Masuki M. Astro: Mewujudkan Polisi Ideal, Saatnya Polri Mereformasi Diri

Oleh Masuki M. Astro*

ORBITINDONESIA.COM - Menjadi polisi di era demokrasi seperti saat ini memang sangat tidak mudah. Polisi menjadi harapan ideal di mata rakyat, sedangkan Polri dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak bisa berubah seketika.

Tentu saja rakyat tidak salah dengan harapannya itu. Hanya saja, upaya polisi, baik melalui institusi maupun upaya perorangan, untuk memenuhi harapan ideal itu tentu memerlukan waktu dan proses, selangkah demi selangkah.

Meskipun banyak bersentuhan dengan aspek fisik, sejatinya pekerjaan polisi di lapangan juga mengandung unsur seni, yakni mengolah jiwa. Di satu sisi, polisi harus tegas, tapi di sisi satunya, saat bersamaan, harus juga mengedepankan sikap humanis.

Hal yang membawa polisi sangat tidak mudah memenuhi harapan itu adalah karena tugas sehari-hari polisi banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Saat berhadapan dengan rakyat yang melanggar hukum karena tindakan kriminal, polisi harus mengedepankan kekuatan fisik untuk menjaga keselamatan diri dan orang banyak. Bahkan, nyawa si polisi juga menjadi taruhan. Pada saat itu pula, polisi juga dituntut untuk menjaga hak-hak asasi manusia.

Kita ambil contoh, saat menangani aksi unjuk rasa di gedung DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu. Polisi menyadari bahwa yang mereka hadapi, sekaligus dijaga adalah rakyatnya sendiri. Pada situasi normal, polisi yang ideal bisa terwujud dengan mudah, tapi pada situasi yang mulai ricuh, polisi dituntut harus tegas.

Bagaimana mengelola kondisi jiwa dengan nuansa yang sesungguhnya bertolak belakang itu harus hadir secara bersamaan?

Mengharapkan polisi ideal dalam situasi yang sarat dengan kondisi paradoksal seperti itu, membuat kita terjebak dalam penilaian fatalistik bahwa polisi tidak berperikemanusiaan, polisi bekerja tidak profesional, dan sejumlah atribut negatif lainnya.

Dalam situasi seperti inilah, polisi serba salah. Menghadapi aksi massa yang ricuh itu, jika dibiarkan, polisi pasti diposisikan di pihak salah. Sementara jika ditindak tegas, dengan risiko menimbulkan kekerasan, juga sangat salah.

Pada situasi darurat seperti ini, sesungguhnya, antara rakyat yang menuntut keadilan dengan polisi yang menerima amanah menjaga keamanan juga sama. Rakyat juga serba salah. Mereka berpandangan bahwa aksi yang dilakukan dengan biasa-biasa saja, cenderung tidak membuahkan hasil. Aspirasi mereka kurang mendapat perhatian. Maka ketika suasana memanas dan tidak terkendali, rakyat menerima risiko dari sikap tegas polisi yang sedang bertugas. Keduanya kemudian menjadi "korban".

Melihat kondisi tersebut, rakyat, sebagaimana diwakili mahasiswa dan para tokoh bangsa yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) meminta Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi Polri.

Tuntutan reformasi Polri yang berawal dari kemarahan rakyat, seharusnya menjadi momentum semua elemen bangsa, khususnya Polri, untuk introspeksi diri.

Sebelum tim Reformasi Polri ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto, kemudian tim itu menghasilkan rumusan postur polisi ideal, institusi penegak hukum dan penjaga ketertiban di masyarakat itu harus berbenah. Inilah momentum Polri untuk melakukan perbaikan, sehingga keberadaannya betul-betul dirasakan oleh rakyat.

Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam sebuah tayangan di media sosial berbasis video pernah menyampaikan kinerja polisi yang dikeluhkan oleh masyarakat.

Mahfud bercerita, kalau ada rakyat hilang satu sapi, maka untuk mengurus laporan kehilangan itu bisa menghabiskan biaya senilai 5 ekor sapi. Artinya, berurusan dengan polisi untuk urusan kasus, justru menimbulkan masalah baru.

Dalam pengalaman nyata di masyarakat, pernah ada seorang warga kehilangan sepeda motor, kemudian melapor ke polisi. Sepekan kemudian, seorang polisi datang ke rumah korban, kemudian bertanya bagaimana kabar mengenai sepeda motornya yang hilang. Mendapati pertanyaan seperti itu, si warga agak marah.

"Bapak ini bagaimana? Saya kira bapak datang ke sini mau mengabarkan keberadaan sepeda motor saya. Kok malah saya yang ditanya? Saya melapor ke polisi agar sepeda motor saya yang hilang diuruskan oleh polisi," kata si warga menunjukkan kekecewaan.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa selama ini institusi kepolisian bukan menjadi jujugan yang nyaman jika rakyat kehilangan harta bendanya. Karena itu, rakyat cenderung memilih diam jika menghadapi kasus pencurian dan lainnya.

Hal-hal seperti cerita Mahfud ini harus menjadi perhatian serius dari Polri, baik sebagai institusi maupun perorangan. Karena itu Polri dituntut untuk berbenah sehingga mendapat kepercayaan di mata rakyat.

Perubahan mental pada setiap anggota Polri harus segera dilakukan. Paradigma bahwa polisi bekerja, sehingga layak digaji dari uang rakyat, dengan hanya datang ke kantor setiap hari, perlu dikoreksi total.

Anggota Polri harus bekerja dimanapun dan kapanpun. Bahkan, misalnya, ketika si polisi itu sedang istirahat pada malam hari di rumah bersama keluarga, kemudian ada tetangganya yang teriak maling, polisi harus bekerja dengan sigap. Setiap saat dan di setiap tempat, anggota Polri harus hadir untuk menjaga keamanan rakyat. Anggota Polri dibayar bukan hanya untuk datang ke kantor, mengisi absen, lalu ketika pada jam kerja habis, pulang.

Mengubah mental anggota Polri agar betul-betul memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan rasa aman di masyarakat, memang bukan pekerjaan instan. Upaya ini memerlukan waktu.

Di luar anggota Polri yang sudah bertugas, hal yang perlu menjadi perhatian pemimpin Polri adalah perbaikan dari hulu hingga hilir, yakni dari proses rekrutmen.

Materi ujian penentuan kelulusan bagi calon anggota Polri harus memperhatikan aspek mental spiritual. Mereka yang dinyatakan lolos, bukan sekadar karena kemampuan akademik dan samapta atau fisik, tapi lebih kepada ketahanan mental untuk teguh pada sikap jujur dan memegang integritas.

Saat memasuki proses pembentukan personel Polri, aspek moralitas ini harus menjadi perhatian utama. Proses pendidikan juga tidak boleh berhenti di lembaga pendidikan formal, melainkan berjalan secara berkelanjutan, ketika mereka sudah bertugas melayani masyarakat.

Dengan demikian, upaya reformasi Polri yang memang sudah menjadi agenda Presiden Prabowo Subianto, bisa membuahkan hasil maksimal, sehingga Polri menjadi institusi yang dipercaya dan disegani oleh rakyat.

*Masuki M. Astro, kolumnis LKBN Antara. ***