Psikolog Gisella Tani Pratiwi: Pentingnya Mengajak Diskusi dan Beri Fakta pada Anak yang Ingin Unjuk Rasa
ORBITINDONESIA.COM - Psikolog Klinis Anak dan Remaja lulusan Universitas Indonesia, Gisella Tani Pratiwi menekankan pentingnya mengajak anak yang ingin mengikuti aksi unjuk rasa berdiskusi dan memberikan fakta yang ada di lapangan.
"Kita perlu memberikan ruang untuk diskusi, termasuk tentang konteks demonstrasi, protes, peraturan terkait dengan protes atau demonstrasi," kata Gisella saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis, 4 September 2025.
Anggota Ikatan Psikolog Klinis (IPK) itu menyatakan, orang tua perlu memiliki informasi yang cukup dan memadai ketika ingin membagikan edukasi pada anak untuk menyikapi atau merespons kondisi-kondisi sosial politik yang sedang terjadi pada negara.
Sebelum memberikan pemahaman pada anak, orang tua disarankan untuk mencari informasi dari sumber-sumber terpercaya.
Orang tua juga disarankan untuk melihat sejauh mana isu itu dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari anak, misalnya dari sisi kebijakan pendidikan atau akses kesehatan.
Setelahnya, berikan anak sebuah ruang diskusi untuk mendengarkan sejauh mana ia sudah mengikuti perkembangan kondisi politik di masa kini. Tanyakan perasaannya setidaknya pada satu atau dua kasus yang cukup mencuat akhir-akhir ini.
Kemudian, orang tua dapat mengajak anak untuk mengulas beberapa fakta terkait dengan kasus yang sudah diikuti. Di sini, sangat penting untuk melihat reaksi emosional anak ketika menanggapi suatu masalah. Pastikan anak tetap merasa nyaman dan aman untuk bercerita.
Gisella menekankan penting untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan usia dan pemahaman anak, disertai dengan pendekatan yang tidak menghakimi atau menggurui.
Sampaikan informasi atau saran dalam diskusi secara terbuka, setara dan menunjukkan rasa ingin memahami perasaan agar anak bisa lebih bijak menyikapi isu.
"Kalau sudah memberikan fakta, kita boleh menyelipkan pendapat pribadi kita. Namun, pastikan itu terjelaskan, mana fakta, mana analisa atau pendapat pribadi orang tua, sehingga anak jelas seperti apa (situasinya)," ujar dia.
Pada anak yang sudah masuk dalam usia remaja, sertakan edukasi mengenai hukum yang berlaku dan sesuai dengan kondisi terkini.
Jika remaja mengaku masih ingin mengikuti aksi unjuk rasa, Gisella menilai orang tua harus memberikan informasi latar belakang mengenai aturan dalam demo, konsekuensi yang mungkin diterima hingga memberikan data konkret soal apa saja yang terjadi bila ikut menyampaikan aspirasi bersama dengan masyarakat lain yang hadir.
"(Informasi) itu perlu diberikan, ditaruh di atas meja bahwa ini lho, faktanya, pembelajaran dari kasus terdahulu yang mama atau papa baca, jadi ketika membicarakan apa yang bisa dilakukan, pastikan anak paham juga konteks peraturan hukumnya," kata Gisella.
Menurutnya, remaja perlu diberikan pemahaman bahwa penyampaian aspirasi tidak melulu harus melalui demo. Melainkan bisa dalam bentuk seni, mengikuti forum diskusi bersama teman atau guru maupun aksi memperbanyak wawasan dengan membaca sejarah atau riset.
"Jika dia memang ada pendapat-pendapat atau ada hal-hal yang ingin dia lakukan, termasuk terlibat misalnya dalam aksi atau protes seperti ini, sehingga orang tua bisa membimbing, bisa juga memberikan rencana antisipasi atau rencana keselamatan jika diperlukan. Memang perlu dari berbagai macam perspektif untuk implementasi ke anak," tambahnya.
Sementara menanggapi aksi remaja yang turun mengikuti demo hingga membawa senjata tajam, Gisella menyayangkan hal tersebut terjadi dan mengatakan bahwa perilaku tersebut melanggar norma sosial yang berlaku.
Ia menyampaikan bahwa remaja cenderung memiliki sifat melawan dan tidak mengindahkan arahan yang diberikan oleh orang tua maupun orang yang derajatnya berada di atasnya. Sehingga lingkungan sangat berperan besar pada keputusan yang diambil oleh seorang anak.
"Kadang juga remaja karena faktor dia merasa perlu diterima oleh peer, oleh kelompok pertemanannya sehingga dia mudah gitu ya terseret, mudah melakukan," ucapnya.***