bahkan operasi keamanan. Mereka tidak datang untuk menuntut, melainkan untuk mengacaukan.

Protes yang semula disorot media sebagai gerakan moral berubah narasi. Televisi menampilkan api, bukan aspirasi. Kata “kerusuhan” menggantikan kata “tuntutan.” 

Aparat pun memperoleh legitimasi untuk merespons lebih keras.

-000-

Merenungkan aksi protes yang rentan dikacaukan pihak provokator, saya teringat sebuah buku karya Steve Chase: How Agent Provocateurs Harm Our Movements (2021).

Walau hanya sekitar 50 halaman, buku ini padat dengan pelajaran dari sejarah panjang gerakan rakyat di seluruh dunia.

1. Definisi dan Sejarah

Chase menjelaskan bahwa agent provocateur adalah penyusup yang menyamar sebagai bagian dari gerakan, padahal misinya adalah merusak. 

Sejak abad ke-19, taktik ini digunakan oleh polisi rahasia Eropa untuk memecah serikat buruh.

Di Amerika Serikat, pada 1960-an, FBI melalui program COINTELPRO menyusup ke gerakan hak sipil dan anti-perang. 

Mereka memicu kerusuhan kecil agar publik melihat Martin Luther King Jr. dan para aktivis lainnya sebagai ancaman radikal, bukan pejuang damai.

2. Motif Utama Provokator

Chase mengurai empat motif besar di balik penyusupan:

• Memberi alasan untuk represi. Kekerasan kecil cukup membuat aparat punya legitimasi menindak keras.

• Mendiskreditkan gerakan. Wajah moral berubah menjadi anarkis di mata publik.

• Memecah solidaritas. Ketika ada provokasi, aktivis saling curiga: siapa kawan, siapa musuh?

• Mengaburkan substansi. Perhatian publik beralih dari tuntutan ke isu keamanan.

3. Studi Kasus

Buku ini memaparkan banyak contoh:

• Di Guatemala, aparat menyusup ke aksi petani lalu menembak polisi untuk menuduh massa.

• Di Thailand, kelompok misterius digunakan untuk menjustifikasi intervensi militer.

• Di Sudan, aksi damai melawan Omar al-Bashir berubah ricuh setelah kelompok bersenjata memicu kekerasan.

• Di Kanada, kasus Quebec 2007 terbongkar sebagai operasi polisi.

• Di Amerika Serikat, gerakan Occupy Wall Street (2011) ternodai oleh penyusup yang membawa molotov, sehingga polisi punya alasan menggusur paksa kamp demonstran.

4. Dampak Nyata

Chase menunjukkan bagaimana akibatnya sangat merusak:

• Gerakan kehilangan aura moral.

• Aktivis sejati dipenjara dengan tuduhan palsu.

• Solidaritas pecah.

• Publik lupa pada inti tuntutan.

5. Strategi Melawan

Namun Chase juga memberikan jalan keluar:

• Disiplin non-kekerasan. Aktivis harus menolak terlibat dalam tindak kekerasan, meski diprovokasi.

• Verifikasi anggota. Jangan menerima begitu saja wajah-wajah baru tanpa proses.

• Dokumentasi digital. Rekaman bisa jadi bukti penting untuk membongkar provokasi.

• Transparansi internal. Gerakan harus terbuka, agar fitnah dan penyusupan tak mudah merusak.

Chase menutup dengan pesan tajam: penyusup hanya bisa berhasil jika gerakan lengah. Jika disiplin dan jernih, suara rakyat tetap tak bisa diredam.

-000-

Protes Indonesia 2025 memperlihatkan paradoks demokrasi jalanan. Kekuatan rakyat adalah jumlahnya. Tapi kelemahan rakyat juga jumlahnya. Aksi ini terlalu mudah dibelokkan oleh sedikit provokator.

Sejarah dari Quebec, Bangkok, Damaskus, hingga Jakarta menegaskan: satu api kecil dari tangan penyusup mampu menenggelamkan ribuan suara keadilan.

Namun tragedi ini bukan sekadar luka, melainkan cermin. Bahwa keadilan tak hanya soal keberanian menuntut, melainkan juga soal kebijaksanaan menjaga tuntutan tetap jernih.

Gerakan rakyat ibarat sungai: airnya bisa menghidupi jika bening, tapi bisa menenggelamkan jika keruh.

Indonesia harus belajar. Gerakan sipil perlu disiplin, literasi digital mesti ditingkatkan, narasi harus dijaga agar tak dicuri. Protes bisa tetap jadi cahaya—asal dijaga dari api gelap yang menyusup.

Agustus–September 2025 akan dikenang bukan hanya karena rakyat turun ke jalan, tapi karena suara mereka hampir hilang dibajak provokator.

Dari situlah bangsa ini diajak memilih: apakah kita membiarkan sejarah berulang, atau berani memastikan bahwa suara keadilan tak lagi dibungkam oleh api yang sengaja dinyalakan.

Upaya membangun ketangguhan gerakan sipil menuntut jejaring lintas elemen. Para aktivis, akademisi, media perlu bersinergi menjaga integritas aksi, memperkuat literasi risiko, dan menumbuhkan budaya dialog kritis.

Hanya dengan cara ini demokrasi tetap tumbuh tanpa tersandera oleh manipulasi kekerasan atau disinformasi pihak berkepentingan.

Seperti api abadi Mrapen di Jawa Tengah yang tak pernah padam, begitu pula seharusnya nyala keadilan dijaga. 

Ia bukan kobaran sesaat yang membakar lalu habis, tetapi cahaya yang terus hidup, diwariskan lintas generasi.

Karena pada akhirnya, tugas bangsa ini bukan hanya menyalakan api keadilan, tetapi memastikan ia tetap jadi cahaya.

Yaitu cahaya Nusantara yang menghangatkan, bukan api provokasi yang membakar rumah kita sendiri.*

Jakarta, 18 September 2025

Referensi

• Chase, Steve. How Agent Provocateurs Harm Our Movements: Some Historical Examples and a Few Ideas on Reducing the Risk. Tucson: SEAC, 2021.

• della Porta, Donatella, dan Sidney Tarrow. Transnational Protest and Global Activism. Lanham: Rowman & Littlefield, 2005.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1BPSKrwiJ2/?mibextid=wwXIfr ***